2 : Tantangan Menulis

12 4 1
                                    

"Anda yang bernama Luna?"

Luna mengawasi pria yang menyapanya. Pria asing yang samasekali belum pernah ia lihat sebelumnya. Gaya berpakaiannya Nampak seperti bodyguard. Tubuh tinggi besar terbalut kaus ketat hitam dan gelang rantai yang ada di tangannya.

"Ya, saya Luna."

"Anda tidak boleh masuk ke café ini."

Tangan pria itu terulur memberikan isyarat dilarang masuk.

Gadis dengan rok panjang itu melebarkan mata. "Siapa Anda berhak melarang saya masuk? Sudah bertahun-tahun saya menjadi pelanggan tetap café ini!"

"Maaf, Nona! Saya hanya menjalankan perintah atasan. Kemarin ada pengaduan oleh pengunjung lain bahwa Anda berkata kasar kepada Dokter Brian."

Astaga, jadi semua ini ulah fans Dokter Brian yang melihat kejadian kemarin. Pantas saja beberapa perempuan disekitarnya memelototi Luna dengan ekspresi yang menakutkan. Ia tak menyangka ternyata penggemar Dokter Brian ada dimana-mana.

Siang ini, penggemar fanatik Dokter Brian telah merusak mood-nya. Apa haknya melarang Luna berkunjung ke café untuk sekedar menulis dan menikmati es greentea kesukaannya? Ini tempat umum, bukan pulau pribadi milik fans Dokter Brian.

Mendengar keributan yang terjadi di depan café, David tergopoh-gopoh menghampiri Luna. Tangannya masih memegang nampan kosong.

"Luna, maaf! Karena insiden kemarin, fans Dokter Brian marah-marah. Mereka mengancam tidak akan mengunjungi café ini lagi. Padahal mereka adalah pelanggan tetap café ini. Jadi, terpaksa atasan kami melarangmu masuk ke sini," jelas David.

Walaupun kecewa, Luna memahami perkataan David. Ia juga bisa mengerti bagaimana perasaan fans Dokter Brian ketika orang yang mereka idolakan ditegur dengan kasar oleh orang lain.

"Kalau kau mau, aku bisa membungkus ice greentea favoritmu. Gratis untukmu, Lun."

"Aku tidak menginginkan minuman itu, Vid! Berhentilah bicara, jangan membuatku pusing!" potong Luna.

Lagi-lagi ia bersikap ketus terhadap David, sampai pria itu beringsut mundur. Menjauh dari sana, tangannya berkali-kali membenarkan posisi kacamata. Maaf Vid, Luna sedang membutuhkan ketenangan.

*

Dengan berjalan lesu, Luna sampai di café nomor dua favoritnya. Ice greentea di tempat ini hampir memiliki rasa yang sama dengan café terfavoritnya. Jadi ia memutuskan untuk mengunjungi café ini.

Pemandangan pantai di café ini justru lebih indah dibanding dengan café sebelumnya. Dengan wajah yang kembali ceria, Luna segera memesan ice greentea favoritnya.

"Ice greentea satu ya! Tolong antarkan ke tempat duduk outdoor di dekat pantai itu." Luna menunjuk tempat duduk yang tampak nyaman dengan pemandangan pantai yang indah.

"Ada lagi kak? Salad buah sepertinya cocok disaat cuaca panas seperti ini." Tanya pelayan café dengan ramah.

"Wah kalau gitu boleh deh Mba! Salad buah satu ya." Dengan perut yang lumayan lapar karena berjalan, ini pilihan yang tepat. Kata Luna dalam hati.

Pemandangan pantai di café ini memang yang terbaik. Ombak pantai bergulung dengan tenang, angin sepoi-sepoi menerbangkan rambut Luna dengan indah. Luna masih takjub dengan keindahan pemandangan pantai di café ini. Tak heran café ini selalu ramai pengunjung karena tempatnya yang sangat cocok untuk berfoto.

Tiba-tiba seorang pria mendekat ke arah Luna."Permisi, Nona. Apakah saya boleh meminta tolong fotokan sebentar?"

Luna memalingkan pandangan ke pria tersebut. Ia terkejut karena wajah itu tidak asing baginya. Rasanya seperti baru kemarin mereka bertemu. Ya, benar! Pria itu adalah Dokter Brian.

"Dokter Brian?!" kata Luna dengan nada terkejut.

Pria itu membalas dengan kening yang mengerut. Ia masih bingung mengapa wanita ini tampak pernah bertemu dengannya. Ia mencoba mengingat-ingat kembali.

"Kamu!! Wanita yang menegur saya saat bertelepon itu kan?"

Dengan muka masam Luna mengangguk. Mengapa pria ini mengingat kejadian pahit itu yang membuatnya harus diusir dari café langganannya.

"Hahaha tidak kusangka kita bertemu seperti ini. Karena belum berkenalan, nama saya Brian Asad. Panggil saja Brian. Lalu, siapa namamu?"

"Saya Luna Anderson. Panggil saja Luna."

Keduanya berjabat tangan dengan senyuman yang menghiasi wajah mereka. Mengapa mereka bisa bertemu kembali? Apakah ini takdir atau kebetulan? Entahlah yang ada di pikiran mereka saat ini adalah mereka hanya orang asing yang terlihat baik sehingga tidak ada alasan bagi mereka untuk menolak perkenalan ini.

"Satu.. dua... tiga... cekrek" Luna memotret pria itu yang berdiri di pinggir pantai dengan kemeja ala pantai dan celana pendek. Dengan pakaian sederhana, Luna tak menampik fakta bahwa pria itu tampak memukau baginya.

*

Kini keduanya berbincang-bincang di tempat yang sama. Mereka menceritakan diri masing-masing tanpa disadari.

"Apa kau seorang penulis?" tanya Brian penasaran melihat catatan-catatan Luna.

"Iya aku menulis Novel Teenlit!" balas Luna dengan penuh semangat.

"Wah... keren sekali! Semasa SMP novel-novel Teenlit menjadi favoritku, lho! Aku juga pernah bermimpi menjadi penulis novel itu." jawab Brian dengan tertawa kecil.

Tak terasa waktu semakin sore. Mereka masih terlihat asik mengobrol tentang cerita satu sama lain. Luna menyadari bahwa Dokter Brian benar-benar orang yang bukan hanya baik di layer kaca, namun di kehidupan aslinya ia juga orang yang sangat baik dan rendah hati. Bahkan, mereka saling bertukar akun sosial media masing-masing.

*

Luna kembali ke rumahnya. Mamanya sudah menunggunya lama di depan teras rumah sambil menikmati secangkir teh hangat yang kini mulai dingin. Dengan wajah gelisah ia menunggu putri satu-satunya yang sangat ia cintai.

Dalam hati ia bertanya-tanya mengapa sampai saat ini putrinya belum pulang ke rumah. Ditambah lagi dengan hujan deras dan petir yang membuatnya semakin menghawatirkan putrinya itu. Ia mencoba untuk menghubungi nomor handphone Luna. Namun, nomornya tidak dapat tersambung.

Dari kejauhan ada mobil berwarna putih yang semakin mendekat ke arah rumahnya. Mobil mewah berwarna putih yang sebelumnya belum pernah ia lihat. Mobil itu berhenti tepat di depan rumahnya. Dengan rasa penasaran, ia menengokkan kepalanya ke arah pintu mobil menunggu siapa yang turun.

Pria tampan itu tak lain adalah Brian. Dengan sigap ia segera membuka payung dan berlari ke arah Luna untuk melindunginya dari derasnya hujan. Ia tak ingin menghawatirkan orang tua Luna yang sudah menunggu di depan teras rumah. Brian ingin menjadi pria yang terlihat bisa diandalkan di depan orang tua Luna.

Entah darimana pikiran itu muncul. Ia sendiri juga bingung dengan perilakunya saat ini. Dengan seorang pria tampan yang memayunginya, Luna berjalan gugup masuk ke dalam rumah. Ia segera memberi salam kepada mamanya dan meminta maaf karena telah menghawatirkannya.

Namun, mamanya justru tidak dapat memarahi Luna. Matanya terfokus pada pria yang ada di samping Luna saat ini. Pikirannya bertanya-tanya sejak kapan Luna mempunyai teman dekat pria? Yang ia tahu selama ini teman Luna hanya ada 3, yaitu Tasya, Nabila, dan David yang bekerja di café saat ini.

Dengan keadaan yang canggung, Brian peka bagaimana ia harus bertindak. Ia segera memperkenalkan diri berjabatan tangan dengan mama Luna.

"Perkenalkan saya Brian, tante. Saya teman baru Luna. maaf membuat tante khawatir karena hujan dan macet sehingga kami telat datang." Brian tersenyum dan dengan punggung yang sedikit membungkuk.

"Salam kenal juga, Nak. Saya mamanya Luna. Tidak apa yang penting kalian sampai dengan selamat" jawab mama Luna dengan ramah. Ia tidak ingin teman baru anaknya ini menjadi tidak nyaman dengan keberadaannya.

LOSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang