9.

4 0 0
                                    



Aku mengantar abangku menuju tempat Satria. Kantin malam hari, hanya di terangi lampu-lampu malam. Meski tidak ada para mahasiswa atau mahasiswi, suasananya tidak akan begitu sepi, karena masih terdengar jelas suara kendaraan-kendaraan yang melintas. Kantin fakultas Psikologi cukup dekat dengan jalan besar. Dan Satria memiliki kunci gerbang menuju kantin untuk dirinya sendiri.

Dia pernah berkata padaku, kantin sudah seperti rumahnya sendiri. Di dalam kedainya, dia mempunyai kasur kecil yang cukup untuk satu orang beserta bantal dan gulingnya. Sesekali dia pernah menawariku untuk tidur di kasur itu. Tapi aku selalu menolaknya, karena kasur itu keras dan tidak nyaman bagiku. Kalau di kursi kantin atau rumah, aku bisa memiliki mimpi yang beragam, mimpi hari kesatu, kedua atau ketiga. Kalau aku tidur di sana, mungkin aku hanya akan memiliki mimpi hari ketiga. Mimpi yang paling aku benci.

"Lah si kampret ini yan, pagi, siang, sore, tidurnya di sini mulu. Percuma nyokap lu beli kasur! Dipakenya sama jin!" Keluh Satria pada abangku. Asal kalian tahu, aku masih cukup sering tidur di rumah. Abangku tertawa. "Terus, terus? Adek gue ngapain lagi?" Tanyanya.

Satria dan abangku duduk bersebelahan. Sementara aku dan Tasya, duduk bersebelahan menghadap mereka. Tasya terlihat kaget dengan kedekatan mereka berdua. Huhhftt... Dia belum tahu kerusuhan apa yang bisa Satria dan abangku buat. "Ini mereka kalau ketemu, emang biasanya gini ya?" Tanya Tasya berbisik.

"Biasanya lebih gila lagi. Lebih tolol lagi." Jawabku, yang juga berbisik. "Oh!"

Satria terus menceritakan kisah-kisah aneh tentangku pada abangku. Beberapa di antaranya Tasya bahkan belum mendengarnya. Dia menatapku untuk mengonfirmasi kebenaran cerita Satria. Aku hanya mengangkat bahuku.

"Waktu hari libur nasional si kampret ini dateng ke sini. Gue kira, dia mau bantuin gue, soalnya gue lagi di sini, bikin adonan. Mumpung gak ada siapa-siapa, kan? Gue bisa berantakin tempat ini. Terus dia bilang, kok sepi sat? Pake muka lemesnya gitu." Jelas Satria, sambil lalu mempraktikkan muka lemasku.

Aku rasa aku tidak sememelas itu, saat menanyakannya. Abangku tertawa dengan kencang, sambil memukul-mukul meja di depannya. "Si kampret salah jadwal! Untung gak langsung ke kampus!" Lanjut Satria. Abangku tertawa lagi. Tasya juga tertawa mendengar cerita barusan. Saat aku menatapnya, dia menghentikan tawanya, lalu memegang tanganku di bawa meja. "Gak papa, di dunia ini bukan cuma kamu doang yang pernah salah jadwal kok." Ucapnya berbisik.

"Kamu pernah?"

"Ya bukan aku juga sih." Aku harus keluar dari tempat ini. Terserah Satria mau melanjutkan cerita tentangku pada abangku atau tidak, pokoknya aku harus keluar dari sini. Lagi pula aku sudah berjanji pada Tasya untuk membawanya keluar.


KRINGGGG... KRINGGGG...


Si perempuan aneh meneleponku lagi. Apa? Dia sedang ada di kantin, lalu dia akan memintaku untuk membawa abang dan Tasya pulang lalu kembali lagi? Aku melihat ke sekitar. Mungkin saja benar apa yang aku pikirkan. Tapi tidak. Tidak ada si perempuan aneh itu di sini. Seminggu ini pikiranku selalu buruk tentangnya. Apa yang dia inginkan malam-malam begini?

"Siapa?" Tanya Tasya.

"Hmmm... Orang pinjaman tunai yang tadi. Gak tahu nih, nelepon lagi."

"Oh! Blokir aja kalau gitu nomornya?"

"Iya, siap." Aku menatap dua kunci kendaraan berbeda di depan Satria. Satu kunci motorku, dan satu kunci mobil milik mama. Aku sudah membahas masalah mengantar abangku ini pada Satria. Dia akan mengantarnya dengan mobil, lalu pulang dengan angkutan online. Sementara aku, aku akan membawa motorku bersama Tasya. Aku melihat Tasya yang masih mencoba fokus pada cerita-cerita Satria. Dia memakai rok pendek. Mungkin aku yang harusnya membawa mobil. "Bang? Gue sama Tasya cabut ya!" Ucapku.

Jakarta SyndromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang