Victory

626 98 3
                                    

Love me with the love that's got no limits

Take it just as good as you can give it

Then give me more than I can take

"Mark Lee datang ke kantor tadi."

Jisung menatap Chenle yang memotong steaknya dengan lekat. Jantungnya berdebar cepat, berbagai kemungkinan akan apa yang dilakukan pria itu kepada Chenle menyerang benaknya.

"Kenapa?"

"Marah, tentu saja." Chenle mengendikkan bahunya ringan. "Karena dia kalah telak."

"Itu salahnya karena membuat masalah."

Chenle mengangguk, menyetujui perkataan suaminya. "Dia bilang dia akan membongkar perbuatanku ke publik."

Jisung berhenti mengunyah makanannya. Rumor menyebar di dalam perusahaan adalah sesuatu yang bisa dikendalikan, tapi jika di luar itu akan menyebabkan masalah yang besar dan serius. Saham, konsumen, dan citra perusahaan akan sangat terpengaruh. Belum lagi jika Mark membawa anak-anak yang dulu sebagai saksi dalam kasus ini.

"Apa yang akan kau lakukan?"

Chenle berhenti memotong daging di piringnya dan menatap Jisung. "I haven't decided yet. Bagaimana menurutmu?"

Jisung termenung. Mark Lee seperti tanaman pengganggu yang harus dicabut sampai akarnya. Itu jelas.

"Mengirimnya bertemu dengan Tuan Noh."

Chenle terkekeh seraya mengibaskan satu tangannya. "Jelas. Maksudku, cara apa yang paling tepat?"

Jisung... tidak tahu. Cara yang paling tepat? Bagaimana caranya dia memilih cara yang tepat? Jisung hanya terbiasa menjadi penonton saat Chenle beraksi.

"Bagaimana cara kau menentukannya?" Jisung bertanya.

"Tergantung. Jika itu hukuman, aku melihat dari kesalahan mereka. Jika hanya ingin menyingkirkan, aku pilih cara paling praktis. Jika ingin menyiksa, pikirkan mana yang akan terasa... mendebarkan." Chenle membicarakan pembunuhan seringan dia menjelaskan bagaimana dia memilih pakaian setiap harinya. Itu membuat Jisung merinding dalam artian dia sedikit terkagum sekaligus terkejut walaupun seharusnya dia tidak perlu terkejut. Bertahun-tahun Chenle melakukan ini dan Jisung mengetahuinya, hanya saja memperhatikan dengan mendengarkannya langsung dari mulut suaminya rasanya berbeda.

Mark Lee memang harus disingkirkan, tapi juga harus dihukum atas perbuatan semena-menanya terhadap Chenle. Namun, Jisung ingin pria itu menikmati momennya sebelum menyadari bahwa semuanya berbeda dari yang dia pikirkan. Jisung memikirkan...

"We'll give him his last supper."

Chenle tersenyum tipis. "That somehow sounds poetic."

"Apa itu aku?"

Jisung yang duduk di sofa menoleh ke belakang dan tersenyum kala melihat Chenle berdiri seraya menatap sketsanya dengan serius.

"Hm. Belum selesai, tapi bagaimana menurutmu?"

Ketika menggambar manusia, Jisung selalu membuat tubuhnya terlebih dahulu sebelum membuat kepala dan wajah. Di sketsanya, dia belum mengisi bagian kepala Chenle dengan wajah, kepala sketsanya itu masih kosong.

"Kurasa kau tidak perlu menyelesaikan bagian wajahnya."

Jisung memperhatikan sketsanya. Menurutnya wajah adalah gerbang untuk mengetahui sekilas tentang seseorang, seperti sebuah sinopsis dalam novel. Jika tidak ada maka akan sulit untuk dibaca, kecuali bagi si pelukis.

Seperti Chenle. Tidak ada yang benar-benar tahu bagaimana Chenle. Hanya dia yang memahami Chenle sepenuhnya.

"Baiklah, tidak akan kugambar."

"Sudah selesai? Kalau begitu ganti pakaianmu. Kita makan malam di luar." Chenle membenamkan wajahnya di kepala Jisung, menghirup aroma mint suaminya untuk beberapa saat.

"Hm? Tidak biasanya. Apa ada sesuatu yang istimewa?"

Tangan Chenle melingkari leher Jisung, memeluk suaminya dengan nyaman. "Dewan direksi mempercayakan posisi wakil pimpinan kepadaku tanpa bantuan ayah sama sekali."

Itu bukan sebuah kejutan untuk Jisung, Chenle lebih dari sekadar bisa menanggung posisi tersebut, dia tahu kemampuan suaminya. Namun, kesenangan Chenle adalah kesenangannya juga. Jisung melepas tangan Chenle yang melingkar dan membalik posisinya. Satu kecupan Jisung berikan di bibir ceri Chenle.

"Selamat, sayang. Kau sangat mengagumkan."

Chenle terkekeh pelan sembari mengusap wajah Jisung. "Jalan ke depan mungkin akan lebih berkerikil."

Jalan yang mereka lewati selama ini tidak pernah ada yang mulus. Jisung sudah lebih dari terbiasa, itu sudah menjadi bagian dari hidupnya. Tidak ada lagi hal yang bisa Jisung takuti kecuali satu: kehilangan Chenle.

"Kita selalu bisa melewatinya, tidak akan jauh berbeda."

"Aku mendapat kabar dari Tuan Do bahwa dunia memilih untuk berbaik hati kepada si serangga pengganggu. Tuan Ahn sudah bisa dijenguk. Kau ingin ikut atau tidak?" Chenle bertanya pada suaminya.

Jisung mengendikkan bahunya. "Mark Sunbae akan berada di sana bukan?"

"Ahn Jaehyung adalah salah satu kenalannya. Mungkin saja."

"Kalau begitu aku ikut denganmu. We'll give him the invitation, dia sudah menunggu cukup lama."

Tangan Chenle meraih gelas wine dan mengangkatnya. "For our victory."

Jisung tersenyum tipis dan turut mengangkat gelasnya, bersulang atas kemenangan mereka yang kesekian kalinya.

Kemenangan mereka.

Terkadang Jisung merasa konyol ketika Chenle mengatakan itu. Maksudnya, Chenle yang melakukan semua pekerjaan kotor sementara Jisung hanya duduk manis di rumah. Namun, Chenle selalu menyebut kemenangannya sebagai kemenangan mereka; kemenangan Chenle dan Jisung.

Jisung selalu berada dalam setiap pidato yang Chenle ucapkan ketika menerima penghargaan. Selalu menjadi tempat Chenle bersandar ketika lelaki itu membutuhkan opini tambahan meski tahu Jisung bukanlah ahli di bidang tersebut, tapi Chenle selalu menghargainya.

Sekarang katakan, bagaimana bisa Jisung tidak jatuh bersimpuh kepada Chenle?







Flame [JiChen | ChenJi] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang