KANDUNG RASA TIRI

6.4K 189 23
                                    

Hari ini adikku dilamar lelaki tampan dan mapan. Semua orang memujinya, ikut merasakan kebahagiaan dan keberuntungan yang tak putus-putus dari dirinya.

Wajarlah adikku itu cepat dapat jodoh. Dia cantik, menarik, cerdas dan punya karir bagus. Berbanding terbalik denganku yang berwajah standar, kurus, berkaki pincang dan hanya lulusan SMP. Kerjaanku cuma jaga toko grosir koh Abeng yang tentu saja gak perlu pakai ijazah.

Jangankan melamar, menyapa saja lelaki enggan melakukannya padaku. Terang saja sampai saat ini aku belum menikah. Padahal usia sudah dua puluh tujuh tahun. Fix, yang laki-laki cari itu fisik aduhai, bukan sisi lainnya. .

Tempat pekerjaan yang terbilang kotor membuat wajahku yang tidak glowing makin kusam. Apalagi kalau baru pulang kerja sudah tak punya aura indah sama sekali.

Memang, sih kerjaanku di sana di bagian ngitung uang. Tapi, tempatnya barengan sama tumpukan barang. Jadi debu-debu pastilah nempel di seluruh tubuhku.

Mama sangat bangga tentu dengan keberuntungan Lita. Ia pasti merasa tak sia-sia menyekolahkan putri kesayangannya hingga jenjang sarjana. Toh, hasilnya luar biasa, dapat mantu orang kaya.

"Lily, nasi di meja prasmanan habis, ambilkan sana!" perintah mama.

Tanpa berkata-kata, aku melaksanakan perintahnya. Bukan apa-apa kalau tak langsung dikerjakan bisa ada omelan sepanjang jalur kereta api.

Meski kaki tak bisa bergerak lincah sebab yang kiri kurang normal, tetap saja aku tak bisa lengah. Mama tak mau tahu, pokoknya aku harus melaksanakan perintah.

Lita adalah ratu, apapun tentangnya harus diutamakan. Aku adalah dayang, jadi harus siap sedia memenuhi segala keinginan sang ratu.

Kadang terpikir, apakah aku anak tiri, pungut atau malah anak dari selingkuhan ayah. Bisa jadi ayah dulu pernah nikah lagi terus punya anak.

Heleh! Sinetron banget!

Pikiran itu pernah datang dulu. Sekarang sudah tidak sebab yakin aku memang anak kandung mama dan ayah. Alasan dibedakan karena Lita lebih segalanya dari gadis pincang ini.

"Nasinya, Bi!" pintaku pada bi Yum yang bantu masak khusus untuk acara ini.

"Ini, Li!"

"Makasih, Bi!"

"Li!"

"Ya, Bi!"

"Yang sabar, ya. Nanti juga jodohmu akan datang. Insya Allah yang lebih baik dan terbaik."

"Haturnuhun doanya, Bi!"

Bi Yum adalah orang pertama yang menghiburku pada hari ini. Kuanggap orang pertama meski yang berkata sabar sudah ada beberapa orang. Hanya ucapannya yang kurasakan ada ketulusan di dalamnya.

Selebihnya entahlah, mungkin mengejek atas ketidakberuntunganku menurutnya.
Kadang, aku emang mudah berprasangka buruk. Mungkin pola pengasuhan berat sebelah yang mewujudkan karakter curigaan.

Kupindahkan nasi di atas wadah di meja prasmanan. Karena tempatnya di ruang  utama, aku harus kembali melihat kemesraan Lita dengan Brian, bos sekaligus tunangannya saat ini.

Sekejap, muncul di hatiku cemburu melihat keberuntungan mereka. Disusul keluhan mengapa aku tak seberuntung itu. Mengapa bukan aku yang diciptakan sebagai Lita, malah seorang Lily.

Tapi, ah, seberapa kuat pun meratap, takkan posisi dibalikkan.

"Lily, bikinkan jus mangga, ya. Lita haus. Sama jus jeruk, kak Brian mau juga, nih!"

Tanpa berkata iya, aku kembali ke dapur.

"Jangan lupa, Kak sama pudingnya. Udah habis, tuh di meja!"

Aku tak juga merespon, hanya terus menyeret kaki diiringi teriakan Lita.

Lita memang memanggilku nama. Katanya lebih enak begitu daripada menyematkan embel-embel kak atau mba. Lagipula usia kami hanya terpaut dua tahun saja.

"Bi ada pesanan jus dari calon pengantin. Nanti tolong bibi yang antar, biar saya yang buat"

Lebih baik aku menghindari fakta tak disuka daripada terwujud penyakir hati. Aku merasa Lita seperti sengaja ingin menunjukkan kedigdayaannya di hadapanku.

*

"Ly, ambilin handuk gue, dong di luar!"

"Ambil sendiri!"

Aku buru-buru keluar rumah sebelum Lita ngomel karena keinginannya tak dipenuhi.

"Songong banget, sih, lo. Gitu doang gak mau bantu!"

"Ly, amal dikit buat sodara, ambilin sekalian keluar!"

Karena mama ikut teriak, aku terpaksa balik lagi membawakan handuk untuknya.

"Sory, Ly gak sengaja, tanganku licin abis luluran!"

Handuk yang kusodorkan sengaja ditepis Lita, terus minta diambilkan lagi. Karena harga diri ini terus diinjak, kuambil dengan kaki yang normal, lalu menyodorkan padanya.

"Ly, keterlaluan banget, sih, lo. Tadi 'kan gue bilang gak sengaja!"

"Ngapain sarjana, ahlak aja gak punya!"

"Sialan, lo, ya, pantas gak laku-laku. Udah burik, songong pula!"

Aku lempar dengan kaki kanan, handuk ke arah Lita, lalu melangkah keluar rumah sebelum mama datang. Aku takkan melakukan itu andai dirinya punya adab sedikit saja.

Bodo amat nanti pulang diomelin panjang lebar. Andai bisa nginep di suatu tempat, aku akan nginap di sana.

Di tempat kerja, meski cape tapi gak pernah dengar bulian. Koh Abeng memang cerewet, tapi gak ada acara menghina. Dia membimbing pegawainya sampai kami paham.

"Ly, nih bonus!"

"Beneran, Koh?"

"Gak mau?"

"Mau atuh, Koh!"

"Kerja yang rajin nanti dikasih bonus lagi!"

"Siap, Koh!"

*

Aku pulang dengan hati bahagia. Kekesalan tadi hilang semua. Aku bawa kwetiau tiga untuk mama, ayah dan Lita. Bagaimanapun mereka adalah keluarga.

Sesampainya di rumah aku jadi ragu mau masuk juga. Ada mobil tunangan Lita parkir di pinggir jalan depan rumah. Gak enak aja kalau sampai memergoki mereka sedang bermesraan. Kadang udah keterlaluan.

"Eh, ini orangnya datang! Sebentar, ya. Mama ajak Lily ngobrol dulu!"

Mama menarikku cepat. Perasaanku mulia tak enak. Pasti ini ada apa-apanya. Apalagi Lita juga ikut masuk

"Gini, Ly, ituloh ada yang mau ngelamar kamu, supir tunangan Lita. Duda anak tiga. Emang, sih agak tua. Tapi lima puluh tahun itu masih perkasa, kok! Lagian kapan coba ada yang akan ngelamar kamu. Inget, loh umurmu udah dua puluh tujuh tahun!"

Kantung plastik yang berisi kwetiau untuk mereka jatuh, hingga isinya berserakan.

"Terima , ya Ly. Jadi 'kan gue sama bosnya, lo ama supirnya. Cocoklah dengan derajat kita masing-masing!"

Next?

GADIS TERHINA JADI NYONYA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang