Semarang 1945
"Mas..." Seruni menyandarkan diri pada pundak Suaminya sambil mengelus perutnya yang membuncit. "Apa Mas harus tetap pergi ?" wajah ayu khas wanita jaman dulunya itu memelas. "Sebentar lagi anak kita lahir, Mas..." ucapnya.
Baskara memeluk Istrinya dan ikut mengelus calon anaknya yang masih dalam kandungan wanita yang di kasihinya itu. "Mas juga nggak menyangka..." Pandangan Pria berkulit cokelat gelap itu mengawang. "Mas pikir setelah Bung Karno memproklamasika kemerdekaan, Negara kita bisa sepenuhnya bebas dari penjajah." Ia berhenti sejenak memandang Istrinya yang masih melihatnya dengan pandangan nelangsa.
Malam itu begitu sunyi dan mereka tengah berbaring di atas dipan kayu beralas jerami. Suara binatang malam terdengar nyaring dari balik tembok anyaman bambu rumah mereka.
"Ternyata Belanda licik, alih-alih melucuti tentara Jepang, mereka malah ingin merebut kembali tanah air kita lewat Inggris." Baskara geram.
"Mas sudah ikut berperang di Ambarawa* (Agresi Militer Belanda I/ Pertempuran 5 hari di Semarang)." Seruni bangkit dari tidurnya dan memandang wajah suaminya lekat-lekat. "Mas tahu selama lima hari Seruni nggak bisa tidur memikirkan Mas Baskara." air mata mulai membayang di peluk mata.
Baskara duduk dan memandang wajah Istrinya. "Mas anggota TKR (Tentara Keamanan Rakyat), Dek. Sudah sepatutnya Mas di garis depan ketika Negara yang kita cintai ini terancam kedaulatannya."
Air mata Seruni luruh. Dia tahu Suaminya benar. Hanya saja ia takut jika perang terus berlanjut Suaminya tidak akan bisa melihat wajah anak mereka.
"Mas ingin anak kita hidup di Negara yang merdeka. Bebas tanpa ada tekanan moncong senjata api atau berjalan merangkak di tanah sendiri kepada orang asing yang mestinya hormat kepada kita Tuan rumah." Baskara berapi-api berkata.
"Tapi anak kita mau lahir, Mas..." tangis Seruni. "Kalau Mas tetap nekat ke Yogyakarta, bagimana..." Seruni tak mampu melanjutkan kalimatnya.
Yogyakarta yang saat itu menjadi Ibu kota Republik Indonesia memang sedang memanas dengan di lakukannya Agresi Militer Belanda II.
"Dek.." Baskara memegangi kedua pundak Istrinya. "Saat ini Bung Karno dan Bung Hatta yang menjadi tongak Negara kita sedang di tawan Belanda." Ia berkata serius. "Pak Dirman (Jendral Sudirman) yang sedang sakit paru-paru saja tetap memimpin perang walaupun dengan di tandu. Mau di taruh di mana muka Mas, kalau Mas yang dalam keadaan sehat ini malah tidur nyaman di ketiak Istrinya saat rekan-rekan yang lain sedang berjuang ?" Mata Baskara memerah mengharap pengertian Istrinya.
Seruni langsung memeluk Suaminya. Ia menangis tersedu-sedu. "Maafkan Seruni, Mas." ucapnya dengan air mata berderai. "Seharusnya Seruni bangga mempunyai Suami seperti Mas..." ia mengusap air matanya. "Tapi Mas janji harus kembali..." tangisnya tak terbendung.
"Mas janji akan kembali untuk anak mu dan anak kita, Dek.." Baskara memeluk Istrinya erat. Tak terasa air matanya ikut meleleh. Sebenarnya ia pun tak tega meninggalkan Istrinya yang sedang hamil besar sendiri, tapi jiwanya patriotisme nya berteriak-teriak memanggil kala senjata api dan tank-tank baja Kompeni kembali mengusik tanah air nya.
Pagi-pagi buta Baskara telah siap berangkat. Di peluk dan di ciumnya kening Istri tercintanya. Tak lupa di elus calon anaknya yang masih dalam kandungan.
"Jaga Ibu ya, Le." Baskara menunduk dan berkata di dekat perut Seruni yang buncit.
Seruni mengusap-usap rambut Suaminya. Ada perasaan tak rela dan ingin melarang, tapi Seruni tahu, tak mungkin suaminya mau menurut.
"Doakan Bapak cepat pulang supaya bisa lihat kamu lahir ya, Le.." Baskara kembali berkata. Di usap-usapnya perut Istrinya tersebut, kemudian di ciumnya penuh rasa sayang dan haru bercampur sedih. Sedih karena Baskara tak tahu akan bisa melihat wajah anaknya atau tidak.
Dalam pertempuran apa pun bisa terjadi. Dan Baskara sudah sering melihat rekan-rekannya yang mati mengenaskan dalam perjuangan melawan penjajah ini.
Melihat tangis para istri dan anak-anak yang rindu akan sosok Suami dan Ayah, dan hanya bisa memeluk jasadnya yang telah terbujur kaku.
Baskara menghela nafas berat mengingat itu. Beruntung Yang Memberi Hidup masih sayang padanya, ia selalu pulang dengan selamat walaupun tak jarang ia juga pulang dengan hadiah peluru yang bersarang di kaki atau lengannya. Tapi tidak fatal dan semua bisa di atasi.
"Mas ?" panggil Istrinya karena Ia melamun.
Baskara langsung tersenyum menenangkan. "Doa kan, Mas ya, Dek..." Baskara berkata.
"Pasti, Mas." Seruni mencium punggung tangan Suaminya.
Dalam keremangan pagi Seruni masih melihat Suaminya itu berjalan menjauh melewati ilalang tinggi yang banyak tumbuh di sekitar rumah mereka.
Seruni terus mengikuti perkembangan berita. Sambil berharap akan ada yang tahu tentang Suaminya. Tapi sampai 7 bulan berlalu dan ia telah melahirka anak perempuan cantik yang di beri nama Sri Asih, Suaminya tetap tak ada kabar.
Ia hanya sempat mendengar kabar jika Suaminya ikut bergerilya bersama Jendral Sudirman. Hidup berpindah-pindah dari hutan ke hutan, dam dari gunung ke gunung untuk menumpas para penjajah. Baskara memang terkenal paling setia kepada Jendral pertama dan termuda yang pernah di miliki Indonesia kala itu.
Loyalitasnya tanpa batas, bahkan Seruni sendiri kadang cemburu dengan kesetiaan suaminya pada Sang Jendral.
Sampai pada tahun 1949, Seruni mendengar kabar jika penyakit TBC Sang Jendral makin parah, padahal saat itu Indonesai sedang mengupayakan negosiasi dengan Belanda perihal kedaulatan Indonesia.
"Mestinya Baskara sudah pulang, Ni." Gito, orang yang selama ini memberinya informasi berkata. "Pak Jendral sakit parah dan saat ini sedang di rawat di Sanatorium di wilayah Pakem." ia menerangkan.
Seruni terdiam. Saat itu keadaan memang sudah mulai membaik dan perekonomian mulai berjalan normal.
"Lalu di mana Mas Baskara kalau Pak Dirman sudah tidak melakukan gerilya lagi ?" tanya Seruni cemas.
Gito hanya mengeleng prihatin.
Seruni hampir putus asa, selama 5 tahun ia bertahan dengan mengandalkan informasi akan keberadaan Suaminya. Bekerja banting tulang di keadaan yang sulit demi putri semata wayangnya dan harapan akan suaminya yang suatu hari akan kembali.
Tapi sampai kini Sri Asih putri mereka lincah berlari dan fasih berbicara, suaminya tak kunjung pulang.
Tanggal 27 Desember 1949 menjadi hari bersejarah ketika akhirnya Belanda mengakui kedaulatan Indonesia melalui Republik Indonesia Serikat.
Seruni menyaksiakan siaran di televisi hitam putih di rumah salah satu pejabat daerah. Jendral Sudirman di angkat sebagai Panglima Besar TKR yang kini berubah nama menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia)
Tapi di mana Suaminya ? Ia tak menemukan Suaminya itu di sisi Sang Jendral atau di mana pun.
Dengan putus asa Seruni pulang ke dengan mengandeng putrinya.
"Dek !" panggil seseorang saat Seruni hendak melangkah ke halaman rumah reotnya.
Seruni menoleh dan mendapati Pria yang di rindukannya bertahun-tahun itu sudah berlari ke arahnya.
Mereka tak mampu berkata apa pun. Hanya saling peluk penuh kerinduan tertahan bertahun-tahun yang kini luruh bersama air mata haru.
"Sri Asih, Mas." Seruni memperkenalkan putri mereka yang menatap mereka dengan wajah polosnya.
Baskara jongkok untuk mensejajarkan tingginya dengan anaknya yang kini telah berusia 5 tahun.
"Cah ayu*( anak cantik) ini Bapak, Nduk.." matanya berkaca-kaca menatap putrinya yang terakhir ia jumpai masih di dalam perut.
"Bapak..." Sri Asih berkata pelan. Ia masih belum paham.
Tapi bagi Baskara, putri kecilnya itu tak perlu paham dan ia tak perlu menjelaskan sekarang. Waktu masih banyak, dan kini ia hanya ingin memeluk darah dagingnya dan berkumpul dengan wanita yang di cintai dengan hati yang merdeka.
-Semarang,21 Maret 2021-
KAMU SEDANG MEMBACA
MUKADIMAH CINTA
Krótkie OpowiadaniaKumpulan cerpen yang akan mengetarkan hatimu.