Oh, ya! Kenapa Hanzo bilang kalau gue yang udah buat Hayabusa berhenti main biola? Bukannya Hayabusa punya mimpi untuk jadi pemain biola terkenal? Gue nggak paham, alasan sebenarnya Hanzo gangguin gue waktu itu. Disaat gue merenung tentang hal itu, tiba-tiba seseorang gedor pintu bilik toilet yang gue tempati. Gue terkejut bukan main. Takut kalau itu Hanzo beneran, gue memilih nggak ngebukain.
"Buka! Gue mau masuk!"
Bukan suara Hanzo, suaranya kalem walaupun teriak. Halus juga. Tapi siapa? Bukan Alucard atau Claude, kok. Gue tahu suara dua anak itu.
"Gue tau lo didalam. Buka atau gue dobrak?" Suaranya dingin banget walaupun terdengar halus. Karena nggak mau cari keributan, dan itu juga bukan suara Hanzo, jadinya gue memilih untuk ngebukain pintunya.
Gue menunduk, nggak berani lihat wajahnya. Udah kelihatan dari suara dinginnya, tuh cowok pasti garang.
"Nah, ketemu!"
Gue segera mendongak saat dia bilang gitu ke gue. Kedua matanya yang ungu bak berlian menubruk mata gue, sejenak kami saling pandang. Ah, dia yang main piano tadi. Cowok yang sama yang gue pergokin di toilet cowok waktu itu. Yang kabur sewaktu papasan sama gue di kantin. Cowok berambut putih yang wajahnya ... wait, cantik?
"Hai, gue Ling." Tangannya terulur kehadapan gue, tanpa senyum sedikitpun.
...
Gue merebahkan diri diatas kasur dengan napas setenang air.
"Hai. Gue Ling." Cowok bernama Ling itu memperkenalkan dirinya tanpa senyum sedikitpun---atau wajahnya memang seperti itu? Gue ngerasa kayak lihat diri gue sendiri.
"Kenapa ngintip?" Tanyanya yang kebetulan kami sudah duduk di bangku taman sekolah. Dia yang ngajak pengin ngobrol sama gue, tapi jangan di toilet. Nggak mecing katanya.
"Nggak sengaja dengar," gue menjawab seadanya, gue 'kan punya telinga. Ya wajar mendengar suara itu sewaktu gue lewat. Gimana, sih?
"Bagus, nggak?" Setelah cowok bernama Ling itu bertanya dengan nada tinggi---antusias---terlebih kedua matanya berbinar, gue mengangguk sambil bilang 'lumayan'.
"Gue main piano udah dari kecil." Katanya murung. "Piano gue pengin duet sama biola." Lanjutnya sambil menatap gue.
Biola.
Apa gue masih bisa main biola, ya? Setelah kurang lebih tiga atau empat tahunan gue nggak nyentuh tuh alat musik. Bahkan masih ada di ruang musik yang ada di rumah gue. Mungkin udah habis dimakan rayap. Jangankan alat musiknya gue sentuh, ngebuka ruangannya aja nggak pernah. Selama ini gue menyibukkan diri supaya nggak terus-terusan sedih atas meninggalnya ayah.
Sudah berapa kali gue menghela napas. Gue masih nggak yakin kalau harus kembali ke dunia musik. Alih-alih kembali memikirkannya, gue meraih ponsel---yang gue anggurin selama satu bulan---lalu memasangkan baterai agar hidup. Ah, lowbat. Itu jelas. Gue langsung cari charger dan segera mengisi daya ponsel gue.
Dok dok
Kening gue berkerut samar saat mendengar pintu depan rumah gue diketuk, artinya itu bukan Alucard atau Claude---mereka berdua lebih milih langsung masuk lewat pintu belakang. Gue berjalan turun ke lantai bawah, bunyi pintu diketuk makin terdengar keras. Gue mengintip dari jendela. Sial, rumah ini nggak bisa buat lihat tamu yang berdiri di depan pintu---melalui jendela. Jendelanya aja menjorok lebih kedepan dari pada pintu utama. Dengan terpaksa gue segera membuka pintu itu---yang terkunci dari dalam selama lebih dari dua minggu.
Spontan gue mendelik mengetahui siapa yang bertamu petang ini. Serius? Cowok ini? Posisinya tuh dia ditengah-tengah pintu, cuaca hujan deras dan kilatan yang bikin siluet seseorang, itu mendukung banget buat gue terkejut. Kayak di serial kartun Spongebob episode Graveyard Shift/Krusty Love yang mana Squidward dan Spongebob dapat shift malam untuk jaga krusty crab, lalu ada yang datang pas suasana lagi seram-seramnya. Mana siluetnya hitam, ditambah dia bawa spatula lagi. Ngeri nggak tuh? Tapi bagian kocaknya itu si Squidward malah teriak hash slinging slasher. Ditambah Nosferatu mainin saklar lampu. Ah beneran horor, mana gue di rumah sendiri.
"Nah, ketemu! Lagi," katanya. "Gue boleh masuk?" Tanyanya setelah jeda dua detik. Ya gimana nggak boleh? Orang gue udah bukain pintunya.
"Gue nggak punya minum." Gue melangkah ke dalam hendak pergi ke kamar. Masa bodoh dengan dia yang duduk di sofa.
"Nama lo siapa?"
Gue menghentikan langkah, bukan karena mau menjawab pertanyaannya. Justru gue mau kasih tahu dia kalau wajah gue mengartikan-lo-nggak-perlu-tahu. Dia langsung diam. Gue kembali melangkahkan kaki menuju kamar.
Lima belas menit gue ninggalin dia di ruang tamu, tanpa bermaksud menemuinya. Toh kalau bosan dia juga pulang sendiri.
Tapi ...
"Lo main biola?"
Gue terduduk saat Ling berdiri di ambang pintu kamar gue sambil memegang biola yang gue berharap nggak akan ngelihatnya lagi. Gue beranjak dan segera merebut biola itu dari tangannya.
"Jangan berani-beraninya!" Gue mendesis penuh penekanan dalam kata yang terucap, tapi wajah Ling datar tanpa takut sekalipun.
"Gue mau lihat doang." Dia menjawab dengan tenang, setenang air.
"Ini bukan punya lo. Dan gue nggak ngizinin!"
"Gimana caranya diizinin?"
Gue diam dan menyembunyikan biola itu dibawah dipan gue, lalu duduk di kursi meja belajar berpura-pura mengerjakan soal. Hal yang nggak gue duga dilakukan oleh Ling, cowok berambut putih itu mengambil biola dibawah dipan gue. Gue nggak suka dia yang seenaknya aja. Gue nggak suka dia ke rumah gue. Gue menggeram pelan, lalu merebut kembali biola itu dan melemparnya sampai suaranya terdengar keras. Ling terkejut.
"Pergi."
"Nggak."
Serius? Gue geram, gue tatap wajahnya dengan tatapan dingin yang menakutkan. Tapi dia tetap tenang. Sebenarnya dia siapa, sih? Dia mau apa?
"Terserah." Final gue dan kembali duduk di kursi meja belajar.
Hening, Ling duduk diatas kasur gue. Dia diam aja sambil menatap gue. Cowok nggak jelas.
"Granger?"
Gue menghentikan gerakan gue yang lagi nulis diatas buku, gue sengaja nggak noleh.
"Permainan biola lo bagus, gue tertarik."
Kali ini gue memutar kursi dan menatap Ling sepenuhnya.
"Sama sekali enggak!" Kata gue penuh tekanan.
Ling mengubah posisi duduknya menjadi bersila.
"Yang dengerin sama yang mainin itu beda," katanya lagi. Bener-bener bikin gue sebal.
"Mau lo apa?"
Ling menggaruk tengkuknya. "Ketahuan, ya, kalau gue ada maunya?"
Gue diam, melipat tangan didepan perut sambil ngelihatin dia.
"Ah, hujannya udah reda. Gue mau balik." Ling beranjak dari duduknya dan berlari keluar kamar. Sebelum dia menutup pintu kamar gue, dia sempat bilang 'see you di sekolah.'
Maunya apa, sih? Aneh.
Gue menatap biola yang tergeletak di lantai dengan mengenaskan. Senarnya lepas tiga buah, badannya usang walau gue simpan di dalam tasnya. Gue mengambilnya, lalu membantingnya keras sampai patah.
...
Next!
KAMU SEDANG MEMBACA
When You Say Nothing At All [MLBB FANFICT]
FanfictionCuma Alucard yang tahan sama sifat Granger, dari cara ngomongnya yang dingin atau susah banget diajak ketawa. Ya karena Alucard udah kenal lama ditambah mereka punya tujuan yang sama. Menurut Alucard, Granger itu punya khas tersendiri yang bikin sem...