14.

4 0 0
                                    


"Udah?" Tanya Tasya. "Udah!" Jawabku. "Pak Petra gak nanyain aku?" Tanyanya lagi. "Enggak, ngapain dia nanyain kamu?"

"I don't know, Perbaikan nilai?"

"Perbaikan nilai mulu, itu nilai kamu yang jelek apa Pak Petra-nya yang killer sih?"

"Dua-duanya." Jawabnya, lalu tertawa. Aku baru saja menyelesaikan sesiku dengan Pak Petra. Tidak ada yang baru dari obrolan kami di dalam ruangannya tadi. Jadi aku tidak harus menceritakan apa-apa saat di sana. Tasya langsung menyambutku sesaat aku membuka pintu untuk keluar.

Kira-kira seminggu yang lalu, Tasya bercerita. Pak Petra tahu hubungan kami berdua karena ikut mendengar desas-desus dari teman-temannya. Itu menyebabkan dia menjadi bulan-bulanan saat berada di kelas. Pak Petra memang terlihat seperti seorang dosen yang asyik, tapi namun juga tegas. Itu yang menjadi alasan Tasya bulak-balik padanya untuk perbaikan nilai. "Ei! Kamu gak papa semalem? Mau kita obrolin lagi?"

"Gak usah. Aku udah buat keputusan."

"Keputusan apa?"

"Well, untuk saat ini, aku bakalan ngebiarin mereka dulu. Aku pengen lihat hubungan mereka bisa berkembang apa enggak. Kalau bisa, aku tetep bakalan ngebiarin mereka. Tapi kalau enggak, aku bakalan minta maaf sama Ranti, dan jelasin semuanya." Jelasku. Tasya terlihat menyatukan kedua alisnya. Dia tersenyum. "Apa pun keputusan kamu, aku bakalan tetep dukung."

"Oh, ya?"

"Ya... Kenapa enggak? Aku yakin kamu mau yang terbaik juga buat Ranti."

"Kalau buat kamu, kamu tahu aku maunya apa?"

"Harus terbaik juga dong. Tapi I-nya ada lima."

"Jadi terbaiiiiik?"

"Iya." Tasya tertawa, lalu dia merangkul tanganku. Seperti yang aku bilang, ruangan Pak Petra telah berganti. Lokasinya jauh lebih ke dalam fakultas, daripada ruangannya yang sebelumnya. Tapi untungnya sedang tidak banyak mahasiswa yang lewat. Jadi aku tidak perlu tidak enak dengan rangkulan tangan ini. Lagi pula perempuan yang merangkulku adalah seorang Tasya. Aku harusnya sombong di fakultas ini. Haha.

Tasya memberitahuku, bahwa dia ingin bertemu. Aku katakan padanya, bahwa aku akan menuju fakultas psikologi saat siang, keperluan dengan Pak Petra. Dan sekarang dia membawaku ke sebuah tempat. Sebuah tempat yang adalah, tempat nongkrong fakultas ini yang tempo hari aku lihat. Sebuah panggung besar, dengan banyak anak tangga, dan meja dan kursi. Aku masih berpikir fakultasku harus mempunyai tempat seperti ini.

"Mau apa kita di sini?" Tanyaku.

"Mau nongkrong, mau ketemu temen aku."

"Wah! Aku dijebak!"

"Dijebak apaan sih? Kan waktu itu juga kamu udah janji."

"Huhftt... Iya, iya." Aku tidak mengerti kenapa Tasya begitu inginnya membawaku pada temannya. Aku tidak paham. Tapi karena sudah beberapa kalinya dia memintaku, mungkin inilah waktunya. Teman-teman, apa salahnya?

"Nah! Itu Savira! Hai, sini!" Tasya memanggil seorang perempuan yang tengah menghampiri kami, sambil melambaikan tangan. Perempuan itu duduk di depan kami. Dia tersenyum padaku. "Ini yang namanya Pian?" Tanyanya. "Iya, Pian!" Jawabku sambil menyodorkan tangan.

"Savira."

Kami berbincang-bincang cukup lama. Savira memberitahuku, bahwa dia adalah orang Jakarta asli, sama sepertiku. Aku bahkan tahu letak rumahnya yang dia sebutkan. Dia juga bilang, dia salah satu pejuang aksi kamisan. Sebuah aksi protes yang dilakukan setiap hari Kamis di depan istana negara. Semua bisa diperjuangkan di aksi itu. Tapi utamanya, mereka melakukan aksi protes atas pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia. Savira pernah mengajak beberapa kali Tasya pada aksi itu. Seringnya Tasya menolak, dengan alasan... Matahari. Ya, Tasya. Tapi dia pernah ikut aksi itu sesekali. Mungkin saat musim hujan atau menghindari hari presentasi.

Jakarta SyndromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang