3.

6 0 0
                                    


"Aristoteles terkesan sexist, karena pada zamannya... Perempuan emang... Lu tahu sendiri, perempuan di zaman itu, ya... Lu tahu lah." Ucapku, ragu untuk mengatakan hal yang aku pikirkan kepada salah seorang teman yang... Pejuang kesetaraan gender. Iya. Kalian pasti punya teman yang seperti orang yang sedang mengajakku berdebat sekarang ini.

kadang orang seperti dia sangat membuat kita kagum dengan pemikiran-pemikirannya. Tapi kadang juga kesal dibuatnya, juga karena pemikiran-pemikirannya. "Iya, tapi enggak ngerubah fakta bahwa pola pikirnya yang salah itu loh, ya kan?" Jawab Ranti.

"Well, tanpa Aristoteles orang-orang gak akan..."

"OY! Debat mulu, sudah beres!" Potong Rama. Kami semua berdiri. Aku merapikan sisa-sisa barangku yang tergeletak di atas meja. Begitu pula dengan Ranti. Kami berdua yang paling terakhir beres-beres. Dia tersenyum padaku. Senyuman yang berarti... 'Kita lanjutkan debat kita nanti!'. Mungkin. Kesannya memang seperti itu. "Makan dulu gak lu nih?" Tanya Rama.

"Ayo!" Jawab Bahrul dan Fuad kompak. "Gue ngikut Rima aja." Jawab Ranti.

"Ya, gue ikut!" Jawab Rima. "Gue, enggak. Gue mau ke tempat temen gue." Jawabku. Semua memandangku. Ada alasan yang kuat kenapa aku harus berpisah dengan mereka. Kali ini sungguh-sungguh kuat. Tidak sekedar mengada-ada hanya untuk menghindari mereka. "Penting!" Tambahku.

"Oke, kalau gitu! Jangan lupa dicicil ya itu, tugas!" Ucap Rama.

"Siap!" Jawabku. "Serius lu gak ikut?" Tanya Fuad.

Aku menggelengkan kepala. "Duluan!"

"Yo!" Mereka semua melambaikan tangannya padaku.

Aku baru saja mengerjakan tugas kelompok dengan mereka. Aku pernah mengatakannya, kan? Jujur saja, aku benci tugas kelompok. Selain karena aku harus bersosialisasi, aku juga harus memahami pemikiran orang-orang yang mungkin saja menurutku salah. Dan itu sangat membuatku frustrasi. Kebanyakan dari tugas-tugas kelompok yang aku lalui, aku selalu mengalah. Untuk orang yang mempunyai pola pikir sama denganku, pasti paham alasannya.

Tempat kami mengerjakan tugas kelompok tadi, adalah sebuah kafe yang tak jauh dari Fakultas Psikologi. Dan tentu tak jauh dari kantin.

Aku punya janji pertemuan lagi dengan Pak Petra. Hampir setiap minggu. Aku sebenarnya tidak tahu lagi mau berbicara apa padanya. Sepertinya aku sudah mengatakan semua hal yang aku punya. Suatu saat kalau aku punya pacar, aku ragu dia akan lebih tahu soal diriku dari pada Pak Petra.

Tapi minggu lalu, dia memintaku tersenyum sebelum masuk ke ruangannya. Setidaknya aku tahu akan ada yang baru di sana nanti. Senyumku. Aku memasuki ruangannya. "Siang, pak!" Ucapku.

Aku paksakan senyum itu. Aku tidak tahu terlihat seperti apa senyumku barusan. Memang tidak perlu menonton video tutorial untuk tersenyum. Tapi bagiku, senyuman adalah hal yang cukup sulit sejak kejadian di kereta. Pak Petra membalas senyumanku. Aku harap senyumku yang tadi, bisa semenawan senyumannya. "Alvian! Silakan masuk!" Jawab Pak Petra.

Dia mempersilakanku juga untuk duduk. Aku duduk di hadapannya. Seperti biasa, dia menanyakan terlebih dahulu bagaimana keseharianku. Kehidupan rumah, kampus, dll. Aku tidak menambah detail-detail yang sudah aku ceritakan padanya di pertemuan-pertemuan sebelumnya. Dia tersenyum. "Hmm... Terus, gimana mimpi kamu?" Tanyanya.

"Hari ini, saya mengalami mimpi hari kedua. Dan... Ya, seperti biasa. Selalu berakhir di... Saat perempuan itu bilang, selamat datang di Lamongan." Jelasku. Pak Petra tersenyum lagi. Ada jeda cukup lama sebelum dia berbicara lagi. "Saya punya pertanyaan baru buat kamu." Ucapnya.

"Pertanyaan?" Tanyaku dengan wajah bingung.

"Iya. Jadi gini, menurut kamu, bagaimana perasaan kamu ke perempuan yang ada di mimpi kamu itu? Cinta, kah? Sayang? Biasa saja? Apa perasaan kamu untuk dia?" Aku terdiam. Harusnya aku tidak sesumbar dalam pikiranku, soal pertanyaannya yang itu-itu saja. Saat dia memberi pertanyaan sulit, aku terdiam. Aku masih mencoba ingin menjawab pertanyaan itu. Terus menggali pikiran-pikiran apa yang sebenarnya aku rasakan. Aku tidak mendapat apa-apa. Aku menatap Pak Petra nanar.

Jakarta SyndromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang