Suara gesekan besi itu melukai gendang telinga. Aku dan Mahapatih sama-sama menjaga pertahanan diri agar tidak terluka satu sama lain. Permainan ini sudah berlalu lima menit, tapi tidak ada tanda-tanda kemenangan dari salah satu pihak. Baik aku atau Mahapatih, dua-duanya sangat kuat dan mahir dalam pertahanan.
"Putrimu sangat mencemaskanmu, Mahapatih," ucapku memancing fokusnya terpecah.
Mahapatih melirik ke belakangnya sedikit lalu menatapku kembali. "Hidupnya dipenuhi kecemasan sejak Paduka menjadi Permaisuri."
"Kenapa menjadi salahku? Itu kesalahan putrimu yang tidak bisa memantaskan diri."
Emosi Mahapatih naik lagi, tenaganya sudah tak sekuat awal pertempuran. Aku harus mengambil kesempatan ini. Aku menyerangnya kecil-kecil agar dia mudah lelah untuk mempertahankan dirinya terus.
Tidak ada satu pun orang yang berani mengganggu kegiatanku dengan Mahapatih. Selain para prajurit yang sudah terluka, Hayam Wuruk pun hanya diam sambil mengamati situasi. Mungkin ia akan kembali diserang oleh para pemberontak yang tersisa.
JLEB!
"ARRGH!"
"AYAH!"
Aku menusuk Mahapatih tepat di bagian jantungnya. Darah langsung mengalir begitu aku menarik pedangku dari dalam dada Mahapatih. Bohong bila aku tidak gemetaran atau menangis. Nyatanya aku sudah hujan air mata sejak detik-detik terakhir. Kini, aku benar-benar menghancurkan semuanya, menghabisi orang yang paling Ibunda Permaisuri percaya sejak dulu. Bagaimana bisa aku tidak mengingat itu?
Tidak.
Aku harus memeriksa apakah orang ini sangat berpengaruh bagiku atau tidak.
Mahapatih terkulai di atas lantai. Aku langsung terduduk di hadapannya. Masih tidak percaya aku telah membunuh banyak orang dan juga orang paling kuat di Kerajaan Majapahit ini. Mahapatih yang memberikan banyak jasa, tapi aku menghilangkannya dari kerajaan ini. Aku sudah benar-benar membunuhnya.
Hayam Wuruk berlari menghampiriku dan menahan tubuhku agar tidak tumbang. "Adinda, kau tidak perlu memaksakan diri."
Aku menggelengkan kepala. "Aku sudah ceroboh."
"Tidak, Adinda. Jangan salahkan dirimu lagi."
Aku bisa melihat dari ujung mataku, Prameswari sudah bersiap-siap untuk memanah ke arahku. Patih Madu yang berada di dekatku langsung berteriak. "PADUKA!"
WUSH!
Aku memeluk Hayam Wuruk. Sejujurnya, aku hanya melindungi Hayam Wuruk agar tidak terkena panah itu. Aku sudah melihat panah itu mengarah kepadaku. Aku tidak ingin menghindarinya. Aku telah memikirkan apa yang kurasakan waktu itu dan sekarang mungkin adalah perasaan yang kurasakan ini dirasakan oleh orang lain, juga seorang putri.
Bagaimana bisa seorang putri menerima ayahnya dibunuh di depan matanya oleh perempuan yang ia benci?
Tidak ada yang bisa mengikhlaskan kepergian ayahnya sendiri yang mati seperti ini.
JLEB!
"Uhuk!"
Hayam Wuruk langsung menahan tubuhku yang jatuh.
Sakit?
Pertanyaan bodoh.
Tentu saja.
Aku sudah berada di ambang kematian tapi tidak merasa akan mati langsung begitu panah mengenai punggungku. Mungkin Sang Hyang memberikan balasan bagiku yang sudah melakukan kejahatan pada perempuan lainnya.
Aku benar-benar pemimpin yang brengsek.
"A--Adinda?!" pekik Hayam Wuruk.
"Sakit ... sekali," ucapku terbata-bata.
"Kenapa kau bodoh sekali?"
"Aku sangat mencintaimu, Kakanda. Ingat janji kita."
Perlahan mataku menutup.
Aku sudah tidak merasakan sakit.
***
"Oh, kau masih bisa melihatku ya?"
Raden Wijaya bertanya begitu jiwaku keluar dari tubuh mungil Citraresmi. Aku berdiri di sisi Raden Wijaya sambil memperhatikan Hayam Wuruk yang menangis tersedu-sedu. Ia memeluk tubuh Citraresmi dengan erat. Suara tangisannya sangat menggoreskan luka di hati siapapun yang mendengarnya. Bahkan Prameswari di ujung sana sudah terduduk dan melemparkan alat yang ia pakai untuk memanahku. Ia menangis sambil meremas ujung bajunya.
"Aduh."
Aku mengusap air mata yang muncul dari kelopak mataku. Sedih sekali melihat Hayam Wuruk yang menepukkan pipiku agar aku kembali sadar. Aku tidak berharap untuk bisa bertahan selama itu.
"AYAH! AYAH BANGUN!"
Prameswari menghampiri ayahnya dengan wajah penuh air mata. Ia menangis tersedu-sedu. Ia menempatkan kedua telapak tangannya di atas dada yang menjadi sumber darah dari tubuh ayahnya muncul. Ia mengusapkan darah itu ke wajahnya dan berteriak seperti kehilangan akal sehat.
Berganti ke arah Hayam Wuruk.
Ia memegang pedang yang aku pakai tadi untuk melawan Mahapatih. Ia menatap Prameswari dengan tatapan liarnya. Ia benar-benar ingin membunuh Prameswari yang sudah membunuh istrinya. Rasa kesal, marah, dan benci itu meluap-luap hingga tak dapat ditampung lagi.
"Baginda ... silakan bunuh saya," ucap Prameswari pelan.
Hayam Wuruk menarik dagu Prameswari dengan kasar dan mencengkramnya. "Kenapa kau sangat berambisi?! Aku bahkan tidak mengharapkanmu untuk menjadi seorang kriminal seperti ini?! Kenapa kau sangat terobsesi pada posisi Permaisuri padahal sudah ada yang memilikinya?!" Ia berkata-kata sambil menahan emosi.
Prameswari menggelengkan kepala. "Saya ... menyesal."
"Hanya orang bodoh yang menyesal. Pikirkanlah sebelum melakukan tindakan bodoh ini! Apa akibatnya kalau kau melawan seperti ini?!"
"...maaf."
"Apakah perkataan 'maaf' itu bisa membangunkan istriku atau ayahmu?! Tidak, kan?!"
Prameswari hanya terdiam.
"Kukira kau pintar, tapi ternyata sangat bodoh. Tingkahmu yang sombong itu sangat gila. Serakah sekali hidupmu."
Hayam Wuruk mendorong rahang Prameswari kasar hingga ia tersungkur. Ia menebas kepala Prameswari dalam sekali gerakan. Ia benar-benar tidak bisa memikirkan apa yang telah ia lakukan. Bukan.
Semua orang pada akhirnya saling membunuh satu sama lain.
"Baginda," panggil Patih Madu.
Patih Madu diam saja?
Tidak. Dia sedari tadi melawan para prajurit yang masih bermunculan dan pada akhirnya habis sendiri.
Patih Madu berlari menghampiri Hayam Wuruk. Ia sudah berantakan.
"Aku juga ingin mati saja," ucap Hayam Wuruk.
Patih Madu melempar pedang itu jauh dari Hayam Wuruk. "Jangan, Baginda. Baginda harus memikirkan keadaan Ibunda Permaisuri dan masa depan kerajaan ini."
Tatapannya kembali beralih pada tubuhku yang tergeletak. Ia menciumi keningku berkali-kali. Perlahan-lahan, ia mengangkat tubuhku untuk memindahkannya ke tempat duka. Aku yang berdiri bersama Raden Wijaya hanya bisa memperhatikan mereka tanpa bisa melakukan apa-apa.
"Pada akhirnya semua saling menghancurkan," ucapku pada Raden Wijaya.
"Aku sudah menduga sejak awal. Kau tidak bisa sembarangan mengubah sejarah, Cucuku, Ini hukuman karena kau ingin mengubahnya. Sang Hyang bisa melakukan apa saja dan tahu apa yang terbaik bagi para manusia."
Aku tertunduk lesu. "Aku tidak tahu apa-apa."
Raden Wijaya mengusap punggungku.
***
Bersambung
***
Selamat malam!
Hihihi.
Kira-kira selanjutnya Dyah Pitaloka alias Syafira bakalan mati selamanya?
Ada yang bisa tebak selanjutnya gimana?
KAMU SEDANG MEMBACA
Change The History [Revision] ✅
Исторические романыKalian percaya reinkarnasi itu ada? Tidak? Aku juga awalnya begitu. Aku sangat penasaran tentang memori yang bermunculan di otakku hingga aku memutuskan untuk kuliah jurusan Ilmu Sejarah. Beberapa kali, aku merasakan de javu saat dosen menerangkan s...