Rombongan Tasya pergi sebelum rombonganku. Tasya menghampiriku sebentar, lalu izin untuk pergi duluan. Tak lama dari rombongannya pergi, rombonganku juga pergi dengan beberapa tugas yang sudah selesai. Kami mengakhiri pertemuan kami. Hanya tersisa aku, dan beberapa orang yang tak aku kenal di kantin sekarang. Aku memanggil Satria perihal pesan yang masuk dari abangku saat aku mengerjakan tugas kelompok. "Apaan?" Tanyanya."Abang gue balik ke Indo tanggal dua puluh satu." Jawabku.
"Bulan ini? Lusa dong? Jumat?"
"Iya."
"Serius lu? Asyik! Bawa oleh-oleh apa dia buat gue?"
"Mana gue tahu? Tanya sendiri lah!"
"Lu kan tahu sendiri, di sana Whatsapp diblokir. Line, gue gak punya. Bingung sendiri gue hubungin dia!" Tak akan jadi permasalahan, kalau dia mau mengunduh aplikasi pengirim pesan lain selain yang diblokir di negara sana. Satria memang tipe manusia yang tidak mau bersusah-susah, kalau bukan sebuah keharusan. Selama ini aku sudah seperti burung pengirim pesan antara dia dan abangku. "Ya udah, entar gue tanyain."
Abangku dan Satria memang sangat dekat. Terlampau dekat. Aku pernah mencurigai abangku bahwa dirinya adalah pecinta sesama jenis, tapi tidak terbukti. Dia maupun Satria, mempunyai pasangannya masing-masing saat sekolah. Lucunya, ketika mereka putus dengan pasangan masing-masing, mereka membantu satu sama lain untuk mengerjai si mantan tersebut.
Satria membantu menyimpan kotoran ayam di atas meja belajar mantan abangku. Sedangkan abangku, membantu melumuri tas mantan Satria dengan juga kotoran ayam. Mereka "jarang" menerima sebuah perpisahan dengan lapang dada. Jadi, kalau ada beberapa orang-orang bingung menggunakan istilah 'Partner in crime', aku sendiri tidak merasa kebingungan. Lihat saja mereka. "Kalau jemput, lu bisa gak? Bawa mobil nyokap." Tanyaku.
"Waduh! Lu tahu sendiri tempat ini kagak bisa ditinggalin. Mahasiswa di sini pagi-pagi udah pada ngumpul. Pake Teriak-teriak, Bang Sat! Bang Sat! Mesennya bubur doang! Minum pada bawa sendiri. Sore datengnya?"
"Iya."
"Apalagi sore, kan?" Aku menghela nafasku. Kalau Satria tidak bisa, itu artinya aku yang harus menjemputnya. Dan itu artinya aku harus membawa mobil mama keluar kota, dan berdansa ria dengan kemacetan kota. Aku benci kemacetan. Itu sebabnya aku sangat mencintai motorku. Lagi pula ini abangku. Dia sudah tahu seluk beluk Jabodetabek. Tidak dijemput pun, seharusnya tidak masalah. Mama pasti akan memaksaku. "Berarti gue nih, yang mesti jemput abang gue?" Tanyaku.
"Sorry, ya! Lu jemput dia, bawa ke sini. Gue ngobrol bentar sama dia di sini, entar gue anter pulang pake mobil lu. Lu pas udah nganter Rian ke sini, misah juga gak papa."
"Oke. Gue balik ya!"
"Yo! Hati-hati di jalan!" Aku melangkahkan kaki menuju tempat di mana motorku di parkir. Sesampainya di tempat, aku langsung menaiki motorku lalu membuka ponsel. Aku ingin menanyakan di mana Tasya sekarang. Hanya penasaran. Barangkali dia masih ada di daerah kampus. "Hai!"
Seseorang menyapaku. Berdiri tak jauh di depanku, sambil melambaikan tangannya dengan cepat. Dia terus mendekat. Si perempuan aneh. "Apa lagi?" Tanyaku kesal. Kalau bukan si perempuan aneh, aku tak akan melakukan hal seperti ini. "Nyapa doang. Galak banget?"
"Terakhir kali lu nyapa gue, lu nyuruh gue bawa Tasya pulang, terus lu bilang bahwa lu pengen bikin gue suka sama lu. Kali ini apa?"
"Nyapa doang, sama mau nanya." Aku menatapnya kesal. Aku tahu dia membenciku karena apa yang aku lakukan pada kakaknya. Tapi aku berharap, dia punya cara lain untuk menyiksaku karena itu. Dan aku tidak meninggalkan kakaknya di kereta. "Sabtu atau Minggu nanti kamu ada kegiatan gak sama Tasya? Kalau ada, sisain sedikit waktu kamu ya, buat aku. Aku pengen ketemu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jakarta Syndrome
RomanceDua wanita hadir di dalam kehidupan Alvian. Perempuan yang membuatnya merasa bersalah di setiap apa yang dia lakukan padanya, dan perempuan yang selalu membuatnya merasa ketidak-pantasan karena bisa memilikinya. Alvian mengalami kecelakaan kereta ap...