Chapter 22

177 27 0
                                    

Tanah Sunda

***

Kerajaan Sunda.

Wilayah Sunda berada di bagian barat pulau Jawa. Mata pencaharian utamanya adalah bertani. Hasil tani itu antara lain beras, sayur-sayuran, dan biji-bijian. Terkadang, hasil panen diekspor ke beberapa wilayah sekitar Sunda. Perekonomian di sini bisa dibilang cukup sejahtera dibandingkan di Majapahit. Kerajaan Majapahit sedang mengalami perombakan sistem perdagangan.

Istana ini, istana tempatku tinggal setahun ke belakang.

Tempat ini adalah tempat pertama aku menggantikan jiwa Dyah Pitaloka.

Di sini adalah tempat di mana aku besar dan berkembang menjadi seseorang yang lebih baik.

"Selamat datang, Putriku."

"Salam kami haturkan kepada Permaisuri Citraresmi."

Sambutan dari ibuku membuat hatiku meluruh. Tangannya membentang, mengisyaratkan agar aku berhambur ke dalam dekapannya. Pelukan ibu, pelukan paling hangat dan nyamannya seorang anak. Aku tidak dapat lagi membendung air mata kerinduan. Tanpa sadar, kami menangis walau tanpa suara. Dari isakannya, aku bisa merasakan bahwa ibuku juga merindukanku.

"Aku ingin bertemu Ayahanda."

Kami melepas peluk walau belum puas. Aku kembali mengingat tujuanku, yaitu melihat keadaan sang Maharaja. Ibuku mengantar dan menunjukkan jalan menuju kamar suaminya.

"Kau sudah mendengarnya dari Bunisora, kan?" tanya Permaisuri padaku.

"Ah, iya. Tapi aku meninggalkannya di tengah jalan. Ia akan segera kembali ke sini," jawabku.

Aku merasa bersalah karena pergi meninggalkannya di perbatasan Majapahit. Aku seharusnya melindunginya sebagai pemimpin Majapahit, tapi nyatanya Bunisora yang melindungiku agar aku bisa selamat untuk menemui ayahku. Aku harus melihat barang hanya ujung rambutnya saja.

Tok, tok, tok.

"Permaisuri dan Putri Citraresmi telah tiba!"

Pintu kamar terbuka perlahan.

Sorot mataku hanya tertuju pada seorang pria yang terbaring di atas ranjang. Tubuhnya lemas dan kaku. Hanya gerak kepalanya yang dapat kurasakan. Tatapan matanya seolah menyambut kedatangan kami. Melihat kondisinya yang seperti ini membuatku sakit hati.

"Ayahanda."

Aku memanggilnya lirih sambil menahan air mata yang sudsh menumpuk di ujung mataku. Aku meraih tangannya, menggenggamnya kuat-kuat, memberikan kekuatan baginya, agar ia tetap bisa bertahan hidup dan memotivasinya untuk sembuh. Ia sudah melihatku menikah dan bahagia, tapi itu bukan akhir dari hidupnya.

"Putriku ... apa kabar?" tanyanya dengan suara seraknya.

Mendengar suaranya yang pilu itu membuat dadaku semakin sesak. Tenggorokanku tidak bisa mengalirkan oksigen dengan baik ke dalam jantung. Tubuhku gemetar hebat dan memecahkan keheningan dengan tangisan yang sudah kusimpan sejak Bunisora mengabarkan itu padaku.

"Ayahanda, tetaplah sehat! Aku sudah kembali! Hiduplah dengan baik!" ucapku mengecoh.

Gimana kalo Maharaja tetep meninggal?

Gimana?

Gue nggak pernah mikirin ini.

Selama ini gue nggak pernah mikirin mereka sedikit pun.

Aku mengusap air mata dengan kasar. Mencoba terlihat kuat, tapi tetap saja tidak bisa.

"Ayah ... aku di sini!"

Change The History [Revision] ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang