Langit seolah rubuh menimpa sekujur tubuh Riana. Hembusan angin ditengah siang yang kelabu tertutup oleh gumpalan awan hitam penanda hujan sebentar lagi akan menyapa bumi. Menawarkan kesejukan sekaligus rasa sakit yang bersamaan bagi seorang wanita yang sedari tadi hanya duduk bersimpuh tak memerdulikan noda dari tanah yang menempel pada bajunya juga sederetan tatapan iba yang ditujukan oleh orang-orang yang melaluinya.
"A-ana... apa yang kamu-"
Dengan tertatih Wijaya menghampiri anak bungsunya dan akan menjadi anak satu-satunya setelah kepergian si kakak Rina Wijaya. Di tebaknya Riana baru saja sampai, melihat sang anak yang masih memakai tas, juga sebuah GoPro di tangannya. Wajah lelah juga masih terpampang jelas di balik paras indah wanita berambut sebahu itu.
"Kamu harusnya..."
"Gimana? Sekarang papa puas kan?" tanya Riana tanpa menoleh ke arah sang ayah.
Wijaya hanya terdiam di posisinya tidak mau lebih dalam membalas ucapan sang anak karena dirinya sudah tau kemana akan larinya pembahasan mereka jika di teruskan.
"Ini tempat peristrahatan terakhir kakak kamu, setidaknya jangan buat keributan di tempatnya."
Wijaya kemudian berlalu meninggalkan Riana yang masih terpaku di tempatnya dengan air mata yang berusaha di minimalisir nya namun tetap saja gagal. Setelah pemakaman sepi barulah Riana bangkit dari duduknya dan berajalan tertatih menuju ke depan pusara sang kakak. Riana memandang sesaat lalu melempar GoPro nya asal, air mata semakin gencar meluncur bebas dari matanya tanpa di kehendakinya, seolah seluruh anggota badannya saling mendukung untuk membuatnya terlihat semakin lemah di hadapan bongkahan tanah yang sudah di hiasi dengan lembar-lembar kelopak warna-warni berbagai macam bunga.
Hatinya sakit benar-benar sakit, jiwanya hampa bak tak bertuan lagi. Hari ini seharusnya adalah hari bahagia baginya, hari ini seharusnya dia akan menjadi wanita yang paling girang selama hidupnya. Namun, takdir seolah ingin membalikkan hatinya sehingga hancur berkeping-keping. Wanita yang terbaring di balik gundukkan tanah dihadapannya itu sudah seperti dirinya sendiri.
Lahir dari rahim yang sama, tinggal di tempat yang sama mesikipun beberapa waktu berlalu di habiskan keduanya di tempat yang berbeda namun mereka selalu saling terhubung satu sama lain untuk hanya sekedar mengingat hal-hal sepele seperti jam makan, jam tidur, siklus halangan atau hanya sekedar menceritakan bagaimana mereka dalam sehari itu.
"Ana mau ngerekam orang nikah bukan ke pemakaman Ina! Ana mau make dress cantik- cantik buat ke nikahan Ina, bukan buat kaya gini. Kenapa Ina tega sih... heiisshh."
Dan lagi Ana hanya bisa tertunduk dalam, sambil menyeka air mata yang terus saja berjatuhan di tiap kata yang yang di ucapkanya. Keadaan semakin gelap karena langit tak lagi memendam gumpalan awannya sendiri namun kini dibaginya lewat hujan yang mulai berjatuhan dan menyapa bumi. Rintikkannya semakin deras berjatuhan menimbulkan suara khas yang meredam tangisan Riana yang semakin menjadi.
Tak tahan melihat sang anak yang terus meraung sendiri di tengah pemakaman yang sedang diguyur hujan lebat, akhirnya Wijaya yang sejak tadi tak pernah betul-betul meninggalkan pemakaman dan mengawasi anaknya dari kejauhan meminta supirnya untuk turun dan membawa gadis itu keluar dari pemakaman. Wijaya paham betul mengenai kedua putrinya itu dan Rianna paling tidak tahan terhadap udara dingin apalagi hujan, setelah berhujan-hujannan gadis itu akan terserang pilek parah dan tidak akan berhenti sebelum hidungnya mengalirkan darah segar.
Dengan langkah cepat sang supir yang tadi di utus Wijaya segera menuju ke tempat Riana terduduk dan menangis sejadi-jadinya sambil meninju dadanya sendiri yang entah kenapa terasa begitu sesak.
"Nona Riana sebaiknya Anda ikut saya ke mobil, Anda tidak boleh berlama-lama di guyur hujan nanti Anda..."
"Kenapa? Apa Tuan Anda, Pak Wijaya yang terhormat itu memerintahkan Anda untuk menjemput saya?" tanya Riana sarkastik di tengah-tengah tangisannya, tak lupa senyum sinis merendahkan yang dilayangkannya membuat si supir hanya bisa tertunduk memandang ke arah sepatunya sendiri.
"Kembalilah ke mobil, beritahu pria itu kalau aku bukan anak buahnya yang bebas di suruh-suruh nya. Ini tubuhku dan semua yang ada di dalamnya termasuk pikiran dan hatiku adalah hak ku, aku bebas menentukan apa yang harus aku lakukan."
"Tapi nanti Anda terserang flu jika Anda tetap bertahan di sini, saya hanya ingin mengusahakan yang terbaik," balas si supir sambil memayungi Riana.
"Tidak usah terlalu peduli, silahkan kembali dan lakukan tugas mu."
"Anda tidak perlu menjadi keras kepala seperti ini untuk menunjukkan bahwa Anda sedang sedih,masih banyak hal bisa Anda lakukan untuk menunjukkan apa yang sedang Anda rasakan. Bukan hanya Anda yang merasakan sakit ini, bahkan Tuan Wijaya lebih sakit lagi karena harus kehilangan anaknya, terlebih Anda yang duduk disini tanpa memerdulikan hujan deras yang bisa membuat Anda jatuh sakit, lalu apa yang akan beliau katakan jika saya kembali ke mobil tanpa membawa Anda? Not because I care of you, but this is my duty to bring you back to the car and go home, and this is one part of my job."
Seketika mulut Riana terkunci rapat mendengar balasan dari supir sang ayah, selanjutnya yang bisa dirasakanya hanyalah dirinya yang dengan pasrah mengikuti si supir layaknya anak itik dan induknya yang hendak menyebrang jalan raya. Terus mengekori si supir kemudian masuk ke dalam mobil bersampingan dengan sang ayah yang langsung menyodorinya handuk dan sepasang baju hangat.
"Balikkan kacanya San," perintah Wijaya kepada supirnya.
Tanpa menunggu waktu lama Hasan yang merupakan supir Wijaya itu segera melaksanakan perintah Tuannya.
"Ohh maaf atas kelalaian saya Tuan," ucapnya sambil menundukkan pandanganya.
"Tidak apa, dan tolong berikan payung nya saya mau berpindah ke depan biar Ana bisa berganti pakaian," kata Wijaya sambil menepuk bahu Hasan.
"Tidak usah Tuan biar saya yang..."
"Berikan saja," titah Wijaya.
Hasan pun mengangsurkan payung yang tadi digunakannya untuk menjemput Riana kepada Wijaya. Selanjutnya Wijaya membuka pintu di bagiannya lalu turun dan berpindah tempat duduk di samping hasan dan membiarkan Riana menggenati pakaiannya yang benar-benar kuyup.
"Nanti kamu demam An, change your chlotes I dont want you get ill," kata Wijaya tanpa menoleh ke arah sang anak.
Tak mau berdebat panjang dengan sang ayah lagipun tulang-tulang nya mulai terasa ngilu setelah masuk ke mobil. Inilah bagian dari dirinya yang tak di sukainya karena dia mudah sakit dan jika dia sudah sakit maka dia tidak bisa jika tak bergantung pada orang lain karena dia akan berubah menjadi sangat manja entah kenapa , bahkan saat pelariannya selama beberapa waktu jika sakit maka dia selalu membutuhkan seseorang dan di masa itulah Rina sang kakak akan menjadi andalannya saat sedang sakit.
"Can you turn off the AC?" tanya Riana saat merasakan sebagian tubuhnya mulai terasa tak nyaman bahkan mulai terasa seperti mati separuh.
"Maaf tapi memang AC nya sudah di matikan Nona," jawab Hasan menanggapi.
"Sepertinya kamu udah mulai sakit An, ayo! Kita harus bawa kamu ke Rumah sakit."
Tidak ada perlawanan dari Riana atas perkataan sang ayah karena kini efek dari air hujan yang tadi mengguyurnya mulai di rasakannya menjalari sekujur tubuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE SUBTITUTE
RomanceDONT FORGET TO FOLLOW AUTHOR NYA DULU SEBELUM MEMBACA. VOTE & COMMENT EVERY PART JANGAN DILUPAKAN. "Lalu bagaimana dengan hutang-hutang Ayahku?" tanya Riana sebelum mengakhiri perbincangan dengan Alden. "Tentu saja dia sudah terbebaskan, ku akui k...