Jakarta, 2012
Suara tendangan bola dari kaki ke kaki terdengar menggema hingga kepinggir lapangan tempat saat ini aku duduk memperhatikan permainan teman-teman. Aku sangat antusius dan selalu menahan teriak saat Jaya dengan sangat lihainya melewati para pemain lawan yang membawa bola di kakinya saat melakukan counter attack. Dia meliuk-liuk berniat mengoceh lawan didepannya. Aku melompat-lompat kegirangan ketika Jaya sudah hampir sampai di dalam kotak pinaliti. Gocekannya benar-benar membuat lawannya kewalahan. Setelah dengan sukses meninggalkan teman dan musuhnya di belakang kini tinggal terisisa satu lawan satu, antara Jaya dan Kiper yang ku tahui namanya Ando dari kelas XII Bahasa 1. Kiper yang merasa terancam otomatis keluar dari area kekuasaanya untuk menghadang Jaya yang seorang diri membawa bola, trik ini memang sering dilakukan oleh kiper dimanapun untuk mempersulit gerakan lawan tunggalnya. Namun bukan Jaya namanya jika tak mampu mengecoh lawan. Menipu, alih-alih menendang bola dengan kencang ke arah gawang, Jaya justru melakukan aksi 'kelok sembilan' andalannya dan hanya menendang pelan bola melewati kedua kaki kiper, bola bergelinding cepat namun konstan hingga akhirnya melewati garis gawang.
"GOOAAALLL" Aku berteriak heboh sambil melompat, orang-orang pasti kaget dengan suara teriakanku, gayaku sudah persis para supporter yang kegirangan saat timnas kesayangannya memasukkan bola ke dalam gawang Thailand.
Ku lihat Jaya tersenyum kepadaku, tidak lama dia berlari ke pinggir lapangan. Baju club bola liverpool yang ia kenakan saat ini bersimbah keringat dan begitu lengket dengan kulit, rambutnya lembab dan basah.
"Air..." Pintanya terengah-engah, aku langsung memberikan air kepadanya. Jaya meminum airnya dengan tergesa terlihat dari jakunnya yang naik turun dengan cepat hingga membuat air yang diminumnya merembas keluar dari mulut. Gayanya sudah seperti model yang sedang mempromosikan minuman berenergi di tv. Dia kemudian mengucurkan air sisa tadi pada wajah dan kepala kemudian membungkukkan kepalanya padaku. Aku langsung meraih kepalanya dan menyeka kepala dan wajahnya dengan handuk kecil yang ku pegang, ini sudah seperti menjadi kebiasaanku setiap kali Jaya bermain bola. Dia kemudian mengangkat kepalanya tersenyum padaku, senyum yang selalu ku sukai dari seorang Jaya.
"Gol tadi buat lo" aku mengangguk membalas senyum Jaya. Dia kemudian mengacak puncak kepalaku kemudian kembali berlari ke lapangan.
"Ayo buat gol lagi" Jaya hanya membalikkan kepalanya saja dan mengacungkan jempol di udara.
Melihat semangat Jaya bermain bola membuatku kembali teringat akan seleksi Asian School Football U18 beberapa minggu lalu. Tinggal sedikit lagi Jaya akan lolos, tapi alasan klasik 'pemain titipan' membuat dia tersingkir dari seleksi itu, sungguh miris sih, aku akhirnya sedikit mengerti mengapa hingga saat ini Indonesia bahkan belum pernah juara AFF. Tapi walau bagaimanapun Jaya tetap bahagia katanya selama dalam karatina dia banyak kali berjumpa dengan Bambang Pamungkas dan Ismed sofyan pemain Indonesia favoritnya saat itu. Dia bahkan mencetak beberapa lembar hasil photonya bersama idolanya.
"Jangan suka sama dia" Ana menepuk bahuku pelan membuatku memalingkan pandangan dari permainan bola Jaya dan teman-temannya.
"Maksud gue Jaya, dia skeptis dan terobsesi sama perempuan cantik, kulit putih dan rambut panjang" aku tertegun medengar kalimat ana ini "Bukan mau merendahkan lo tapi itu kenyataannya"
"Apa sih siapa juga yang suka dia" aku memalingkan tatapanku sebisa mungkin tidak melihatnya ataupun Jaya
"Ga usah nyangkal lagi, kelihatan banget gitu" aku hanya menggeleng dan menunduk tak menjawab. Apakah memang sekentara itu?
"Gue kasih tau ya Al, walaupun dia juga suka sama lo dia tetap ga akan nganggep lo" aku terkejut, sontak saja melihat wajah Ana tak terlihat disana sebuah candaan selain keseriusan
KAMU SEDANG MEMBACA
Bekas Langkah
RomanceHai, selamat bertemu lagi Aku ingat dulu disuatu tempat, kita pernah membuat bekas langkah. Jejaknya memanjang dan dalam, alur dan cerita turut membaris. Dulunya ku pikir itu cukup namun, mungkin aku terlalu percaya diri. Jejak itu menjadi kenangan...