The Beginning

1 1 0
                                    

Bab 4

Sehari telah berlalu sejak berpulang nya Rina, dan sehari itu terasa seperti 10 tahun yang menyiksa penuh kerinduan kepada sang kakak. Sehingga hari ini, pagi sekali dirinya telah mengemas pakaiannya, hendak bertolak lagi ke Bali. Riana berniat untuk meninggalkan Jakarta kembali dan sekuat tenaga melupakan segala kenangannya di kota tempat nya lahir itu. Semakin dirinya lama menetap di rumah semakin besar kenangan yang terus menghantam kepala juga hatinya, dia harus melanjutkan hidupnya. Lagipun, galeri seninya juga terbengkalai jika dia hanya berdiam di rumah dan terus menangis.

Setelah selesai dengan packingannya, Riana menyusuri anak tangga di rumah nya. Saat telah sampai di lantai dasar rumahnya tidak di dapatinya seseorang pun kecuali bi Darmi yang sedang membuat sarapan. Dengan langkah pelan, Riana mendekati bi Darmi dan memeluk wanita itu dari belakang. Sedikit tersentak, namun setelah menandai siapa yang memeluknya Darmi mengelus tangan wanita itu.

"Gak sarapan dulu, ini bibi ada buat sandwich yang suka non makan dulu tiap mau ke sekolah," kata Darmi sambil terus mengelus tangan wanita itu.

"Ayah mana bi?" tanya Riana.

"Tuan akhir-akhir ini gak sehat non, tiap pagi pasti baring dulu nanti siangan dikit baru keluar kamar lagi."'

Kening Riana sedikit mengkerut mendengar jawaban Darmi, pelukannya juga ikut melonggar lalu ditariknya kursi di meja makan, "Lohh kok aku gak tau? Papa sakit apa bi?" tanya nya.

"Bibi juga gak tau non,Tuan sekarang jarang ngomong paling cuma keluar makan abis itu ke kamar lagi."

Kening Riana semakin berkerut mendengar penjelasan Darmi, seingatnya ayahnya sangat workaholic hingga seperti tak ada waktu untuk menetap di kamar sekedar untuk beristrahat. Terbersit di hatinya untuk menengok keadaan sang ayah sekaligus berpamitan berhubung hari ini dia berencana untuk kembali ke Bali.

"Yaudah ayo, sarapan dulu non katanya hari ini udah mau balik."

Riana menimbang sesaat, "Aku ke kamar papa dulu lah bi, skalian pamit."

Darmi mengiyakan, setelah nya Riana melangkahkan kakinya menelusuri sebuah lorong pendek di samping tangga dari rumah megah itu hingga sampai di depan sebuah pintu tua bercat cokelat khas kamar-kamar model terdahulu. Riana memejamkan matanya sekejap sambil merangkai kata dalam otaknya untuk membuka percakapan dengan sang ayah juga agar pertanyaan yang sejak tadi bersarang di pikirannya dapat terjawabkan.

Tangannya terulur untuk memberikan ketukan ringan di pintu tersebut sebanyak tiga kali sambil sesekali menyerukan nama yang sudah entah beberapa waktu belakangan ini tidak pernah dirapalkannya lagi.

"Yah... Ayah ini Anna," ucapnya sambil tetap mengetuk pintu sesekali.

"Ayah, Anna masuk ya?"

"Ayah... ayah?"

Berulang kali memanggil namun tak juga mendapat jawaban akhirnya Riana memilih masuk dan secara kebetulan pintu tersebut ternyata tidak terkunci. Seulas senyum terbit di wajah nya saat bisa langsung masuk namun semenit setelahnya ekspresi tegang tidak dapat di pungkiri di wajah Riana.

Disana, Wijaya tengah terbaring di lantai dengan pecahan gelas mengelilinginya sambil memegang erat dadanya, terlihat sangat kesakitan. Riana segera menghampiri sang ayah sambil sesekali meneriakan nama Darmi. Dirinya panik, khawatir juga entah kenapa tiba-tiba ada rasa bersalah meliput hatinya karena tidak memperhatikan kesehatan sang ayah, bagaimana pun sang ayah lah satu-satunya keluarga yang tersisa untuknya.

"Ya Alloh Tuan! Ini kenapa non?" panik Darmi saat baru saja memasuki kamar dan mendapati tuannya sudah tergolek lemah di lantai juga beberapa pecahan di sekitarannya.

"Aku juga gak tau bi, sekarang tolong panggilin ambulance yahh."

Setelah nya tidak ada lagi perbincangan antara Riana dan Darmi, keduanya mulai menjalankan tugas masing-masing. Darmi segera berlari menelpon ambulance dan mengemasi beberapa pakaian ganti untuk Wijaya sementara Riana senantiasa menggenggam tangan sang ayah sambil memanggi-manggil namanya, berharap lelaki itu mau membuka matanya.

5 menit kemudian ambulance telah tiba di pekarangan rumah, dengan segera beberapa tim medis turun dan memidahkan Wijaya ke dalam ambulance lalu di susul Riana yang tidak pernah mau melepas genggaman tangannya dari sang ayah.

***

Terhitung sudah 5 jam lamanya Wijaya masih menutup matanya di dalam ruangan putih bersih itu dengan selang infus juga beberapa alat lain penopang hidupnya. Wijaya terkena serangan jantung tiba-tiba. Riana juga baru tau tentang penyakit itu dan tidak habis pikir kakak dan ayahnya menyembunyikannya darinya.

Sekarang Riana tengah duduk di kursi tunggu yang ada di depan ruangan Wijaya, sesekali pandangannya menyapu lorong rumah sakit yang tampak lengang karena waktu yang sudah menujukkan waktu tengah malam.

"Non, balik aja dulu. Nanti bibi yang disini nungguin Tuan siuman yah..."

"Nggak, aku nggak mau tinggalin ayah sendiri di sini."

Berselang beberapa menit setelah Darmi membujuknya, beberapa pria berjas hitam nampak menghampiri ruangan sang ayah. Riana sedikit heran juga bertanya-tanya, kenapa para pria itu tiba-tiba ada disana?

"I-ini ada apa yah?" tanya Riana.

"Selamat malam, kami di perintah oleh perusahaan kami untuk menjaga ruangan ini hingga pasiennya sadar."

Riana sedikit heran, apa mungkin ini utusan dari perusahaan sang ayah?

"Tapi ayah bakal baik-baik aja kok, tenang saya anaknya jadi saya bakal jagain dia dengan baik tenang aja," jawab Riana menerka-nerka bahwa para rombongan lelaki berjas hitam itu adalah bodyguard dari perusahaan sang ayah.

"Maaf, tapi ini sudah perintah atasan kami untuk menjaga kamar pasien."

"Atasan? Bukankah Ayah ku atasan kalian?" tanya Riana.

"Bukan."

"Lalu?" tanya Riana kembali.

"Atasan kami adalah Alden Ashari pemilik Ashari corps, tempat Ayah Anda berutang."

"Utang?"

Selanjutnya, dunia Riana seolah berputar di posisinya kini. Seolah gravitasi tidak lagi dirasakannya di tempatnya berpijak. Bagaimana mungkin ayahnya bisa berutang?

***

Lanjut di sebelah say

THE SUBTITUTETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang