RUMAH

54 15 0
                                    

"Kemana Ibu? Aku lapar..." keluhku sambil memandang saudaraku.

"Aku juga lapar." saudaraku yang berbulu lebih cokelat dari aku itu berkata. "Tapi kita harus cari Ibu dulu."

Aku memegangi perutku yang keroncongan.Untuk bergelantung dari pohon ke pohon seperti biasanya pun,aku sudah tak sanggup.Dan aku yakin,saudarku juga sudah letih.Buktinya dia juga memilih berjalan sepertiku.

Biasanya,kami cukup menunggu di tempat persembunyian dan Ibu akan datang membawa makanan untuk kami.

Tapi...sudah seminggu lebih Ibu tak kembali,dan kami mulai kelaparan.

Akhirnya,dengan terpaksa,aku dan saudaraku keluar dari persembunyian untuk mencari Ibu dan makanan tentu saja.

Aku menengadah,memandang Pohon-pohon tinggi mirip tanaman kelapa,namun memiliki daun runcing mirip daun pohon salak.Buahnya bulat,ada yang berwarna hitam,ungu,hingga merah.Sepertinya di tanam berbeda tiap petaknya.

Aku menyipitkan mata melihat sinar matahari yang menyorot melalui Pohon-pohon yang tingginy bisa sampai 24 meter tersebut.

Dulu sebelum pohon-pohon ini ada,daerah ini adalah rumah kami.Makanan berlimpah dan kami bebas bergelantungan kemana pun kami mau.

Sampai akhirnya rumah kami di babat habis dan di gantikan dengan Pohon mirip kelapa ini.

Coba benar ini Pohon kelapa,setidaknya kami bisa meminum air untuk meredakan dahaga,lalu memakan buahnya.

Tapi ini hanya Pohon yang mirip,bukan pohon kelapa yang sebenarnya.

"SEMBUNYIII...!!" pekik saudaraku keras-keras.

Aku kaget setengah mati,dan ikut berlari mengikuti langkah saudaraku yang lebih dulu menjauh.

"Tangkap orang utan itu!"

"Perusak tanaman sawit!"

"Bukan hanya sawit,kebun wortel serta Ubi ku juga habis di rusak mereka!"

Aku takut,manusia-manusia itu mulai mengejar kami dengan parang dan batang bambu.

Apa salah kami?

Aku lihat saudaraku di pukul di bagian kaki dan seketika terjatuh.

Aku menjerit.

"LARIII...!" sebelum saudaraku di pukul beramai-ramai,dia masih mengkhawatirkan aku,dengan menyuruh pergi.

Tapi terlambat,aku yang ragu karena tak tega meninggalkan saudraku,langsung di tangkap dan di pukul dengan batang bambu.

Lapar dan kesakitan,serta tubuh terikat.Manusia-manusia itu mengumpulkan kami di tengah,dengan di kelilingi ras mereka.

Jika seperti ini,kami merasa kecil di antara mereka yang berkuasa.

Dengan mata bengkak yang sulit membuka,aku menatap wajah-wajah mahluk yang katanya di ciptakan paling sempurna,sebab memiliki akal.

"Sepertinya ini anak dari Orang utan yang kemarin kita tangkap."

"Kita masak seperti sebelumnya atau bawa ke balai konservasi?"

"Masih kecil,dagingnya tidak ada."

"Hama penganggu.Kalau di biarkan akan rusak tanaman kita."

Aku tak mengerti bahasa mereka.Tapi bukankah harusnya mereka kasihan pada kami yang kelaparan dan kehilangan Ibu ini?

Aku merasakan sesuatu yang basah mengenai bulu ku.

Ketika aku menoleh,itu adalah darah yang mengucur dari luka mengangga di kepala saudaraku yang di pukul parang.

Aku berteriak,meminta tolong,saudaraku akan mati jika di biarkan seperti ini.

"Kenapa dia?"

"Rabies?"

"Memang monyet bisa kena rabies?"

Mereka malah tertawa.
Aku menjerit-jerit dengan kondisi terikat dan tubuh penuh luka.
Tapi kenapa mereka tak mau menolong?

Hei,saudaraku sekarat!Tolong!Tolong!

"Monyet ini berisik sekali." salah seorang dari mereka menendang wajahku,membuat aku terpental dan ambruk.

Matahari makin terik,membuat mataku tak mampu membuka.Badan kecilku terasa remuk.

Aku ingin memeluk saudaraku yang tergeletak tidak jauh dariku,tapi aku tak mampu mengerakkan tubuhku.

Rindu Ibu,
Rindu rumah,
Rumah kami yang kalian rampas tanpa menyisakan apa pun,kecuali gersang dan kepunahan spesies kami.

#saveorangutan

-Semarang,6 Oktober 2021-

MUKADIMAH CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang