4 : Penyesalan

3 2 1
                                    

   Semua kesalahan yang dilakukan pasangan dapat dimaafkan. Kecuali, perselingkuhan. - Brian Asad

Brian mengawasi wanita yang duduk di depannya. Meski sudah berulang kali dilarang masuk ke ruangan praktiknya, tetapi wanita itu sangat keras kepala. Untuk kesekian kali dia menyerobot masuk ke sana.

"Brian, berapa kali mama bilang, perselingkuhan waktu itu hanya settingan. Kau tahu bukan, sebagai seorang artis kami perlu melakukannya untuk mendongkrak popularitas." Wanita berkulit putih itu masih memohon dengan wajah memelas.

"Ma, dengarkan aku. Jika menjadi istri papa, kau tidak membutuhkan semua popularitas. Tidak perlu susah-susah menjual tubuhmu di depan kamera. Harta papah cukup untuk menghidupi keluarga kita bahkan tidak akan habis sampai tujuh turunan. Lalu untuk apa kau membuat skandal yang ah... itu tidak hanya mencemarkan nama baikmu. Tetapi juga kehidupan pribadiku pun tersorot media," ucap Brian dengan nada tegas.

Wanita cantik yang bernama Rany itu mulai berkaca-kaca. Brian mengembuskan napas kasar. Baiklah, seorang artis boleh pandai berakting di hadapan kamera. Tapi mereka juga memiliki keluarga yang harus dijaga nama baiknya.

"Aku minta maaf. Percayalah, malam itu tidak terjadi apa-apa antara mama dan Om Kenzi."

Mendengar nama pria itu disebut, Brian merasa jijik. Kenzi, pria yang tertangkap kamera keluar dari kamar hotel bersama mamanya dengan kemeja putih bernoda lipstick.

Jika malam itu tidak terjadi apa-apa, lalu apa arti noda lipstik di bajunya? Mereka bukan anak kecil lagi. Semalaman berada di kamar, tidak mungkin mereka hanya tidur dalam artian yang sebenarnya.

Jadi sudah jelas bukan, mamah menghianati papah. Peduli apa tentang settingan. Intinya hubungan mereka sudah ternodai, dan Brian benci hal itu.

"Berhenti memohon, Ma. Aku sudah bosan mendengarnya." Brian menutup laptop dihadapannya dengan kasar.

"Aku tahu papahmu masih mencintai mamah!" wanita itu meraih tangan Brian, namun ia menepisnya.

Brian berdecih. Wanita itu terlalu percaya diri. Masih mencintainya? Bahkan papah pun tidak pernah menanyakan kabar wanita itu. Baginya, sebuah penghianatan adalah sesuatu yang menjijikan dan tidak akan bisa dimaafkan.

Brian beranjak dari kursi. Mendadak ia kehilangan mood untuk bekerja. Kedatangan mamahnya itu jelas mengganggu konsentrasinya. Ia keluar dari ruangan, meninggalkan mamahnya yang terduduk lesu di sana.

"Batalkan semua jadwal hari ini, aku ingin pulang!" Brian berkata dengan dingin kepada petugas administrasinya.

"Baik, Tuan." Wanita berambut pendek di balik meja itu mengangguk.

***

"Untuk iklan produk elektronik, sepertinya kalimat ini cocok," ucap Luna sembari meperlihatkan tulisan di laptopnya.

"Aku setuju denganmu." Tuan Hakim menimpali.

"Bagaimana jika ditambah gambar pendukungnya?"

Tuan Hakim terlihat berpikir sebentar. "Iya, itu bagus, kau memang pintar menjadi content writer, Luna! Tidak salah aku memilihmu untuk mengiklankan produk baruku."

Ada rasa bangga dalam diri Luna saat mendengar pujian Tuan Hakim. Sebab, sebenarnya ia masih tergolong baru dalam dunia content writer. Namun, pekerjaan ini juga sama-sama menulis sehingga ia mulai menekuninya. Ia berjanji tidak akan mengecewakan pria berwibawa itu. Luna akan berusaha membuat tulisan sebaik mungkin.

Ini adalah hari pertama ia bekerja di rumah Brian. Ah, salah, bukan bekerja. Lebih tepatnya menulis iklan untuk perusahaan milik papah dari pria sombong itu. Sejak terakhir kali ke rumah Luna, Brian tidak pernah lagi datang ke café itu karena menghindari Luna. Bahkan saat pulang dari rumah Luna, Brian tak berpamitan kepadanya. Selain itu, saat pertama kali Luna datang ke rumah ini, Brian pura-pura tidak mengenalnya.

Untuk menghindari bertemu dengan Brian, Luna datang ke sana tepat pukul sepuluh pagi. Brian baru pulang jam tujuh malam, itu artinya Luna memiliki banyak waktu untuk melakukan kegiatannya tanpa ada gangguan.

Di balik kesempurnaan Brian, ternyata ayahnya sering mengeluhkannya. Huh, wanita-wanita di luar sana yang sering memuja Brian, mereka salah. Kenyataannya, Brian sama sekali tidak sempurna. Lihat saja, pria itu bahkan tidak mengenal sastra.

Luna memandang Brian dengan sebelah mata, itu benar. Tidak setuju dengan pendapat wanita-wanita yang menganggap bahwa Brian adalah seorang Pangeran dengan segala kesempurnaannya.

Tentu saja, karena Luna sudah memiliki seorang Pangeran di hatinya. Seorang pria tampan teman masa kecilnya yang lima tahun lalu resmi menjadi kekasihnya. Zico, karena kecerdasannya ia mendapat beasiswa S2 di Amerika.

Sebelum berangkat ke Amerika, Zico menyematkan cincin ke jari manis Luna. Sembari mengecup kening gadis itu, Zico membisikkan sebuah janji. "Setelah menyelesaikan study dan mendapat pekerjaan layak, aku akan segera kembali dan menikahimu!"

"Berkas saya ada di lantai dua." Kalimat Tuan Hakim membuyarkan lamunan Luna tentang Zico.

Luna bergegas mengikuti Tuan Hakim yang sudah terlebih dahulu berjalan menaiki tangga. Di ujung tangga, Tuan Hakim mengambil arah kiri, menuju sebuah kamar bertuliskan 'dr. BRIAN ASAD'.

Gadis itu meringis geli melihat papan nama itu. Sepenting itukah Namanya sehingga harus dituliskan di pintu kamar? Atau mungkin Brian seorang pelupa yang sehingga harus menuliskan gelar dan namanya itu agar tidak salah masuk kamar.

Sebuah kamar dengan nuansa putih dan hitam. Luna berdecak kagum. Ukuran kamar itu tiga kali lebih luas dari ukuran kamar Luna. Dengan sebuah ranjang berukuran besar bersprei putih. Terlihat bersih dan rapi.

"Ini berkasnya, Luna." Kalimat Tuan Hakim kini membuyarkan rasa kagumnya tentang kamar Brian.

Luna mengikuti Tuan Hakim yang berjalan menuju balkon. Dari sana, Luna bisa melihat hamparan lapangan golf seperti permadani hijau. Sementara di sisi kanan, terdapat sebuah taman dan danau.

"Carilah inspirasi disini, tempat ini sangat cocok untuk menulis" ucap Tuan Hakim.

Luna mengangguk cepat. Masih terpesona oleh pemandangan alam di sana yang cocok untuk melepas penat diantara hiruk pikuk ibu kota.

Sepeninggal Tuan Hakim, Luna pun termenung menatap kejauhan. Ia melihat beberapa orang sedang duduk di taman. Beberapa di antaranya kemungkinan adalah pasangan kekasih. Tiba-tiba saja, Luna merindukan Zico.

Enam tahun, tanpa kabar. Teringat saat terakhir kali Zico berpamitan pada Luna.

"Aku ingin fokus study terlebih dahulu. Jadi, untuk beberapa tahun ini kita tidak bisa berkomunikasi. Beasiswa ini sangat penting bagiku, Luna!" ucap Zico.

"Aku mengerti, Co."

"Terima kasih, Luna. aku berjanji untuk secepatnya melamarmu begitu mendapatkan pekerjaan. Aku sangat mencintaimu." Zico mengecup kening Luna, lama. Perpisahan memang menyedihkan.

Luna mengembuskan napas berat. Ini sudah tahun keenam, tetapi Zico tidak kunjung memberi kabar. Meski begitu, Luna masih berpikiran positif. Mungkin kekasihnya belum menyelesaikan study-nya, atau dia belum berhasil mendapat pekerjaan.

Luna mengenal Zico sejak kecil. Karena itu, ia sangat tahu bahwa kekasihnya adalah seorang pria yang tidak mungkin mengingkari janji. Ia melirik cincin yang melingkar di jari manisnya. Aku merindukanmu, Zico

LOSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang