Dalam kehidupan gadis remaja, akan selalu ada cerita dimana dia mencintai seorang anak laki-laki secara diam. Ada yang berhasil menjalin hubungan, adapula yang hanya berakhir dalam diam seperti cintanya itu.
Ada beribu bahkan jutaan fiksi berbeda yang menceritakan kisah seorang gadis yang mencintai seorang pria dan ada begitu banyak kata yang menyebut bagaimana berkesannya cinta pertama untuk keduanya. Aku pun sama, pernah merasakan cinta pertama itu pada seorang yang tak lain adalah sahabatku sendiri.
Jaya yang kala itu banyak disukai oleh siswa dan siswi di sekolah. Dia selalu menjadi pusat perhatian karena wajahnya yang tampan dan juga karena dia jago dalam olahraga khususnya sepakbola, Jaya juga walaupun bukan murid yang selalu mendapatkan peringkat teratas Sekolah dia selalu berada dalam 3 besar terbaik di kelasnya. Persis seperti tokoh fiksi yang banyak bertebaran diluar sana. Dia selalu ingin dijadikan teman oleh hampir semua siswa dan siswi di SMA Bhineka karena dimana pun dia berada akan selalu mendatangkan tawa yang bisa menghidupkan suasana. Dia cukup tengil namun entah mengapa itulah yang menjadi daya tarik untuknya.
Semenjak perkenalan kami di halaman depan rumahku, kami menjadi dekat satu sama lain. Apa-apa selalu bersama baik itu belajar, main, makan kantin atau jalan. Namun diantara mereka semua, aku memang lebih dekat dengan Ana dan Jaya. Jaya karena dia selalu memintaku untuk mengajarinya bermain basket dan Ana karena dia adalah satu-satunya perempuan di kelompok ini.
Selama dekat dengan mereka, aku mengetahui satu fakta bahwa Ana ternyata adalah mantan kekasih Jaya. Tak heran, Ana adalah gadis yang sangat cantik pasangan serasi menurutku dan ini membuatku berusaha keras untuk tetap menjaga perasaanku karena aku cukup tahu diri, bagaimana bisa gadis tomboy, hitam dan jelek ini mengharapkan lebih dari cinta pertamanya itu?
"Woi, melamun aja" Teguran Ana sukses mengagetkanku. Karena tepukannya yang cukup keras di bahu membuatku tanpa sadar mengumpat.
"Apa itu yang lo bilang tadi? Masih aja ya anak ini ngomong kasar" Ana sudah bersiap dengan jarinya ingin menyentil bibirku yang langsung ku tutup dengan tangan, jika sudah seperti ini Ana mirip nenek-nenek yang mengomel pada cucunya. Ana melarang kita untuk mengucapkan umpatan, jika dia mendengar salah satu diantara kami berlima dia akan langsung melayangkan tangannya pada bibir kami. Mengerikan memang.
"Lo sih ngagetin gitu, copot jantung gue nih" balasku hiperbola.
"Ga bakalan elah, lo ngapain sih melamun dari tadi, ditungguin Jaya tuh main basket"
"Ga ah, nanti juga bakalan kalah lagi, malas" Inilah satu-satunya yang sangat ku banggakan dalam diriku, bahwa aku jago bermain basket namun aku tak ikut ekskul basket di sekolah karena Ibu pasti melarang.
"Gue bakalan ngalahin lo kali ini Aliando, lo berdiri sekarang" Jaya tiba-tiba datang dan menarik tanganku hingga berdiri.
"Berhenti panggil gue gitu" Aku menepis tangannya, kesal karena dia memanggilku Aliando lagi "Lo juga ga bakalan menang, menang juga kalau main curang kayak tempo hari dibantuin Benden, Bari, sama Oon. Lo laki tapi mainnya keroyokan"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bekas Langkah
RomantizmHai, selamat bertemu lagi Aku ingat dulu disuatu tempat, kita pernah membuat bekas langkah. Jejaknya memanjang dan dalam, alur dan cerita turut membaris. Dulunya ku pikir itu cukup namun, mungkin aku terlalu percaya diri. Jejak itu menjadi kenangan...