"Udah semuanya belum?"
Natalia benar-benar heboh sendiri dengan persiapan kontes musik, pasalnya Granger bersedia ikut setelah sekian lama cowok itu tenggelam dalam kesepian dan kesendirian yang dibuat-buat.
"Aih, semangat banget si Nata De Coco?" Seloroh Fanny.
Natalia mencibir.
"Lo yakin, Grang?" Alucard menatap wajah sahabatnya itu, ia tidak ingin ada hal buruk yang berakhir membuat Granger terpuruk kembali.
Granger tersenyum samar, berusaha meyakinkan Alucard untuk tidak perlu khawatir.
"Gue baik-baik aja, doain aja supaya lancar." Granger menepuk pundak Alucard yang lebih kekar dari miliknya.
"Acaranya dimulai jam berapa?"
"Sembilan." Jawab Granger singkat. "Tunggu Ling dulu, dia belum datang."
"Sorry sorry, nungguin Zilong yang lagi berak tadi." Tiba-tiba yang jadi topik pembicaraan muncul. Bersama dengan Zilong yang malah cengengesan tidak jelas.
"Kenapa kita nggak sekalian ngajak sekampung, ya?" Bisik Ling yang sengaja dikeraskan.
"Ha?" Zilong membeo.
"Tuh, pasukannya si Granger dibawa semua." Ling menunjuk teman-teman Granger satu persatu.
Fanny cengengesan sementara Natalia menatap Ling sinis.
"Buset mbak, kalo natap biasa aja kali." Tegurnya nampak tak nyaman dengan tatapan Natalia padanya.
"Bodo amat, sih." Natalia memasuki mobil terlebih dahulu.
"Untung cantik," gumam Ling yang didengar Zilong.
"Udah, ayo buruan. Nanti telat." Silvanna adalah satu-satunya yang waras.
Setelah semuanya siap dan masuk ke dalam mobil, Alucard yang kebetulan menjadi supir segera melajukan mobil menuju gedung kesenian yang ada di kota itu. Butuh waktu setengah jam untuk sampai disana, mengingat jalanan tidak terlalu macet.
Sesampainya, Granger turun terlebih dahulu dan mengambil biola miliknya dibagasi mobil. Cowok itu menatap tas biola dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia nampak tersenyum getir.
Akhirnya gue main lagi.
Alucard menyentuh pundak sahabatnya.
"Lo bisa, gue percaya sama lo." Katanya menenangkan.
Granger tersenyum lebar lalu mengangguk. Ini bukan pertama kali ia merasakan gemetar dan ketakutan akan menjadi pusat perhatian. Bukankah dia adalah sang juara? Namun kali ini permainannya akan sedikit berbeda sebab piano Ling mrengiringinya.
"Udah siap? Yuk masuk." Ajak Ling.
***
Granger terpaku, penglihatannya tertuju pada cowok kembar yang sekarang berdiri satu fatom darinya. Hayabusa maupun Hanzo juga menatapnya. Tatapan mereka benar-benar sulit diartikan.
"Kenapa?" Bisik Ling yang menyadari Granger menghentikan jalannya.
"Enggak papa."
Ling tahu, ia paham. Tapi Ling memilih diam. Dia berpura-pura tidak mengenal Hayabusa maupun Hanzo. Biarlah itu menjadi urusan mereka, biar juga itu menjadi urusan Granger. Ia tidak mau ikut campur.
"Oh ya Grang, lo udah siap belum?" Ling berbasa-basi. Dia tahu tipikal Granger, jika dia memilih diam maka tak ada yang bersuara diantara mereka berdua. Jadi, Ling berusaha mencari bahan obrolan agar Granger tak hanya diam.
"Lo telat banget kalo nanya begituan."
See, Granger mampu menjawab pertanyaannya dengan kosakata yang cukup panjang.
Ling terkekeh.
"Ya gimana lagi? Kalo gue sih siap nggak siap juga udah siap. Maksudnya gue walaupun tanpa latihan juga bisa."
"Sombong juga lo."
"Bukan sombong, tapi itu bakat. Makanya kalo punya bakat tuh nggak perlu diasah. Kan udah bakat, udah dari sononya."
"Ya nggak gitu juga bambang, elah."
Ling tersenyum, Granger konek dengan gurauannya.
"Betewe, itu bukannya Hanzo?" Ling sengaja menunjuk ke arah Hanzo.
Granger merespon penuh kehati-hatian.
Ling menepuk bahu Granger.
"Anggap dia nggak lihat ke kita. Gue juga gedek tau ama tuh anak." Kata Ling curhat. "Masa nih, ya, gue nggak bisa main bola malah diajak bewan ama dia. Kan tai."
Granger tersenyum.
"Sengklek tuh anak, heran gue." Imbuhnya.
Granger terkekeh.
"Gue tanya satu hal Grang, tapi gue pengin jawaban jujur dari lo." Kata Ling mendadak serius.
"Apa?" Kening Granger mengernyit.
Ling berdehem.
"Hayabusa juga pernah jadi juara biola?"
Granger mengangguk.
"Oh ya? Berarti dia saingan lo, dong." Aih Ling jadi banyak bicara kalau bersama Granger. Padahal saat bersama Zilong dia ambisius dan temperamen.
"Rival."
Sama aja bambang. Batin Ling.
"Dia juga lama banget vakum."
"Gue tahu." Jawab Granger.
"Dan seandainya lo yang menang, gimana?"
Granger menatap Ling cepat.
"Gue bahkan nggak tau cara main gue, apakah masih kayak dulu atau lebih buruk? Jujur, Ling, gue kaku. Gue butuh belajar banyak lagi."
Ling menggeleng pelan, memaklumi.
"Lo tahu, nggak? Gue main musik itu hobi, mau jelek atau bagus juga nggak peduli. Yang penting gue suka dan gue bahagia."
Granger tertegun. Menerka-nerka apakah dirinya juga seperti Ling saat bermain biola? Rasa-rasanya sama sekali tidak. Ia tertarik, ia ingin menjadi sosok Ling yang terlihat tanpa beban semenjak mereka berteman.
"Oi, malah bengong."
Granger kembali sadar ke dunia nyata.
"Kenapa?"
Granger menggeleng, "lo bener. Mau main sebagus atau sejelek apapun, yang penting kita bahagia."
Ling merasa seperti anjir-gue-keren-juga-bisa-kasih-motivasi.
...
Lama banget aku nggak up nih cerita, aku sendiri sedikit lupa sama alurnya. Jadi, sebelum lupa seluruhnya, aku buru-buru nulis dan lanjut setelah membaca dari part awal. Hehe. Selamat membaca dan semoga suka.
See ya chapter depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
When You Say Nothing At All [MLBB FANFICT]
FanfictionCuma Alucard yang tahan sama sifat Granger, dari cara ngomongnya yang dingin atau susah banget diajak ketawa. Ya karena Alucard udah kenal lama ditambah mereka punya tujuan yang sama. Menurut Alucard, Granger itu punya khas tersendiri yang bikin sem...