Sudah lebih dari dua minggu kepulanganku dari tempat Hayam Wuruk hari itu. Aku kembali disibukkan dengan tugas-tugas dan deadline yang terlalu singkat hingga aku merasa di titik jenuh mengerjakannya. Sesekali aku pergi ke kafe dan mengerjakan semua tugasku di sana seorang diri. Jujur sekali, aku masih tidak bisa membedakan diriku di saat menjadi Dyah Pitaloka Citraresmi dan Syafira Azalea. Keduanya terlalu berbeda hingga rasanya sangat aneh saat kembali menjadi Syafira, diriku yang sedang di dunia modern.
Hari ini, aku sangat sibuk sampai aku lupa memberi kabar pada Dirga yang selalu mempertanyakan kondisi dan kabarku setiap hari. Padahal aku sangat merindukannya, tapi kewajibanku sebagai mahasiswa tidak boleh ditinggalkan karena sudah berkali-kali aku absen. Tentu saja aku akan segera menuju UTS, jadi mau tidak mau aku harus selalu masuk dan mengejar tugas-tugas yang sempat tertinggal seusai kepergianku ke Mojokerto.
"Syafira, kamu mau makan apa malam ini?" tanya ibuku. Beliau masuk ke dalam kamarku secara tiba-tiba.
Aku langsung mengalihkan pandangan dari laptop menuju Mama yang sedang berdiri di depan pintu kamar yang terbuka. "Apa ya? Terserah aja."
"Emm, Mama juga bingung," timpalnya.
"Ayam penyet aja, Ma!"
Mama tersenyum lebar. Ibu jarinya diacungkan. "Mama kasih tau Papa dulu."
Aku tersenyum puas mendengarnya. Setidaknya ayam penyet langgananku akan membuat mood-ku membaik.
"Yes, beres lebih cepet!"
Aku memekik seraya melirik jam dinding. Sudah pukul enam sore. Aku menyambar ponsel yang tergeletak di samping laptop. Aku sedang mengisi baterainya sebagai stok besok bila tidak sempat mengisinya. Beberapa teman menghubungiku, menanyakan tugas yang hari ini diberikan dosen. Malam ini harus disetorkan, tentu saja semua mahasiswa di kelasku panik karena kami baru pulang dari kampus jam 2 siang sedangkan tugas makalah itu harus dikumpul sebelum jam 8 malam. Beruntungnya aku sudah mengirimkan begitu selesai.
Hayam Wuruk : Adinda, lagi apa? Aku kangen!
Aku tertawa geli membacanya. Anak ini sangat to the point sekali. Aku tidak mengerti, sejak Hayam Wuruk hidup di dunia modern bersamaku, rasanya aneh. Aku serasa kembali menjadi Dyah Pitaloka Citraresmi.
Me : Baru selesai ngerjain tugas, Kakanda. Aku juga kangen :(
Hayam Wuruk : Itu emotikon apa, Adinda?
Aku mengerutkan kening. Tidak mungkin di gawainya emotikon itu tidak terbaca.
Me : Emotikon sedih.
Hayam Wuruk : Jangan sedih, Adinda. Kalau Adinda sedih, aku jauh dari sisimu. Rasanya aku ingin lari cepat ke tempatmu dan memelukmu erat. Kehilanganmu menjadi traumaku.
Aku memanyunkan bibir, sedih membacanya. Memori kelam itu kembali terputar di kepalaku. Saat dimana aku melindungi Hayam Wuruk dari seragan Mahapatih dan putrinya hari itu. Orang yang gila kekuasaan itu rasanya membuat emosiku kembali naik dan aliran darahku mendidih.
"Kangen banget," cicitku pelan.
Aku menepis tetesan air yang mengalir di atas pipiku.
***
Aku menatap Pak Ridwan yang sedang menjadi pengawas UTS ruanganku dengan tatapan bertanya. Aku tahu, dia bisa membaca pikiranku walaupun aku tidak bisa mendengar jawabannya.
"Waktunya sepuluh menit lagi," peringat Pak Ridwan.
Aku beranjak dari tempat dudukku untuk mengumpulkan kertas ujianku. Perdebatan hari itu, menjadikan cerita yang aku alami ini menjadi sejarah. Sejujurnya, sejarah itu sebuah pertanyaan yang tidak pernah akan terjawab karena hanya mendengar dan membaca dari sumber yang kurang kuat. Penelitian mungkin membuahkan hasil yang bias, tapi sejarah tentu bisa dimanipulasi dan disembunyikan dari fakta yang sesungguhnya. Untuk kali ini, jawaban untuk sejarah Kerajaan Sunda, aku jawab berdasarkan pengalamanku hidup, bukan sejarah yang tertulis di buku-buku tebal itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Change The History [Revision] ✅
أدب تاريخيKalian percaya reinkarnasi itu ada? Tidak? Aku juga awalnya begitu. Aku sangat penasaran tentang memori yang bermunculan di otakku hingga aku memutuskan untuk kuliah jurusan Ilmu Sejarah. Beberapa kali, aku merasakan de javu saat dosen menerangkan s...