"Keretanya juga berangkat jam sembilan!"zzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzz
"Yaudah, sana siap-siap!"
zzzzzzzzzzzzzzzzz
"Ada ma, di Jakarta semua tapi."
zzzzzzz
"Oh, ya? Contohnya?"
KYITTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTT...
"Pian?" Sebuah suara membangunkanku.
Aku tidak perlu memberi tahu lagi aku terbangun di mana, kan? Pertanyaan yang lebih penting, adalah siapa yang membangunkanku? Aku melihat ke samping. Seorang perempuan, kenalanku. Aku tidak mengerti apa yang dia lakukan di sini. Ini bahkan bukan fakultas kami. "Ran? Lu ngapain?" Tanyaku, masih mencoba mengumpulkan nyawa yang tersisa. "Sering banget lu ya, tidur di sini? Fakultas kita juga punya kantin kali." Ucapnya, dengan nada 'yang anehnya' serius.
"Lu... Ngapain di sini?"
"Gue teleponin elu dari tadi, tapi gak dijawab. Kata Fuad, lu sering tidur di kantin fakultas Psikologi. Makanya gue ke sini."
"Itu gak ngejawab pertanyaan gue, Ran."
"Gue... Gue ke sini mau minta saran." Aku menatapnya. Saran? Untuk percakapan sehari-hari, aku dan Ranti memang cukup dekat. Dihitung dengan jutaan debat dan diskusi yang telah kami lakukan, apa pun topik yang kami bicarakan, juga akan selalu berjalan dengan natural. Tapi saran? Ini pertama kalinya. Aku memasang wajah bingungku. "Gue gak tahu mau ngomong sama siapa lagi, gue bingung."
"Dan lu gak berpikir bahwa saran gue mungkin bakalan lebih membingungkan?"
"Yan!" Aku mengangkat tanganku ke arah kedai milik Satria. Perutku sudah berteriak memintaku untuk makan. Dari pagi sampai siang ini, aku hanya menyantap roti panggang buatan abangku. Aku bahkan belum minum, sejak makan roti itu. "Sat! Bubur satu!" Teriakku pada Satria.
"Oke!"
"Lu mau makan juga?" Tanyaku pada Ranti. Dia menggelengkan kepala. "Saran apa?"
"Ra... Rama kemaren nembak gue."
"Terus?"
"Menurut lu gue harus jawab apa?" Aku menatapnya. Aku tidak menemukan sebuah alasan yang tepat, dia menanyakan hal ini padaku. Soal cinta, aku tidak begitu pandai seperti apa yang aku perlihatkan. Aku dan Tasya bahkan mengalami kesalah-pahaman mengenai peresmian hubungan kami, saking bodohnya aku. Dan kalau aku salah menyarankan, mungkin aku akan terkena imbasnya.
Aku kembali mengingat soal perkataan Tasya, tentang perasaan Ranti padaku. Sampai detik ini, aku tidak merasa apa yang Tasya katakan benar. Ranti menatap mataku, selayaknya menatap mata seorang teman. Ya, mungkin. Tapi intinya, aku sama dengan banyaknya manusia-manusia lain. Kadang mereka tahu dengan insting, bahwa seseorang sedang menyukai mereka. Dan itu tidak aku rasakan pada Ranti. "Bentar, atas dasar apa lu yakin gue bakalan ngasih saran yang bagus?"
"Lu tinggal jawab doang, Pian! Yaudah kalau lu gak mau bantu!" Ranti berdiri. Sebelum dia beranjak lebih jauh lagi, aku menarik tangannya. Mungkin orang-orang yang melihat, mereka akan berpikiran bahwa kami adalah pasangan yang sedang bertengkar. Ini daerah yang bisa kapan saja Tasya datangi. Seharusnya Ranti tidak menghampiriku di sini. "Oke! Oke! Gue coba bantu jawab. Duduk dulu!"
Ranti duduk.
"Gue gak tiba-tiba dateng, terus minta saran lu yan. Gue udah minta saran ke banyak temen-temen cewek gue, dan jawaban mereka gak ada yang bener-bener ngebantu. Sekarang gue butuh perspektif dari cowok, yang kepikiran di otak gue, cuma elu. Gue ngejanjiin Rama bakalan jawab hari ini. Gue masih bingung banget yan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jakarta Syndrome
RomanceDua wanita hadir di dalam kehidupan Alvian. Perempuan yang membuatnya merasa bersalah di setiap apa yang dia lakukan padanya, dan perempuan yang selalu membuatnya merasa ketidak-pantasan karena bisa memilikinya. Alvian mengalami kecelakaan kereta ap...