SAMPAI KAPAN

4.4K 165 11
                                    

GADIS TERHINA JADI NYONYA 2

"Lagian, nih, ya, Ly, lo, tuh, cacat, lulusan SMP dan kurang cantik. Dapat duda aja udah untung! Ayolah, Ly, daripada, lo

Mulut Lita makin kurang ajar. Rasanya tangan ini ingin menamparnya berulang, tapi sekuat mungkin ditahan.

Lututku gemetar bukan karena takut, tapi sebab menahan amarah yang terus melesak. Aku butuh sandaran agar tubuh ini tak ambruk akibat guncangan yang makin melimbungkannya.

"Aku mau ganti baju dulu sebentar, nanti aku ke depan."

Akhirnya aku sanggup menahan keinginan membalas kelakuan buruk mereka. Logikaku masih bisa menang melawan napsu angkara.

"Ingat, ya, Ly, kamu harus terima. Mama pengen liat kamu menikah. Mumpung ada yang mau. Mama malu kalau kamu jadi perawan tua!"

Setelah keduanya pergi, aku menjatuhkan diri di lantai. Rasanya tak kuat lagi tungkai kaki menopang tubuh ini.

Aku merasa sedang berada pada titik penghinaan paling tinggi. Bukan karena lelaki itu tua atau duda, tapi sebab tak ada sama sekali penghargaan atas hatiku.

Pernahkah mereka sedikit saja bermurah hati untuk memberi penghargaan atas wanita tak sempurna ini. Haruskah aku berlutut agar dapat diakui sebagai manusia yang punya nilai sama.

Bukan salahku jika wajah ini tak cantik, kaki tidak sempurna serta ketakberuntungan meraih jenjang pendidikan tinggi. Aku dipaksa oleh takdir untuk menerima itu semua. Haruskah marah? Pada siapa?

Agar masalah tak berlarut-larut, aku harus menyelesaikannya. Supaya hawa menjadi dingin, aku harus membersihkan diri meski kilat.

Setelah badan bersih, hati tenang aku masuk ke ruang depan. Di sana ada lelaki seusia ayah yang duduk di samping Brian. Kata Lita itu supirnya.

Ayah membuka pembicaraan dengan mengatakan maksud pria yang bernama Kosasih itu. Lalu disusul pak Kosasih yang bicara menegaskan omongan ayah.

Sekuat mungkin emosi kukendalikan. Takkan selesai jika urusan ini dipecahkan dengan amarah. Saat Brian menambahkan, aku tetap berusaha tenang. Pun, ketika mama dan Lita bicara.

"Terima kasih atas kepercayaan Pak Kosasih pada saya. Bapak orang baik yang saya yakin dapat menjadi imam yang baik. Namun, bukan saya makmum yang tepat untuk imam sebaik Bapak. Saya ini tidak cantik, berpendidikan rendah, dan juga pincang. Saya mohon maaf sekali lagi jika tak dapat menerima lamaran Bapak.."

"Lily! Apa-apaan kamu? Ceroboh sekali kamu menolak lamaran orang baik!" serang mama.

"Mau kamu apa, sih, Ly. Gosah belagu, deh. Segitu ada yang baik hati jadiin kamu istri. Harusnya kamu, tuh, nyadar diri!" timpal Lita.

Aku tahu pak Kosasih sangat kecewa. Binar di matanya tak seperti saat pertama kami bertatapan. Bukan karena usia, fisik atau statusnya sebagai supir yang membuatku tak menerima, tapi memang tak ada ikhlas di hati ini.

Di dadaku muncul kelegaan tak terkira sebab sudah mampu menyampaikan keputusan tepat. Meski konsekuensinya akan diomeli keluarga, aku sudah siap menerima.

Pak Kosasih memang orang baik. Atas penolakanku, ia tak mempermasalahkannya. Dengan santun pria itu menyatakan menerima. Begitu juga Brian, ia memaklumi hal ini. Keduanya pamit setelah urusan usai.

Dan, aku sudah siap menerima makian selepas kepergian tamu. Sudah, barang tentu ayah tak bisa meredam sebab dia adalah suami takut istri.

"Kamu, tuh, beneran belagu, ya, Ly. Gue yakin, lo, bakal nyesel nolak pak Kosasih sebab gak akan ada lagi laki yang lamar, lo. Emang, lo, mau suami ganteng, kaya dan perkasa kayak Brian, ngaca, dong!"

"Mama bener-bener kecewa sama kamu. Dasar tak tahu diuntung! Duh, Gusti punya anak gini amat. Susah diatur, bikin malu, ngeselin!" umoat mama dengan suara naik beberapa level ketinggiannya.

"Sudah, sudah, sudah. Kalian itu apa tak bisa sekali saja menghargai Lily? Dengar Lita, Lily itu kakakmu, punya adab sedikit kamu!"

Aku beneran bengong mendengar ayah bicara. Seumur-umur baru kali ini pria itu angkat suara, membela putrinya yang selalu dihina. Baguslah, minimal sekarang tak sendiri menghadapi cacian. Meski takkan menghentikan sama sekali hujatan ke depan, paling tidak meredakan sesaat.

Otakku mau pecah mendengar teriakan teriakan mama dan Lita. Rasanya ingin sekali mengistirahatkan badan juga pikiran.

"Ayah, kok, nyalahin Lita. Harusnya Lita yang marah sebab Lily udah malu-maluin depan Brian. Dia udah baik bawa calon suami buat Lily, eh, malah nolak, siapa yang gak kesel coba!" serang Lita tak mau kalah. Suaranya tak beda jauh dengan mama, tinggi sekali.

"Yang harusnya marah itu Lily bukan kamu. Ah, sudahlah susah ngomong sama kalian. Dengar, mulai sekarang jangan ikut campur soal jodoh Lily. Dia sudah dewasa, punya hak menentukan hidupnya sendiri. Lagian dia juga gak dihidupi sama kamu! Sudah, bubar kalian. Masuk kamar semua!"

Karena suara ayah kali ini sangat tinggi, kami masuk kamar tanpa menunggu perintah ulang.. Meski keduanya dongkol setengah mati, tetap saja masih ada rasa gentar melihat ayah murka.

Syukurlah, untuk beberapa waktu ke depan, aku tak perlu mendengar umpatan dan makian dari ibu dan saudara kandung rasa tiri.

Biarlah, pikiran dan perasaan ini mencari ketenangan. Esok, hadapi lagi saja apa yang akan terjadi. Toh, aku sudah terbiasa hidup begini.

Entah sampai kapan, aku pun tak tahu.

GADIS TERHINA JADI NYONYA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang