Happy reading
Hope you like it
❤❤❤
______________________________________________
“Ma, ini ini bustiernya sesak banget, nggak enak buat napas. Nggak usah dipakai, ya?” pintaku sambil berusaha melonggarkan bustier yang merasa mencekik napasku dari dada.
Mama spontan menyelisik gaun hitam sampanye yang kunekakan untuk meraih bustier hitam itu. “Florentina,” panggil mama kalem, tetapi dengan mata mendelik. Sampai-sampai aku takut bola mata itu akan menggeleinding keluar. Hiiii ... seram!
“Kamu coba napasnya pakai pernapasan perut. Ini udah longgar loh,” bujuk mama.
“Pernapasan perut?” ulangku ikutan mendelik. Mama pikir ini lagi olahraga? Masa tiap saat harus napas perut?
“Itu metode diet yang alami dan natural, biar perut nggak buncit! Udah, nggak ada lepas-lepas bustier ya. Baju ini bagus buat acara makan siang. Memangnya kamu nggak tahu pepatah beauty is pain?”
“Ya, ya, yang mantan miss Beauty.”
Aku mendesis pelan, takut diamuk mama super duper cerewet, super perfectionist, super gaul dan super cantik kalau mendengar gerutuanku. Mamaku ini dulunya mantan pemenang ajang pemilihan putri kecantikan. Kata papa, foto mama dulu sering dipajang di baliho-baliho jalan karena mendapat tawaran banyak iklan dari brand kecantikan. Hingga mewakili ke kancah Internasional.
Ngeri nggak sih?
Kadang-kadang, aku merasa terintimidasi dan terbebani oleh keparipurnaan mama.
“Gauri ...,” panggil mama lantang dan asisten jempolan mama yang bekerja di salon mama ini datang secepat mancan tutul berlari mengejar kijang di padang savana.
“Iya, Bu,” sahut wanita itu.
“Tolong bantu Flo mekap sama hair do, ya? Yang sederhana aja tapi elegan.” Mama memerintah sambil memutar-muar tubuhku di depan kaca ruang ganti salon ini. Aku menurut layaknya boneka Squid Game yang kepalanya bisa berputar-putar.
Dan setelah kurang lebih hampir lima jam bersiap-siap ; mulai dari spa, keramas, masker rambut, acara memilih-milih gaun, tas, sepatu sederhana tetapi cocok untuk makan siang, mekap, dan hair do, akhirnya papa dan Dio—kakak laki-lakiku—datang menjemput.
“Pffftt ... lo diapain aja sama Mama?” Itulah perkataan pertama yang Dio lontarkan padaku dan aku tidak menjawabnya. Lebih memilih masuk mobil lantaran takut dikibas oleh kipas ajaib mama.
Sumpah demi apa pun, perjalan dari salon mama ke rumah gedongan pak Jo yang rupanya hanya membutuhkan waktu lima belas menit membuatku merasa seperti selamanya. Pasalnya ponselku disita mama yang menurunkan mandat menolak keras menerima telepon dari klien.
Kata beliau, “Suruh Saras aja yang nerima telepon. Hari ini penting, Flo.”
Dio terdengar meringis, lalu mama beralih padanya. “Suruh pacar kamu diem juga, Yo. Jangan telepon terus-terusan. Bucin itu ada batasnya. Pacaran tapi telepon tiap menit itu toxic. Nggak percaya sama pasangan namanya. Paham?”
Gantian aku yang menahan tawa hingga mobil yang kami tumpangi memasuki pekarangan rumah bergaya semi victoria modern di daerah Kemang. Dan benar-benar diam total ketika bu Jo yang ceria menyambut kedatangan kami.
“Jeng Nisrina ... apa kabar? Ya ampun, kangen benget .... Udah lama kita nggak ketemu.”
Ibu negara berjambul katulistiwa a.k.a. mamaku menyambut dengan suka cita dan keceriaan yang sama, sambil berpelukan manja, plus cipika-cipiki yang tidak boleh ketinggalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Finished Yet
RomansaCerita ini diikutsertakan dalam kegiatan belajar di Asrama T-FREYA WGA Novellete Project 2021 ••• Florentina Cattleya merasa kehidupannya menjelang pernikahan dengan pria yang dijodohkan orang tuanya bernama Arsen Gafi sangatlah lancar jaya, mirip j...