5 : Sebuah Penawaran

3 2 1
                                    


Luna meraba-raba dinding, berharap bisa menemukan pintu untuk kembali ke balkon lagi. Bersembunyi di balkon sepertinya lebih aman jika dibandingkan harus menyaksikan adegan kekerasan sepasang manusia itu.

Bibir Luna bergetar mengingat kejadian itu. Wanita itu memukul Brian? Wow Kalau saja Luna tidak berteriak, kekerasan itu tidak kunjung habis. Seharusnya tadi Luna merekam momen itu dengan ponselnya. Jika video itu menyebar di dunia maya, pasti akan viral. Dan-

"Open your eyes!" suara berat itu membuat Luna tersadar bahwa ia masih berada di posisi semula.

"Tidak! Saya harus keluar dari sini baru bisa membuka mata." Luna kembali meraba dinding smebari terpejam.

Tangannya menyentuh kain, dan sepertinya itu tirai jendela. Akan tetapi, kenapa tirai itu terlalu menempel di tempatnya? Tidak bisa digeser. Luna mencoba meremas kain itu.

"Open your eyes! Now!" Brian kembali memberi instruksi,kali ini lebih tegas.

Luna membuka mata perlahan. Hal pertama yang ia lihat adalah... tangannya sedang meremas kemeja yang Brian kenakan. Oh my God, apa yang kaulakukan Luna?

"Eh... ma...af! Saya pikir itu tirai jendela!" cicit Luna dengan wajah pucat. Ia mundur selangkah, menjauhi Brian yang menatapnya dengan tajam.

Brian menarik tangan Luna menuju balkon. "Ada permintaan terakhir sebelum aku melemparmu dari sini?"

Sekejam itukah Brian terhadap seorang gadis? Bibir Luna berkomat-kamit merapalkan doa. Tuhan, tolong bantu Luna!

"Brian, sudahlah! Berhenti bermain-main yang terpenting gadis ini jangan sampai mengadukan mamah ke papahmu itu!" Seorang wanita menyentuh lengan Brian.

Wanita paruh baya yang tadi memukul Brian karena pertengkaran mereka. Dan Luna merasa tidak asing dengan wajah itu. Hidung yang mancung, bulu mata lentik, bibir polesan lipstik berwarna merah menyala memperlihatkan kecantikannya yang tidak hilang oleh umur. Wanita itu mirip dengan... ah ya, Rany! Ibu kandung Brian yang sudah bercerai lagi dengan suami barunya.

"Kau benar-benar Tante Rany? Luna menekik takjub. Pasalnya, ia sangat mengidolakan wanita itu.

Rany tersenyum dan mengangguk. Luna menubruk artis papan atas itu dan memeluknya. Kapan lagi ia bisa bertemu dengan artis idolanya? Ini kesempatan langka.

"Aku sangat mengidolakanmu! Bisa bertanda tangan di bajuku?" Luna mendongak menatap Rany.

"Tentu saja." Rany kembali tersenyum. Benar apa yang dikatakan media, bahwa Tante Rany sangat ramah. Namun, Luna belum tahu jika itu semua hanyalah kepalsuan.

Tatapan Luna tertuju pada pulpen yang berada di dalam saku kemeja Brian. tanpa keraguan sedikit pun, ia menyambar pulpen itu, lalu menyerahkannya kepada Rany.

"Tanda tangan di sini!" Luna menunjuk kaosnya.

Brian mendengus kesal. Penulis gila itu berlebihan. Meminta mamah bertanda tangan di bajunya, sementara Brian harus bertanggung jawab saat bertanda tangan di novel Luna tempo hari. Sepenting itukah wanita tua ini?

"Terima kasih! Boleh kita selfie?" Luna tersenyum senang.

Gadis itu mengeluarkan ponsel, berdiri di samping Rany. Sambil melebarkan senyum, Luna mengabadikan gambar mereka. Dan itu sangat menjengkelkan di mata Brian melihat mamanya yang sangat pandai bersandiwara.

Brian mengambil ponsel milik Luna, membuat gadis itu merengut kesal.

"Kembalikan ponselnya. Saya harus segera meng-upload foto itu dan membuat followers Instagram merasa iri." Luna berusaha menggapai ponselnya. Namun, Brian lebih sigap, mengangkat ponsel itu tinggi-tinggi.

"Memang berapa followers Instagram-mu? Sombong!" Brian mencibir.

"Dua ratus. Dan saya akan membuat mereka semua iri." Luna melonjak-lonjak berusaha menggapai ponsel itu.

Gadis itu akan menyombongkan diri pada followers-nya yang hanya sebanyak dua ratus? Menggelikan sekali.

Napas Luna terengah-engah. Brian yang memiliki tinggi badan diatas Luna menyulitkan gadis itu mengambil ponselnya.

"Tuan Brian, tolong! Saya lelah!" Luna menyerah. Bersandar di dinding dengan dada naik turun, ia kelelahan.

"Ini hukuman karena kau berani menyelinap ke kamarku!"

Luna menepuk dahinya. "Ya ampun, saya sama sekali tidak berniat untuk menyelinap ke sini. Tuan Hakim yang meminta saya untuk mencari inspirasi dengan pemandangan yang terlihat dari atas balkon!"

Brian tahu, Luna tidak berbohong. Ia hanya ingin terus menggoda gadis itu. Setelah kejengkelannya terhadap mamnya, menggoda Luna menjadi hiburan tersendiri bagi Brian. Melihat wajah polos gadis itu sangat menggelikan.

"Aku kembalikan ponselmu. Menyingkirlah dari kamarku secepatnya. Sebelum aku berubah pikiran melempar kalian satu per satu dari atas balkon ini," ancam Brian.

"Brian!" teriak mamanya yang masih marah padanya.

Lain halnya dengan tante Rany, setelah menerima ponselnya, Luna bergegas turun dengan langkah cepat. Brian tersenyum geli, penulis gila itu pasti mengira bahwa Brian akan benar-benar melakukan ancamannya.

Hampir tersandung, Luna berkali-kali menoleh ke belakang. Khawatir Brian akan menyusul dan menyeretnya kembali ke balkon. Tidak, Luna masih ingin hidup. Masih ada banyak hal yang harus dipelajari di dunia sastra. Setidaknya, mewujudkan impian ibunya agar Luna menjadi penulis besar.

Luna mendesah lega. Bukan Brian yang menyusul, melainkan Tante Rany. Sepertinya wanita cantik itu juga diusir oleh anaknya.

"Luna, tunggu!" Tante Rany memanggilnya.

Luna berhenti di anak tangga terakhir. Menunggu Tante Rany yang mempercepat langkahnya.

"Kau akan menjadi copy writer untuk Asad Foundation?" tanyanya.

Luna mengangguk. "Tuan Hakim yang memintaku untuk menulis iklan produk terbarunya. Aku merasa sangat beruntung, meski bukan penulis ternama tetapi Tuan Hakim mempercayakan perkerjaan ini padaku."

"Aku memiliki sebuah penawaran untukmu. Dan imbalannya uang yang sangat besar."

Luna memicingkan mata, tidak memahami maksud kalimat Rany.

"Begini, jika kau bisa membuat Brian memaafkanku dan mau menerimaku di rumah ini, maka aku akan memberi uang berapa pun yang kau mau."

Luna tersenyum miring mendengar penjelasan Rany. Artis idolanya bermaksud menyuapnya? Walau orang miskin tetapi Luna pantang meneriman uang suap.

"Tante Rany, jujur saja aku kecewa padamu. Selama ini aku sangat mengidolakanmu, tetapi sekarang kau mau membuatku seperti orang miskin yang hart agila?"

"Bukan begitu. Aku tidak tahu harus melakukan apa lagi. Aku sangat mencintai anakku, tetapi aku tidak bisa lagi bersamanya."

Hati Luna mulai luluh mendengar suara Tante Rany yang terdengar putus asa.

"Tapi kau telah menghianati Tuan Hakim!" Luna memojokkan wanita di hadapannya.

"Itu hanya settingan, Luna." Tante Rany berusaha meyakinkan Luna.

"Aku mengerti. Tapi maaf, aku tidak bisa menerima tawaran itu." Luna melepaskan tangannya dari genggaman Tante Rany. Ia melangkah meninggalkan wanita itu.

"Novelmu akan aku terbitkan!" Tante Rany mempertegas suaranya.

Luna menghentikan langkahnya. Penerbit milik Tante Rany adalah penerbitan yang sangat besar. Hanya novel-novel terbaik yang bisa diterbitkan.

"Bukankah ini merupakan kesempatan emas?" ucap Tante Rany lagi.

Tante Rany benar, sebagai seorang penulis, novel yang diterbitkan di perusahaan penerbitan miliknya adalah hal yang dicita-citakan. Jika Tante Rany serius dengan ucapannya, baiklah. Luna akan mempertimbangkan hal itu lagi.

Tapi bagaimana cara membuat Brian memaafkan dan menerima Tante Rany lagi? Itu sulit, mengingat Brian adalah pria keras kepala dan tidak punya... perasaan! Menerima tawaran Tante Rany, artinya harus berani mendekatkan diri pada Brian. Dan itu sama halnya dengan masuk kendang singa. Kau berani Luna?

LOSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang