Chapter 13

242 35 1
                                    

Emosi yang Terpendam

***

Pertemuan itu berakhir dalam dua jam. Aku berdiam diri di sisi danau yang digunakan sebagai waduk itu. Pandanganku lurus ke depan dan kosong. Angin berhembus kencang sehingga aku harus mempererat syalku. Astuti berdiri di belakangku dengan tatapan khawatir. Sejak keluar ruangan, aku tidak bicara pada siapa pun.

"Istriku mana?" tanyanya.

Pertanyaan itu terdengar di telingaku. Walaupun begitu, tidak membuat rasa nyaman ini beralih pada wajahnya.

"Di sisi danau, Baginda," jawab Astuti.

Hayam Wuruk bergegas menghampiriku. Tangannya merangkulku yang tingginya hanya sebatas pundaknya. Aku masih menatap gelombang air yang terkena angin itu.

"Adindaku, istriku, kau kenapa?" tanyanya.

Aku menggeleng pelan.

"Kau haus?"

Tidak!

"Kau tidak panas? Akan aku bawakan payung."

Ish, sudah kubilang tidak!

Aku ingin membuka mulut untuk menjawab, tapi otak ini tidak mau memberikan perintah pada mulutku untuk berbicara.

"Atau kau mau sesuatu?"

Hayam Wuruk memaksa tubuhku memutar menghadapnya. Sorot mata kami bertemu. Air wajah kekhawatiran itu terlihat jelas. Aku memalingkan wajah dengan cepat dan merapikan rambutku.

"Adinda kenapa?"

Aku menggeleng. "Tidak. Aku akan kembali."

Aku melepas tangan yang berada di bahuku. Perlahan tapi pasti aku meninggalkannya yang terpaku melihatku. Aku sendiri bingung, aku kenapa?

***

Sudah lima hari aku tidak tidur di kamar Hayam Wuruk dan memisahkan diri. Kami bertemu saat makan dan jika dia mengunjungiku saja. Pertemuan dengan para bangsawan itu membuatku sedikit sedih. Semuanya seolah aku yang salah karena aku tetap hidup sedangkan oramg yang mereka ikuti itu malah jadi pengkhianat.

Tapi, jika aku mati hari itu, apakah mereka akan bersenang-senang?

Akhir-akhir ini aku jadi sangat sensitif bila mengingat itu.

Ingatan lama itu terlintas jelas di otakku, bagaimana senjata tajam yang harusnya aku gunakan untuk melawan mereka, aku tusukkan ke jantungku untuk membela harga diri negaraku.

"Paduka! Apa perlu saya panggilkan tabib? Anda sangat pucat," ucap Astuti.

Aku menggeleng sebagai jawaban.

"Saya khawatir dengan kondisi Paduka."

"Terima kasih. Tinggalkan aku sendiri."

Astuti membungkukkan tubuhnya kemudian berjalan meninggalkan kamarku.

Aku sangat resah. Aku berpikir, bagaimana cara aku mengobati rasa ini.

Tiba-tiba pikiran itu melintas begitu saja.

Gimana kalo gue ke candi itu buat nemuin Raden Wijaya?

Gue butuh banyak penjelasan dari beliau!

Aku bergegas mengganti pakaianku dengan yang lebih nyaman digunakan. Aku memanggil pelayan untuk menyiapkan kuda di gerbang belakang. Aksi nekat ini pasti akan menarik perhatian Hayam Wuruk. Pasti, aku akan dicari olehnya.

Aku bergegas keluar kamar dan mengikuti langkah pelayan yang tadi sudah menyiapkan kudaku. Dengan cepat, aku menunggangi kuda dan melesat meninggalkan istana. Beberapa pelayan melepas kepergianku dengan bungkukkan badannya. Secepat mungkin aku harus keluar dari istana. Para penjaga sedang beristirahat di tepian sehingga aku bisa mencari jalan lain untuk keluar.

Change The History [Revision] ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang