"Mama masih inget Theo gak ya?"Mattheo berbicara dengan lirih, ia meninju brutal samsak dihadapannya. Ragil dan Dito hanya bisa diam melihat Mattheo yang sedari tadi tak henti-hentinya memukul samsak, bahkan ini samsak kedua setelah samsak pertama robek karena Mattheo yang dengan ganasnya meninjum. Keduanya lebih memilih menepi dan tak ingin ikut campur, karena Mattheo tidak suka privasinya diketahui oleh orang-orang termasuk teman-temannya.
"Yo, Rey nyariin lo nih. Dia ngechat gue." Dito memperlihatkan layar ponselnya, Mattheo hanya melirik setelahnya melanjutkan tinjunya ke samsak.
"Bilang aja lo gatau dimana gue, emosi gue masih gak stabil. Takutnya Rey nanti kena imbasnya, gue mau pergi dulu deh ya. Nyari angin, bye."
Tanpa menunggu jawaban dari kedua temannya, Mattheo pergi begitu saja. Dengan wajah dan tubuh yang dipenuhi oleh keringat, Mattheo terus berjalan menuju parkiran.
Ia menaiki motornya kemudian melaju kencang membelah jalanan, pikirannya kacau saat ini.
Sejak bertemu dengan Soraya kemarin membuat emosinya tak terkendali, bahkan sudah dua hari ini ia tidak fokus disekolah. Dan itu karena pikirannya dipenuhi oleh Soraya, ia merindukan wanita itu.
Ya meskipun kadang Mattheo ingin sekali membenci ibu kandungnya, namun ia tak bisa. Soraya adalah ibu kandungnya, tak seharusnya ia membenci wanita itu meskipun perlakuan Soraya padanya begitu jahat untuk seorang Ibu.
Mattheo mengerem mendadak motornya, ia segera menghampiri sosok wanita dengan rambut panjang yang terurai.
Itu adalah Soraya, ia tak sendiri melainkan bersama Abi. Entah dapat keberanian darimana, yang jelas Mattheo tergerak hatinya untuk menghampiri Soraya dan Abi.
Mattheo melepaskan helmnya, ia melemparkan senyumnya ke Soraya.
"Assalamualaikum Tante, hai Abi."
Soraya tersenyum, ia mengangguk sebagai sahutan.
"Tante lagi ngapain? Nunggu taksi?"
Soraya mengangguk pelan, ia mengecek jam ditangannya. Mattheo tersenyum kecil, sulit rasanya memanggil Soraya dengan sebutan 'tante'. Namun ia bisa apa? Memanggil Mama? Sangat tidak mungkin.
Soraya mengangguk, ia mendesah frustasi.
"Padahal saya harus buru-buru pulang, suami dan anak saya pasti nungguin."
Anak? Apa itu adalah Kakak tirinya? Heol, bahkan Mattheo saja sudah dilupakan kalau ia adalah anak kandung dari Soraya.
Ah sudahlah, Mattheo hanya bisa menerima kenyataan kalau ia adalah anak yang terlupakan dan tidak dianggap.
"Mau Theo anterin? Ya maaf kalo cuman bisa nganter pakai motor ini, gimana Tante? Ini udah malam loh."
Soraya berpikir sejenak, ia melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul delapan malam. Ya tidak ada salahnya kalau ia ikut dengan anak laki-laki dihadapannya ini.
"Kebetulan helm pacar saya kebawa, jadi Tante pakai helm itu aja."
Mattheo menyodorkan helm Rey ke Soraya, ia segera naik ke motornya diikuti oleh Soraya yang duduk dibelakang bersama Abi.
"Ayo berangkat, Om!" Pekik Abi, ia bertepuk tangan dengan heboh. Mattheo hanya tertawa kecil dibalik helmnya, diam-diam hatinya kembali sesak.
'Harusnya kamu panggil aku, abang. Bukan Om, Abi.'
Perlu 15 menit Mattheo mengendarai motornya menuju rumah yang dituju oleh Soraya, setelahnya ia sampai didepan rumah bercat hitam dan cream.
Rumah itu terlihat sangat besar, bahkan 2 kali lipat dari rumahnya. Pantas saja Ibunya lebih memilih pergi, nyatanya Ayah tirinya jauh lebih bisa membahagiakan Ibunya dibanding tinggal dirumah lama yang dimana itu adalah peninggalan dari Ayah kandung Mattheo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't call me "Mas"
Teen Fiction"Misi mas, saya mau tambal ban." "......" "Mas? Hello? Saya bicara sama mas loh daritadi" "......" "MAS!!!! SAYA MAU TAMBAL BAN" "WOY, GUE CEWEK!!! MAS-MAS MATA LO PICEK?!!!"