15.

4 0 0
                                    


Puluhan panggilan tak terjawab dan puluhan pesan tak terbalas dari Tasya yang aku biarkan. Aku masih belum mau berbicara dengannya. Kemarahanku masih kuat. Tolong jangan salahkan aku. Aku pernah bilang, bahwa aku dulu laki-laki yang penuh emosi. Aku memukul Satria hanya karena dia meminjam sepatku tanpa izin. Dan aku tak mau emosi yang aku punya, terbawa pada Tasya.

Tapi mau bagaimanapun, aku memikirkan perkataan si perempuan aneh. Akan tidak adil kalau aku menganggap semua yang Hendra katakan adalah benar, tanpa aku mendengar langsung dari mulut Tasya. Dari sudut pandangnya. Jadi, aku putuskan untuk berdoa lagi. Dengan keterangan yang lengkap. "Gilee! Suami istri dateng bareng!" Ucap Fuad.

Aku mengikuti arah pandangan matanya. Ranti dan Rama baru datang, ke tempat yang sudah kami sepakati sebagai tempat mengerjakan tugas kelompok. Sebuah kafe, dekat dari fakultas kami. Kecuali mereka, kami semua memang sudah sampai. "Suami istri mata lu!" Ucap Ranti.

Mereka duduk. Dua kursi kosong, ada di samping kiriku, dan satu lagi di samping Bahrul. Ranti duduk di kursi yang ada di sampingku. "Udah mulai dari tadi?" Tanya Rama. "Nunggu elu lah, pak! Lu kan donatur!"

Kami mulai mengerjakan tugas. Seharusnya, tugas panjang ini bisa kami selesaikan hari ini juga. Ya, aku rasa bisa. Semua anggota kelompok juga ingin semuanya cepat selesai. Di sela-sela waktu mengerjakan, sesekali aku menatap Ranti dan juga Rama. Aku rasa semuanya berjalan dengan baik. Mereka nampak senang, bahagia, tersenyum setiap saat. Ingat! Mengembangkan bibir sedikit saja, sudah dianggap tersenyum.

Aku lega. Setidaknya aku tidak terbebani karena mereka. "Lu kenapa, yan? Dari tadi lihatin Rama mulu?" Tanya Ranti berbisik. "Ah? Enggak. Dapet inspirasi aja gue, tiap lihat dia."

"Alesannya!" Aku menatapnya. "Lu baik-baik aja?" Tanyaku. "Kenapa lu nanya gitu?"

"Nanya temen apa salahnya?"

"Pertanyaan lu aneh. Emangnya gue kelihatan gak baik-baik aja ya?"

"Enggak."

"Terus?" Aku mengangkat bahuku, lalu melanjutkan tugasku. Ranti menjitak kepalaku. Aku senang. Bukan karena dijitaknya. Aku senang kami masih bisa bercanda setelah aku melakukan sesuatu yang buruk padanya. Aku tidak bisa membayangkan kalau suatu saat nanti Ranti membenciku, karena aku sudah memberi saran yang membuatnya menjauhiku, romantically. Seharusnya selain aku berdoa untuk supaya aku mengetahui perasaan Tasya, aku juga harus berdoa soal kelanggengan hubungan Ranti dan Rama. Akan lebih mudah kalau Tuhan menyayangiku.

"Udah selesai belum, bukunya Albert Camus yang gue pinjemin?"

"La Peste? Udah!"

"Gimana?"

"Hmmm... Bagus sih. Masuk akal banget Albert Camus dapet Nobel Prize, katanya kan gara-gara buku ini. Penokohannya, Ceritanya, lengkap semua. Kayaknya kalau kita di kasih sebuah bencana wabah, ya bakalan kek apa yang diceritain di buku itu. Chaos, kejahatan dan kebaikan, nurani, licik. Dokter Rieux, Jean Torreu, Paneulex, orang-orang kek mereka, bakalan ada kalau kita dikasih wabah besar."

"Skor lu buat buku itu?" Tanya Ranti sambil tersenyum. "Empat dari lima. Lu?"

"Lima." Ranti melihat tugasnya lagi. Sepertinya yang lain sedang fokus dengan tugasnya masing-masing. Hanya aku dan Ranti yang barusan nampak sedang mengobrol, meskipun pelan. Ranti menatapku lagi. "Lu jadian sama Tasya, gue jadian sama Rama. Lu harus tetep jadi teman debat sama diskusi gue, ya?" Tanyanya. "Pasti!"

Aku tidak menatapnya. Mencoba untuk terlihat sedang fokus, pada lembaran yang aku pegang. Apa maksudnya? Dengan saran menerima Rama itu, dia tahu aku mencoba untuk menjauhkan dirinya dariku? Atau dia hanya sekedar berbicara? Pembicaraan yang tiba-tiba seperti itu sangat aneh. Well, ya... Aku juga bertingkah aneh dengan tiba-tiba bertanya apa dia baik-baik saja tadi. Tapi tidak seaneh pertanyaannya yang barusan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 23 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jakarta SyndromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang