First Day as a Wife

1 1 0
                                    

"Apa ini tempat karaoke?" tanya sebuah suara bariton dari belakang Riana yang membuat wanita itu segera menghentikan kegiatan nya bersenandung dan bergerak riang.

"Ohh maaf, jika kamu terganggu tapi ruangan ini terlalu senyap jadi saya hanya ingin menambah sedikit warna ," jawab Riana dengan mengesampingkan rasa malu nya karena kedapatan bersenandung belum lagi bergerak kesana-kemari bak cacing kepanasan tidak jelas.

Alden menghembuskan napas kasar lalu melewati Riana begitu saja menuju kamar mandi, tidak ada balasan untuk penjelasan panjang lebar juga permintaan maaf Riana barusan. Sementara Riana harus menarik napas dalam-dalam lalu menahannya demi kesejahteraan bersama, karena sejujurnya dirinya sudah di ambang emosi.

"Dasar es balok, diktator, sok berkuasa, suami durhaka," makinya dalam hati sambil memandangi punggung Alden yang perlahan-lahan menghilang di balik tembok kamar mandi.

***

Tembok Cina telah Riana pasang di atas kasur berukuran king size tempatnya akan tidur malam ini. Memang mereka telah terikat penikahan dan telah sah namun melihat tampang Alden yang selalu membuatnya kesal membuatnya memikirkan ide tembok China ini.

Alden kembali dari kamar mandi dengan hanya lilitan handuk rawan bencana-nya di pinggang sambil mengeringkan rambutnya dengan sebuah handuk kecil lainnya. Jika wanita lain melihatnya niscaya pandangan mereka tak akan teralihkan namun lain halnya dengan Riana yang lebih memilih memastikan ke kokohan tembok yang dibangunnya dari bantal dan guling ketimbang melihat pemandangan indah di hadapannya.

"Apa ini?" tanya Alden.

"Ahh ini namanya solusi, aku tahu kita telah sah sebagai sepasang suami istri tapi aku rasa..."

"Itu tidak akan terjadi, aku punya kontrol atas diriku sendiri dan aku harap kaupun demikian. Lagipun aku tidak akan tidur bersamamu. Kita memang akan sekamar tapi aku akan tetap di posisiku," kata Alden sambil menunjuk sebuah sofa yang ada di dekat jendela kamar itu.

"Jadi silahkan tidur dan berikan aku beberapa bantal," kata nya lalu menujuk beberapa bantal di bangunan tembok Cina milik Riana.

Dengan malu-malu Riana mengangsurkan beberapa bantal kepada Alden lalu dengan teratur pria itu berjalan menuju sofa di dekat jendela tadi.

"Apa ga bakal sakit tuhh punggung kelipet-lipet gitu, udah tinggi baring nya di sofa pendek-"

"Ada apa?" tanya Alden saat tanpa sengaja dirinya seolah mendengar Riana berbicara namun sangat kecil.

"Aahh tidak-tidak, ini teman saya nge-chat aneh-aneh," jawab Riana mencari alasan setelah ketahuan sedang menyindir Alden.

"Tidak usah banyak bermain ponsel, besok kita mau pindah ke rumah saya dan akan banyak yang di urus..." kata Alden lalu mulai berbaring membelakangi Riana.

"Cihhh! Iya tau. Dasar diktator."

Riana terus mengumpati Alden hingga tak terasa matanya menutup perlahan, berlayar ke pulau mimpi dimana hanya dirinya yang tahu bagaimana rupanya pulau itu, namun anehnya baru beberapa saat berada di pulau itu, samar-samar Riana melihat sosok yang sangat di kenalnya muncul di hadapannya sambil menepuk-nepuk pipinya.

"Apa sihh... masih mau di sini.." keluh Riana dalam mimpinya.

"Tapi ini sudah pagi dan kita perlu bersiap, Riana! Riana Wijaya!" kata Alden sambil sesekali menepuk ringan pipi wanita yang masih terlelap di hadapannya itu.

Saat tepukan di pipinya semakin sering, Riana akhirnya membuka matanya. Hal pertama yang dilihatnya adalah Alden yang berdiri di hadapannya dengan setelan rapi sambil berkacak pinggang seperti ayahnya jika dia melakukan kesalahan sewaktu SMP dulu.

"Saya tidak ada waktu untuk menunggu kamu bersiap jadi silahkan persiapkan dirimu sendiri, Thomas akan kesini membawakan keperluan juga sarapanmu. Ahhh, jangan lupa siang nanti kita ada jumpa pers dengan beberapa media jadi saya harap kerjasama nya," kata Alden panjang lebar sementara kerutan di kening Riana semakin dalam karena jujur dirinya tidak mengerti apa yang terjadi saat ini, mengumpulkan nyawa nya saja belum dan kini Alden sudah memberinya banyak arahan.

"Wait-wait! Soo what should I do?" tanya Riana sambil menggaruk-garuk lehernya yang tak gatal sama sekali.

"Just smile, say yes in front of the camera and please... wake up!."

Riana mengangguk-angguk. "Lalu sekarang kamu mau kemana?"

"Saya ada pekerjaan di kantor dan sekali lagi saya mohon segera bangun," jawab Alden lalu meninggalkan Riana seorang diri kembali di kamar itu.

"Haaahh dasar! Kebiasaan ninggalin gitu aja, ngomong juga udah kaya nasi bungkus. Dikit amat!" ucap Riana sebal sambil merapikan selimut juga menempatkan beberapa bantal di tempatnya semula.

Tanpa di duganya Alden berbalik, "Apa tadi kamu sedang membicarakan saya?"

"Hah?!"

***

THE SUBTITUTETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang