Granger terengah-engah karena berlari dari pintu gerbang sekolah sampai menuju kelasnya, masalahnya dia terpaksa berlari memutari sekolah ini. Cowok berambut putih itulah yang membuatnya kelelahan seperti ini. Ingin sekali Granger memukulnya, tapi dia tidak jago bela diri.
Sialan, batinnya yang lalu duduk di bangkunya. Dia kehausan, akan tetapi Granger tidak terbiasa membawa air mineral dari rumah. Hanya sekotak susu rasa strawberry yang menjadi stok dikulkasnya. Mau tidak mau dia mengeluarkan benda itu dan meminumnya sampai tandas. Mumpung belum ada yang datang di kelasnya. Namun Granger salah, tiba-tiba Silvana memergoki dirinya yang menyeruput sekotak susu strawberry itu.
"Lah, suka rasa strawberry ternyata." Tabiat Silvana dari dulu yang suka menjaili Granger, gadis berambut panjang itu terkikik geli. Baginya Granger belum berubah sama sekali sejak dulu. Ia menghampiri Granger yang sudah memasang wajah merona karena malu.
Silvana celingukan mencari keberadaan Guinevere, takutnya gadis itu berteriak menyebalkan yang malah membuatnya mau tidak mau meladeninya. Kabar baik, sepertinya gadis berambut coklat yang menjadi rivalnya itu belum datang. Silvana duduk disamping Granger---tempat duduk Guinevere---lalu menatap cowok dingin itu.
"Kenapa?" Tanya Granger yang salah tingkah ditatap seperti itu oleh Silvana.
Gadis itu terdiam sejenak sebelum berujar, "kamu masih belum main biola lagi?"
Granger terdiam, ia tidak ingin pembahasan semacam ini akan ia dapatkan dari pertanyaan Silvana. Seharusnya cewek itu tahu kalau kata biola adalah hal yang tabu bagi dirinya.
"Hei, aku nggak bermaksud bikin kamu sedih atau teringat masalah itu." Silvana mulai menjelaskan, jujur dia sendiri juga ingin mendengar permainan biola Granger.
"Sil, gue udah janji bakalan nggak mainin tuh alat musik." Granger berujar, bukannya dia lelah menjelaskan, akan tetapi dia lebih memilih untuk membuat Silvana mengerti.
Silvana mengangguk, "sebagai salah satu kenang-kenangan dari seorang ayah, bukannya lebih baik itu dirawat?"
Cowok dingin itu bergeming, Silvana tahu apa? Cewek itu tidak akan mengerti bagaimana terpuruknya dia ketika tahu sosok yang memperkenalkannya dengan biola telah tiada. Terlebih lagi Granger membawa kabar gembira yang pastinya membuat sang ayah bangga. Silvana tidak akan pernah tahu rasanya seperti apa sesaat ia kehilangan salah satu dari tujuan hidupnya yang berarti.
"Lo nggak tahu apa-apa." Kata Granger berubah dingin.
"Apa yang gue nggak tahu? Bilang, biar gue paham apa yang lo rasain." Silvana tidak mau kalah, dia ingin membuat Granger lepas dari keterpurukannya. Sudah saatnya bagi Silvana kalau cowok itu harus meraih mimpinya. Kalau Granger bersikeras, Silvana juga begitu. Dia yang paling bersikap dewasa, dia lebih menyadari suatu masalah dari teman-temannya. Silvana cukup peka mengenai hal itu.
"Percuma!" Granger beranjak dari duduknya, ia merasa kesal dengan gadis ini.
"Kalau kamu tetap lari dari kenyataan, sampai ke ujung dunia pun kamu nggak akan nemuin apa itu bahagia, Granger." Sungguh Silvana bukan ingin sok tahu atau menceramahi Granger, tetapi sikap dingin dan acuh cowok itu perlu dihilangkan.
"Tahu apa kamu sama kebahagiaan aku?" Tanya Granger dingin tanpa menatap Silvana, detik setelahnya dia berlalu meninggalkan Silvana sendirian di dalam kelas.
Guinevere urung memasuki kelasnya sesaat dia menyadari Silvana dan Granger berbicara dengan serius. Cewek berambut coklat itu memilih menunggu di luar sambil sedikit mencuri dengar. Bukan niatnya menguping, tapi itu lebih dari cukup untuk menjadi alasan Guinevere berhenti mengejar Granger.
***
"Ketemu."
Granger benar-benar tidak mau diganggu untuk saat ini, maka dari itu dia lebih memilih pergi ke UKS. Dan siapa sangka dia akan bertemu dengan Ling, yang sialnya cowok itu memang sengaja membolos kegiatan belajar mengajar dan pura-pura sakit. Granger akui, Ling memiliki kesamaan dengan dirinya. Ling juga dingin seperti dirinya, menyukai musik sama sepertinya. Kerasa kepala dan suka membolos pelajaran walau sebenarnya otak mereka encer dimata pelajaran matematika. Perbedaannya adalah, Ling lebih mencolok dan senang sekali menjaili murid sekolahnya. Tentu dari segi wajah, Ling lebih tampan dan terlihat lebih ramah.
"Ck." Granger berdecak sebal.
Ling berjalan mendekat, "lo sakit?"
"Bukan urusan lo."
Ling meninggikan sebelah alisnya, kalau bukan karena ingin mengikuti perlombaan tingkat sekolah itu, Ling juga tidak mau mendekati Granger. Cowok dingin yang selalu menyakitkan kalau berbicara. Eh, dia sendiri seperti itu. Apalagi kalau sudah bersama Wanwan. Sial, dia seperti melihat dirinya sendiri.
"Lo tau, nggak? Gue pengin sekali main biola." Kata Ling memulai ceritanya, berniat agar Granger luluh akan perjuangannya itu.
"Gue benci piano, kakak gue sebelumnya adalah pemain piano yang cukup terkenal. Dia bahkan udah sampai ke luar negeri untuk mengikuti perlombaan." Lanjut Ling, dia sedikit melirik Granger yang masih terpejam dengan posisi terlentang diatas brankar UKS. Ling tersenyum samar.
"Piano bukan satu-satunya hal yang gue suka, jujur, gue lebih memilih main biola. Jikalau nggak bisa main biola, gue nggak akan pernah mau main piano."
"Terus kenapa lo main piano? Permainan lo nggak bisa dikatain buruk, bahkan cukup bikin aura gue merinding dengernya waktu itu." Kata Granger masih memejamkan kedua matanya dengan posisi yang sama seperti tadi.
Ling menoleh, dia tersenyum lagi ketika Granger ternyata merespon ucapannya. Ini kali pertamanya dia mendengar Granger berkata panjang lebar.
"Nggak tahu, tubuh gue seperti gerak sendiri tiap kali gue menekan tuts-tuts piano itu. Kayak ada yang mengendalikan jiwa gue." Jawab Ling.
Granger merubah posisinya menjadi duduk, kekehannya terdengar sampai ditelinga Ling yang membuat cowok berambut putih itu mengernyitkan dahinya heran. Kekehan Granger seperti iblis menurutnya.
"Itu namanya bakat, biarpun lo benci piano, lo tetap bisa mainin kalau lo emang punya bakat itu." Kata Granger, dia tidak sadar akan dirinya, dasar cowok dingin kurang peka.
"Kakak gue, yang jadi panutan dan contoh buat gue, meninggal karena penyakit jantungnya. Tiap kali gue main piano, gue seperti lihat dirinya yang mengamati gue. Rasanya dia selalu ada didekat gue, seperti dia ikut main disebelah gue." Ling menerawang, ia tidak berbohong untuk semata-mata dikagumi oleh Granger. Baginya, cowok yang menjadi kakaknya itu adalah kebahagiaan Ling lebih dari apapun. Ling juga tidak berbohong kalau setiap kali dia bermain piano seperti ada arwah kakaknya yang mengamatinya.
Menyadari kebisuan Granger, cowok berambut putih itu menoleh. Ia mengernyit heran menatap Granger yang malah melamun dengan tatapannya yang kosong.
"Bro?" Ling mengguncang pundak Granger pelan, cowok itu akhirnya tersadar dari lamunannya.
Mereka diam sejenak, saling menatap satu sama lain. Menyalurkan kebingungannya pada Ling. Detik berikutnya, pernyataannya membuat Ling membeku.
"Gue mau main biola lagi."
***
Maaf baru bisa up, saya lagi cari inspirasi dan bahan yang bisa dijadikan lanjutan cerita ini.
Fyi, beberapa part lagi tamat. Dan saya mau lanjut dengan cerita FF saya yang lain. Kalau berkenan, kalian bisa baca kalau sudah saya publish.
Regard,
Author
KAMU SEDANG MEMBACA
When You Say Nothing At All [MLBB FANFICT]
FanfictionCuma Alucard yang tahan sama sifat Granger, dari cara ngomongnya yang dingin atau susah banget diajak ketawa. Ya karena Alucard udah kenal lama ditambah mereka punya tujuan yang sama. Menurut Alucard, Granger itu punya khas tersendiri yang bikin sem...