Aku diboikot oleh mama dan Lita. Mereka tak mau bicara atau hanya menjawab pertanyaan. Menyuruhku melakukan apa pun tidak. Bukan hanya itu, tak ada juga sarapan di meja.
Karena tak bisa protes, aku lebih baik menerima keadaan ini. Tak apalah nanti juga kalau butuh, mereka akan ngomong lagi. Bukankah selama ini mereka hobi menyuruhku melakukan ini dan itu. Mana bisa 'kan mendiamkan lama-lama.
Jadilah hari ini aku pergi kerja tanpa sarapan. Gampanglah nanti beli gorengan di warung sebelah grosir. Moga aja belum habis sebab perut sudah teriak-teriak minta diisi.
Syukurlah masih ada sisa lontong dan tempe goreng sepasang di warung ceu Bedah. Tak apa ini juga cukup untuk ganjal sampai siang.
Gorengan di warung ini memang cepat habis. Selain harga murah, rasanya juga enak. Ditambah, pemiliknya ramah. Boleh ngutang pula. Makinlah banyak pelanggannya.
Setelah lontong dan tempe habis, aku langsung pergi ke grosir. Ternyata koh Abeng dan pegawai lain sudah datang.
"Ly!"
Panggilan seseorang dari arah belakang membuatku berhenti melangkah. Keningku agak berkerut sebab heran mengapa ayah datang ke sini?
"Eh, Ayah, tumben ke sini?"
"Nih, ada roti, tadi kamu belum sarapan'kan? Nah, ini ada uang buat tambahan jajan. Ayah langsung pergi, ya, nanti bunda marah!"
Setelah menyodorkan uang lima puluh ribu dan satu plastik kecil warna putih, ayah berlalu. Pria itu sempat melambaikan tangan sebelum melajukan motornya.
Bunda adalah istri pertama ayah. Ia tak bisa punya anak hingga ayah menikah dengan mama. Hubungan kami dengannya tak pernah baik sampai kini. Mungkin, bunda memang tak pernah ikhlas sampai kapan pun.
Aku juga tak berani ke rumahnya. Takutlah dihina. Sudahlah sama mama dan Lita dimaki, nanti ditambah doble sakit hati ini.
Ayah juga melarang kami ke sana. Ia bahkan pernah memarahi mama gara-gara mencarinya ke rumah bunda.
Aku, sih, tak mau ikut campur urusan hidup mereka. Yang penting ayah masih pulang dan memberi kami makan.
"Ly, bengong aja! Pengen kawin, ya?"
Sekali lagi aku kaget oleh sapaan orang. Mungkin aku memang kebanyakan bengong, jadi kagetan pas ada yang tiba-tiba manggil.
"Ya, ampun, Koh, jantung saya bisa copot ini!"
Koh Andre, anak sulung koh Abeng baru terlihat lagi. Ia memang jarang nongol di grosir ini sebab sibuk ngurus grosir cabang di kelurahan sebelah.
Sesaat dadaku berdebar-debar saat melihat tawa koh Andre, tapi cepat diredakan sebab tak boleh keterusan. Itu bahaya untuk seorang bernama Lily. Jadi orang 'kan harus tahu diri.
"Lily, cepet bantu sini!"
Aku meninggalkan koh Andre yang baru saja mau buka suara lagi. Perintah koh Abeng adalah kartu mati. Tak nurut bisa kehilangan kerjaan.
Karena pelanggan toko sudah berdatangan aku pun sibuk dengan pekerjaan. Toko koh Abeng memang tak pernah sepi meski makin banyak saingan. Selain harga lebih murah, pelayanan kami juga ramah. Selelah apapun, kata koh Abeng, kami tak boleh bermuka masam.
Beres kerja, aku harus langsung pulang. Meski kebayang tak enaknya di rumah, aku tak punya pilhan tempat yang dituju.
"Mau diantar, Ly?" tawar koh Andre yang tiba-tiba sudah ada di sampingku lagi. Entah kenapa hari ini banyak kejadian tiba-tiba?
"Enggak, Koh, makasih. Dekat ini jalan kaki saja!"
"Yaudah jalan, yuk, sekalian saya juga mau ke arah sana!"
Sebenarnya aku pengen nolak, tapi orang itu jalan lebih dulu. Mau gak mau aku jadi ngikutin. Sengaja jalan lambat biar gak beriringan, tapi koh Andre malah melambatkan langkahnya.
Sepanjang jalan, koh Andre banyak disapa orang, lelaki itupun balas menyapa. Beda, ya, kalau orang ganteng dan kaya yang jalan, musti dihormati. Kalau aku, mana ada yang nanya, kadang duluan nyapa juga, mereka jawab seadanya.
Aku tahu ada pandangan orang yang tak suka saat kami jalan berdua. Wajar, sih, koh Abeng itu ganteng kayak oppa Korea, kaya pula. Maklumlah, anak orang yang punya lima cabang toko grosir. Kalau udah dandan, musti para cewek makin suka.
Aku? Takutlah, masa suka sama dia, ketinggian. Meski mereka mualaf, tetap tak mungkin menyimpan rasa pada yang beda kasta. Siapalah aku yang hanya gadis pincang, tak cantik pula.
"Sudah sampai, Koh. Saya masuk, ya. Jadi enggak enak diantar sampai rumah!"
"Santai, Ly. Oke, deh, aku pamit!"
Untung di rumah sepi, aku jadi tak perlu malu sama koh Andre kalau tiba-tiba dimarahi mama dan Lita.
*
Sengaja aku berangkat lebih pagi biar gak lama-lama melihat tampang masam mama dan Lita. Lebih baik cari aman biar gak terjadi pertengkaran lagi.
Ternyata grosir belum dibuka, yaudah, aku ke rumah koh Abeng saja dulu untuk minta kuncinya. Ternyata ada motor koh Andre, mungkin baru datang. Gerbangnya juga terbuka, jadi bisa langsung masuk.
Di depan pintu, niatku mengucap salam tertahan sebab dari arah dalam terdengar percakapan.
"Jangan dekat dengan Lily, mama gak suka! Kamu jalan sama dia kemarin itu jadi gosip tahu!"
"Gosip apa?"
"Kamu pacaran sama dia. Mama tahu Lily baik, tapi kalau jadi pacar atau istri itu tak mungkin. Dia itu gak cantik, pincang dan cuma lulusan SMP. Bisa malu kita!"
"Ya, ampun, Mah, masa Andre pacaran sama Lily, Andre ke sana tadinya biar ketemu sama adiknya, Lita. Andre normal, tahu mana barang bagus dan enggak!"
*
NEXT!
KAMU SEDANG MEMBACA
GADIS TERHINA JADI NYONYA
RomanceLily kerap dihina sebab tak cantik, kurus, berkaki pincang dan hanya lulusan SMP Namun, keadaan berbalik ketika keberuntungan menyapa. Ia bahkan berhasil menjadi seorang nyonya. Siapakah yang mengangkat derajatnya? Lalu, bagaimana nasib para penghi...