Not Finished Yet - Chapter 4

84 15 0
                                    

Happy reading

Hope you like it

______________________________________________

Eleanor’s Decor sudah tampak beberapa langkah di hadapanku. Jantungku pun tak henti-hentinya bertabuh bak genderang perang. Ada dua alasan yang membuat organ vitalku harus bekerja maksimal seperti ini. Pertama, karena aku kabur dari pingitan yang kalau ketahuan bisa berisiko dicoret dari kartu keluarga oleh mama. Kedua, karena aku akan bertemu Samudra Atlantis. Mantan terindah, terslengean, termaskulin, terbengek, dan ter-ter lainnya, termasuk terberengsek.

Dalam hati aku berharap, dia bukan mantanku yang itu. Sebab banyak sekali pria yang bernama Samudra Altantis di dunia ini, bukan? Bahkan itu merupakan nama salah satu benua di bumi. Jadi, bisa saja aku salah ‘kan?

Namun, setelah kuingat detail setiap fragmen hidupku mulai dari orok hingga kini, tidak ada satu pun temanku yang bernama Samudra Atalntis, kecuali mantan bajinganku itu yang setelah kupikir-pikir: di mana sih aku nemu dan mungut cowok seperti itu? Jadi, mau tak mau, suka tak suka, aku akan menghadapinya dengan gagah berani hari ini.

Lonceng di atas pintu yang berdentang membawa kedua kaki yang menyangga tubuhku masuk. Saras yang senantiasa berjaga di meja resepsionis mengode melalui lirikan mata ke arah sofa. Tampaklah seorang pemuda berkulit tembaga eksotis dengan balutan jaket denim belel yang kancingnya dibiarkan terbuka, memperlihatkan kaus hitam gambar tengkorak serta jin hitam sobek dan bot, sedang duduk sana. Sangat mesra dengan ponsel.

Ya. Benar. Dia Samudra Atlantis yang itu. Tidak salah lagi. Penampilanjya, getsture-nya, vibe-nya, sehigga tak perlu ahli pengamat manusia untuk bisa mengetahui itu adalah dia. Bedanya cowok tersebut sekarang gondrong.

Pasca mengusir karbon dioksida dari paru-paru, kudekati dia secara perlahan dan kudaratkan pantat di sofa seberangnya duduk. Gerakan-gerakan itu berusaha kulakukan seanggun mungkin, tidak grusa-grusu. Hitung-gitung, menerapkan hasil didikan mama belakang ini.

Meski hatiku nyeri tak kira-kira karena sampai sekarang belum bisa melupakan bagaiamana keberengsekannya, tetapi sebisa mungkin kuperlihatkan bahwa aku baik-baik saja, tanpanya. Lihat, aku bahkan sudah bertunangan. Lagi pula, dia hari ini klienku. Jadi, aku akan bersikap profesional.

“Ekhm,” dehamku sekali untuk menunjukkan eksistensi.

Dari ponsel, Samudra beralih menatapku. Senyumnya yang manis memamerkan salah satu gigi taring gingsulnya segera menyerbu deburan jantungku kian guat. Sam, masih semanis dulu walau bakal-bakal janggut yang berdesakan, berlomba-lomba mencuat untuk tumbuh lebih rindang membuatnya lebih dewasa dan sangat jantan. Berbeda dengan Arsen yang selalu mencukur habis kumisnya.

“Na, akhirnya kamu sampai juga.” Sam terdengar lega mengatakan hal tersebut.

Sumpah, ingin kugeplak kepala cowok ini menggunakan bunga-bunga yang dirangkai apik bin estetik hasil tangan tim Eleanor’s Decor yang dipajang di rak. Sampai babak belur kalau perlu. Berani-beraninya dia memanggilku dengan ‘Na’ yang berarti Nana. Bukan Flo atau Florentina seperti masayarat umum memanggilku, karena Nana merupakan nama kesayangannya. Eh, tetapi sorry deh, aku bukan kesayangannya lagi sejak dia membuangku jauh-jauh dari benuanya.

Kugenggam erat tanganku untuk meredakan luapan emosi yang kian detik kian meningkat. “Aku udah denger dari Saras kalau kamu mau dekor kafe. Jadi, konsep kayak apa yang kamu pengin?”

“Na, jangan kaku gitu dong. Kayak nggak tahu aja itu alibi yang kubikin biar bisa ketemu kamu. Habisnya kamu susah dicari,” balasnya santai seperti biasa.

Susah dicari? Bukannya kamu yang ninggalin aku tanpa tedeng aling-aling, Sam?

Alih-alih mengatakan itu, aku lebih memilih mengucap, “Ck, aku sibuk, Sam. Harusnya nggak usah bikin alibi kayak gitu kalau cuma iseng.”

“Iseng gimana sih? Aku pengin ketemu kamu, Nana .... Ada yang pengin aku omongin ke kamu. Tapi jujur, aku seneng kamu baik-baik aja sekarang.”

Terus, aku harus koar-koar dan pajang tulisan patah hati di jidatku atau mencak-mencak di meja ini mirip singa benita ngamuk gara-gara kamu tinggalin, Sam? Hal itu sudah berlalu lama. Aku sudah menjalani fase sakit hati paling gila di sepanjang hidupku gara-gara kamu. Dan itu memalukan. Aku tidak mau lagi mengalami hal serupa.

Namun, lagi-lagi aku lebih memilih kalimat lain. “Kalau nggak ada kaitannya sama dekorasi, sorry. Aku nggak bisa. Aku beneran sibuk.”

Aku beranjak dari sofa dan hendak melipir pergi, tetapi dengan gesit Sam menangkap perglangan tanganku. “Na, kita pindah tempat dulu. Aku beneran mau ngomong sesuatu.”

Sekuat mungkin, aku berusaha menyentaknya. “Nggak bisa, Sam. Lepasin!”

“Aku udah denger dari Saras kalau kamu lagi dipingit dan seminggu lagi bakal nikah. Kalau kamu nggak pengin aku ngerusak hubunganmu, ikut aku sekarang, Na.”

“Apa-apaan sih, Sam? Lepasin, dilihatin orang. Malu tahu!”

“Pilih aja, kamu mau dilihatin orang-orang, atau ikut aku sekarang. Aku beneran bakalan ngerusak acaramu kalau kamu nggak dengerin alasanku ngilang dari kamu selama ini.”

Pertahanan kesabaranku bobol. Sam tetaplah Sam. Selalu seenak jidatnya. Dengan kalut, aku berucap, “Lepasin dulu.”

“Nggak, nanti kamu kabur. Aku kenal kamu, Na.”

Aku menggeleng dan mengode Saras untuk menghapus rekaman CCTV di lobi ini. Asistenku menangkap sinyalku dengan apik lantaran mengangguk. Sementara aku mengikuti Sam ke arena parkir. Di tempat mogenya berada. “Pakai helm ini dulu.”

“Kamu nggak berhak kayak gini ke aku yang udah kamu tinggalin, Sam! Kamu pasti cuma ngarang-ngarang alasan! Ke mana aja kamu selama ini? Kenapa baru sekarang kamu muncul buat inisatif ngasih tahu alasan basimu itu?” desisku. Pasca mengatakannya, dadaku naik turun dengan napas ugal-ugalan. Seolah-olah baru saja naik angkot yang sopirnya menggap dirinya pembalap Formula 1, meliuk-liuk di jalan padat merayap karena kejar setoran.

“Makanya, Na. Aku pengin kasih tahu alasanku ke kamu.” Sam masih setia penggenggam tanganku dan mengulurkan helm.

“Asal kamu tahu. Kamu, nggak bakalan bisa ngerusak hubunganku! Jadi, aku nggak mau ikut kamu! Aku sibuk!” elakku. Masih berusaha melepaskan diri dari Sam.

Cowok itu malah tertawa sesumbar. “Kamu kenal aku kayak gimana, Na. Aku bisa kok ngerusak acaramu kapan pun aku pengin. Tapi, kalau kamu ikut dan dengerin alasanku, aku janji nggak bakal ganggu kamu lagi.” Akhir kalimat itu Sam ucapkan secara sungguh-sungguh. Hatiku mendadak seperti diberi harapan sekaligus dihempaskan.

Di satu sisi aku penasaran setengah mati alasannya meninggalkanku dulu. Di sisi lain aku tidak ingin tahu sebab terlalu besar risiko hati yang kupertaruhkan untuk mendengar alasannya nanti.

“Lima belas menit plus perjalanan kita. Cuma selama itu,” kukuh Sam. Bentengku mulai goyah lalu benar-benar runtuh ketika bulatan-bulatan cokelat gelap a.k.a. irisnya memancarkan permohonan yang sangat.

Aku tahu ini salah. Seharusnya aku tetap di apartemen, atau menelepon Arsen untuk menjemputku sekarang, atau lebih tegas menangani Sam yang semaunya sendiri. Namun, yang kulakukan justru bertolak belakang, yakni menerima helm dari Sam dan naik mogenya serta membiarkannya membawaku entah ke mana.

______________________________________________

Thanks for reading this chapter

See you next another

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

Not Finished YetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang