Pride (Proud)

682 114 0
                                    

I'll take all the religions and put 'em all in one service

Just to tell 'em we ain't shit, but He's been perfect, world

"Aku dengar itu tidak benar. Buhoejangnim melakukan itu untuk membela diri."

"Begitukah?"

"Ung! Anak-anak lainnya kemudian menyebar rumor. Yaakh... orang sempurna memang selalu jadi incaran buruk orang-orang."

"Sudah lihat videonya? Mark Lee merundung teman kuliahnya."

"Jadi kabar yang beredar tentang Buhoejangnim itu bohong?"

"Menurutku begitu. Lagipula, jika kau melihat Buhoejangnim... beliau sama sekali tidak terlihat seperti seorang perundung. Ya, mungkin tatapannya tajam sekali dan ekspresinya dingin, tapi bukan dingin tipe perundung, kau paham? Jadi aku ragu Buhoejangnim merundung apalagi jika dikait-kaitkan dengan Tuan Noh..."

"Aku melihat Buhoejangnim dengan Nyonya Noh beberapa waktu lalu. Mereka tampak dekat. Nyonya Noh itu sosialita yang pemilih bukan? Tidak mungkin Nyonya Noh tidak tahu jika ada yang mencelakai suaminya dan tidak mungkin beliau bergaul dengan orang yang mencelakai suaminya. Buhoejangnim bahkan membuat anaknya menjadi kepala staff. Itu berarti hubungan mereka sangat baik."

Chenle yang berada di salah satu bilik kamar mandi duduk di atas toilet dan menyeringai kecil. Topik terkait dirinya dan Mark Lee sedang begitu hangat tujuh hari menjelang rapat pemegang saham untuk penentuan pergantian wakil pimpinan. Tidak ada asap jika tidak ada api dan tidak ada api jika tidak ada pemantik. Chenle memantik kabar dengan begitu mudah dengan bantuan Tuan Do. Melihat bagaimana semuanya begitu memercayai bahwa dia sama sekali tidak bersalah Chenle optimis semua pemegang saham tidak akan berani menggunakan alasan dia tidak pantas menjabat untuk menyingkirkannya. Ingatkan Chenle untuk memberikan hadiah yang pantas untuk Tuan Do.

Setelah egonya puas, Chenle keluar dari bilik dan melangkah pergi menuju ruangannya. Langkahnya melambat ketika melihat Tuan Ahn melangkah tidak begitu jauh di depannya. Pria tua itu tampak sedikit malu dan segan ketika berhadapan dengan Chenle. Dari sanalah Chenle tahu pria tua itu tahu bahwa "si perundung" yang dia "fitnah" mengetahui siapa yang ada di balik menyebarnya rumor kemarin.

Meski sebenarnya itu bukan rumor melainkan kenyataan. Namun, mari buat kebenarannya hanya diketahui oleh suami dan musuhnya.

"Tuan Ahn." Chenle mengulas senyumnya.

"A-ah, Buhoejangnim." Tuan Ahn membalas dengan canggung.

"Apa Anda memiliki urusan di sini? Ah! Saya baru saja ingin menikmati teh, bagaimana jika Anda ikut?"

"Tidak, tidak." Pria tua itu menolak dengan cepat. "Saya memiliki janji sebentar lagi. Saya pamit."

"Hati-hati di jalan, Tuan Ahn."

Chenle hanya terus tersenyum untuk membalas tatapan curiga yang dilemparkan oleh Tuan Ahn kepadanya hingga pria tua itu pergi. Senyumnya hilang seolah tidak pernah dilukiskan begitu hanya punggung Tuan Ahn yang menghadapnya.

"Di sini? Gereja?"

"Hm, kenapa?" Chenle melirik Jisung yang sedang menyapu semua yang bisa dia lihat dengan matanya.

Sepuluh tahun lebih mereka bersama, tidak pernah sekali pun Jisung pergi ke gereja bersama Chenle ataupun melihat Chenle pergi ke gereja. Jujur saja Jisung terkejut ketika Chenle mengajaknya pergi ketika mereka sarapan, belum lagi ketika dia tahu ke mana tujuan mereka.

"Tidak apa... hanya saja aku bahkan tidak pernah melihatmu menyentuh alkitab."

Chenle menyeringai kecil, seringai yang terulas karena merasa ucapan Jisung lucu. "Aku tahu." Lelaki itu kemudian mengendikkan bahunya. "Aku hanya ingin pernikahan kita disaksikan oleh seseorang, sesuatu, atau apa pun yang dianggap penting. Apa itu aneh?"

Tangan Jisung yang berada di samping tubuhnya bergerak untuk menggenggam tangan Chenle. Jari-jarinya dia selipkan di sela jari-jari Chenle.

"Tidak, itu tidak aneh."

Chenle menoleh, menatap Jisung dengan lekat. "Jisung, selagi kita belum benar-benar terikat, kau boleh memutuskan talinya."

"Sudah kubilang tidak akan pernah." Jisung mendekat, hanya menyisakan jarak empat jari dengan wajah Chenle. "Apa pun yang menunggumu di depan, aku ingin kau menghadapinya bersamaku."

Satu kecupan

Dua kecupan

Tiga kecupan

Chenle yang berjinjit menatap mata Jisung beberapa saat sebelum turun dan menyandarkan kepalanya di bahu Jisung.

"Aku bisa saja membunuh orang nanti. Kau benar tidak ingin lari sekarang?"

Jisung mengangguk. "Hm, tidak ingin."

Salah satu hal yang Jisung sukai dari dirinya sendiri adalah tingginya. Dia menyukai tingginya yang membuat bibirnya sejajar dengan dahi Chenle ketika mereka berdiri berhadapan. Sangat memudahkannya ketika dia ingin mengecup dahi kekasih hatinya.

Mata Chenle terpejam ketika merasakan sentuhan lembut di dahinya.

Jisung akan selalu berada di mana pun Chenle berada. Itu bukan hanya sekadar ucapan, itu adalah sesuatu yang mutlak akan Jisung lakukan. Seperti bumi yang terus mengitari matahari, Jisung akan selalu tetap mengitari Chenle, Chenle adalah pusatnya. Tidak peduli separah apa semua yang akan Chenle lakukan di masa mendatang, Jisung tidak akan pergi. Tidak akan pernah.





Flame [JiChen | ChenJi] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang