Chapter 4 | plis jangan takut atau tegang

91 10 0
                                    

Gue latihan dibawah terik matahari siang ini, padahal pagi tadi langitnya mendung. Cuaca emang kadang berubah-ubah, udah kayak mood cewek aja. Atau memang mood cewek ditentuin dari cuaca? Atau malah sebaliknya? Udah ah, masih malas ngebahas cewek. Teman-teman klub lain yang telat masih pemanasan, gue nggak sengaja saling tatap sama Hanzo. Karena gue tahu tatapan Hanzo yang beneran kerasa nggak enak, gue langsung memalingkan muka. Udah males nanggapin tuh anak.

Jam yang melingkar dipergelangan tangan gue menunjukkan pukul empat sore, gue udahan. Bantu senior beres-beres alat latihan buat disimpan di dalam gudang olahraga. Hanzo masih tetap diam ke gue kayak biasa.

Setelah gue ambil tas dan sengaja nggak ganti baju seragam, gue berjalan melewati koridor untuk sampai ke halaman sekolah. Gue berpapasan dengan Granger dan Zilong dari arah yang berlawanan.

"Udah selesai?" Tanya gue lebih gue tujukan pada Granger.

"Udah," jawabnya singkat kayak biasa.

"Gue duluan ya, mau jemput adek gue di TK." Zilong melambaikan tangan pada gue dan Granger lalu segera pergi meninggalkan lingkungan sekolah. 

Saat gue hendak melangkahkan kaki, Hanzo lewat dengan tatapan dinginnya menusuk tepat kemata gue. Gue sih biasa aja, tapi gue melirik Granger yang ada dikanan gue. Takut kalau dia merasa tertekan atas apa yang pernah Hanzo lakuin ke Granger. Plis jangan takut atau tegang, batin gue. Saat tatapan Hanzo udah beralih ke Granger, ketakutan gue jadi nyata. Tubuh Granger terlihat kaku, gue dengan spontan meremas pundaknya pelan. Seharusnya nggak gini, gue tahu gimana Granger. Setelah Hanzo pergi, gue merasa bahu Granger masih menegang. Sebegitu burukkah perlakuan Hanzo ke dia dulu?

Granger menatap gue dengan tatapan yang kayak biasa, oh, dia udah nggak tegang. Emosinya udah setenang air.

"Pulang yok," kata gue yang nggak mau berlama-lama disana.

Granger mengangguk lalu kami berjalan meninggalkan lingkungan sekolah.

Sepanjang perjalanan ke rumah, gue ngerasa manusia triplek ini yang notabenenya adalah teman sekaligus tetangga gue kayak nyawanya hilang dari tubuhnya. Ya masa dia hampir keserempet mobil karena jalan sambil melamun? Gue nggak tahu harus bersikap kayak gimana menanggapi Granger yang dalam mode linglung, udah kayak Ling aja. Nggak ding, gue bercanda. Granger nggak kenal sama Ling.

"Lo yakin, lo nggak papa?" Gue menanyakan hal yang sekarang menjadi pertanyaan besar dalam benak gue.

"Emang gue kenapa?" Dia malah balik tanya, dasar triplek.

"Lo ngelamun," kata gue menjawab pertanyaannya tadi.

Granger diam aja, dia melanjutkan jalannya yang sempat tertunda. Alamak, kalau gini caranya gue nggak tahu apa yang ada dalam perasaan Granger. Perasaan mau nembak cewek atau boker, kan gue jadi nggak tahu karena dia sendiri diam aja. Gue ngerasa jadi teman yang nggak peka.

"Ada yang salah sama latihan lo tadi?" Tanya gue berusaha mengorek apapun yang dirasakan Granger saat ini.

"Nggak ada."

Granger banget nggak tuh, sok cool emang cowok yang satu ini. Dingin banget cuy ngomongnya. Untung sabar.

"Kalau lo butuh apa-apa atau cerita hal lain ngomong aja ke gue."

Granger hanya bergumam, lalu kami berhenti di halte untuk menunggu bus yang biasa kami gunakan pulang ke rumah. Langit udah mulai jingga, malam bakalan datang sebentar lagi. Pikiran gue selalu tertuju ke Granger, kenapa Granger itu sulit didekati? Bukan tentang ngedeketin pdkt atau sejenisnya, gue care sama dia. Gue sayang Granger karena gue udah anggap dia saudara gue. Udah belasan tahun gue barengan sama dia. Dulu Granger nggak gini, okay mungkin sifatnya yang irit bicara dan susah buat ngerasain selera humor setiap orang selalu gue maklumi---karena sifat orang itu beda-bedakan ya? Kita nggak mungkin menuntut orang harus jadi gini dan gitu. Tapi sejak masuk SMA Granger tuh kayak susah didekati, kayak ada penghalang tebal dan besar yang nggak mungkin gue lewatin buat sampai ke dia. Gue payah dalam kepekaan saat sahabat gue sendiri kesulitan. Makanya gue selalu tanya, dan nggak mau hal buruk terjadi sama Granger. Tapi cowok itu selalu nyembunyikan sesuatu.

"Ayo," suara Granger membuat gue sadar dari dunia fana yang sedang gue pikirkan, satu kakinya udah naik bus---yang sejak kapan tiba? Gue buru-buru naik, nggak mau ketinggalan. Enak aja ketinggalan, gue nunggunya lama, dan harus nungguin lagi kalo ketinggalan bus. Mana udah hampir gelap awannya.

"Ngelamunin apa?" Gue dengar kok, itu suara Granger yang duduk di sebelah gue---dekat jendela. Gue menoleh dan lihat dia yang malah lihat keluar jendela bus.

"Nggak ada, gue pegal habis latihan tadi." Jawab gue bohong, padahal gue mikirin dia dari tadi.

"Ceritain aja kalau ada yang ngeganggu."

Harusnya gue yang bilang gitu ke lo, batin gue merasa sebal. "Iya tenang aja."

Granger bergumam, dia kembali menatap keluar jendela bus. Gue lihat hari sudah gelap, karena jendelanya berubah jadi warna hitam. Gue dapat lihat wajah Granger dari pantulan jendela yang gelap itu, cowok itu murung.

...

Eh gimana? Dapat feel-nya nggak?
See you next chapter.
U

pdate double, aih

When You Say Nothing At All [MLBB FANFICT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang