50. Papa???

27 5 0
                                    

Setelah Aldebaran dan seluruh keluarganya kembali ke hotel Adiva langsung mengunci diri di kamarnya. Berbagai perasaan berkecamuk di dadanya. Marah pada diri sendiri mengapa menerima perjodohan ini dengan begitu saja tanpa ingin mengetahui latar belakang Dani terlebih dahulu. Tapi bukankah lebih baik dirinya menikah dengan laki-laki yang memang sudah dikenalnya secara pribadi daripada laki-laki lain yang benar-benar asing baginya?

Adiva mulai menanggalkan hijab beserta pakaiannya dengan kasar lalu melempar ke atas ranjang begitu saja. Kemudian mengenakan baju kimono sebelum duduk di kursi depan meja rias. Mulailah Adiva membersihkan make up di wajahnya seraya memutar ulang semua reka adegan selama proses lamaran. Sungguh senyuman Aldebaran yang menyebalkan tadi kini dengan seenaknya menari-nari di benaknya.

Tok ... Tok .... Suara ketukan pintu tak sedikitpun membuat Adiva berniat untuk menanggapi. Adiva tahu pasti siapa yang saat ini sedang berdiri di balik pintu kamarnya.

"Div ... Aku ingin bicara sebentar," ucap Safira membenarkan tebakan Adiva. Ya, siapa lagi jika bukan Safira sahabatnya sendiri yang tega mempermainkan perasaannya.

Safira terdiam di depan pintu kamar Adiva dengan gelisah. Ia berani bersumpah tidak ada niatan sedikitpun untuk menyakiti hati Adiva. Justru semua yang telah ia lakukan bersama Farhan hanya semata-mata demi kebahagian sahabatnya tersebut.

"Div ... Please! Sebentar saja aku mau ngomong," lirih Safira yang tentu saja tak berhasil meluluhkan hati Adiva yang sudah terlanjur kecewa.

Bukannya menanggapi ucapan atau membukakan pintu untuk sahabatnya Adiva justru masuk ke dalam kamar mandi untuk buang air kecil sekaligus mengganti pembalutnya. Gara-gara stres memikirkan tentang lamaran yang tadi baru saja usia membuat tamu bulanan Adiva datang lebih cepat. Jika dilihat dari kalender, seharusnya menstruasi Adiva baru akan datang di minggu depan.

"Udah malam Fir, ayo aku antar pulang dulu." Tubuh Safira seketika terhenyak saat tiba-tiba Farhan berdiri di sampingnya. Dengan wajah sedih Safira menatap Farhan yang terlihat tenang seolah tak terjadi apa-apa.

"Biar nanti aku yang bicara sama Adiva. Dia pasti butuh waktu sendiri dan kita harus menghargainya. Percayalah semuanya akan baik-baik saja," ucap Farhan lagi seraya tersenyum lembut.

Safira menghela napas panjang lalu berjalan lebih dulu. Kini mereka berjalan beriringan menuruni anak tangga tanpa kata. Gegas Safira berpamitan kepada kedua orang tua Farhan. Tak lupa Farhan juga membawakan berbagai kue dan makanan untuk keluarga Safira di rumah.

Tubuh Adiva terasa segar setelah mencuci kaki, tangan, dan wajahnya. Adiva juga berniat akan langsung tidur untuk mengistirahatkan jiwa dan raganya yang benar-benar letih. Mencoba menyingkirkan semua kemelut di hatinya sejenak. Adiva duduk di tepian ranjang sembari menatap ke arah sisi kosong yang biasa ditempati Farah. Bisakah dirinya tidur tanpa mencium dan memeluk putrinya malam ini? Jawabannya tentu saja tidak. Adiva tampak menimbang, lalu tak lama mendesah pasrah seraya menaiki ranjang. Tadi Farah sudah tertidur pulas di kamar kedua orang tuanya. Jadi malam ini Adiva memutuskan untuk tidur sendirian.

Lagi, desah frustasi terdengar di kamar berukuran 3x3 meter tersebut. Adiva bangkit. Tapi bukan untuk menemui Farah melainkan memadamkan lampu kamar. Karena sedang tidak bersama Farah maka Adiva memutuskan tidur dalam keadaan gelap gulita. Adiva berharap dengan begitu dirinya bisa tidur dengan lelap tanpa memikirkan apa pun untuk sementara waktu.

Suasana yang diharapkan Adiva telah terwujud. Lampu kamar padam dan terasa tenang. Ditambah semilir dari kipas angin yang konsisten berputar memberikan kesejukan seharusnya mampu mengantarkan Adiva dalam mimpi indah. Kedua tangan Adiva terangkat, berhenti tepat di wajahnya. Bacaan doa sebelum tidur Adiva panjantkan dengan khusyuk lalu segera memejamkan mata.

Tiga Hati Satu Cinta (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang