3 : Trauma Masa Lalu

4 2 1
                                    


       Mengapa Kita Mencintai Seseorang Apabila Pada Akhirnya Akan Kehilangan Orang yang Kita  Cintai. – Brian Asad

Dengan segera, Brian meminta izin untuk pulang. Ia tak ingin merepotkan Luna dan mamanya di saat hujan seperti ini dan sepertinya Luna juga sudah terlihat lelah.

"Tante, saya izin pulang ya..."

"Kenapa buru-buru, Nak. Saat ini hujan sangat deras, tidak baik jika kau berkendara jauh. Tetaplah di sini sampai hujan reda, ya!" Nampaknya ia khawatir dan tidak enak hati dengan Brian karena dia sudah mengantar putrinya pulang dengan selamat di saat hujan seperti ini.

Dengan bujukan mama Luna, akhirnya Brian menunggu hujan hingga reda di ruang tamu rumah Luna. kemudian, mama Luna menawarkan Brian secangkir teh untuk menghangatkan tubuhnya.

"Ini tehnya ya, Nak. Minum agar badanmu tidak kedinginan."

"Terima kasih, tante. Maaf jadi merepotkan tante."

Kemudian, mereka berbincang-bincang sampai menunggu Luna yang sedang mandi. Hujan yang deras membuatnya tak ingin terkena flu. Luna memang mudah terkena flu apalagi di musim hujan seperti ini. Mamahnya dengan cepat membawakan handuk untuk Luna dan menyuruhnya untuk segera mandi dan ganti baju.

Brian tak menyangka ia akan disambut baik oleh mamahnya Luna. Padahal ia dan Luna baru saja berkenalan. Memang benar kata papa, orang baik akan dipertemukan dengan orang yang baik pula, kata Brian dalam hati.

Namun, sebenarnya ia tetap tidak percaya dengan perempuan. Bisa saja mereka baik kepadaku karena aku terlihat seperti orang kaya. Seperti mama yang meninggalkan papa saat perusahaan papa bangkrut. Mama malah mencari pria lain yang kaya raya daripada menemani papa yang saat itu jatuh terpuruk. Kata-kata itu terus berputar dalam kepala Brian.

"Sepertinya saya harus pulang, tante. Hujan sudah mulai reda" Brian bergegas meninggalkan tempat duduk. Ia tak ingin terlibat lebih dalam oleh Luna dan keluarganya.

*

Dalam perjalanan pulang, Brian menyesali pertemuannya dengan Luna tadi. Mengapa ia minta berkenalan dengan Luna yang termasuk orang asing baginya. Bahkan, ia juga meminta sosial media Luna. Ia tak habis pikir mengapa dirinya melakukan hal itu. Bodoh sekali kau Brian!! kesahnya dalam hati.

Akhirnya, ia sampai di rumahnya. Rumah putih dengan model bangunan Eropa yang megah dan elegan. Rumah yang tentunya memiliki harga yang sangat mahal. Tentu saja hal itu tak diragukan lagi sebab papanya, Hakim Al-Asad adalah pengusaha terkenal pemilik Asad Foundation. Namun, Asad Foundation bukanlah perusahaan yang didapat karena keturunan. Kakek dan nenek Brian hanyalah orang biasa.

Kecerdasan dan kerja keras Pak Hakimlah yang menjadikan Asad Foundation ini berdiri. Ia juga menurunkan sifatnya itu kepada Brian. namun, karena Brian lebih tertarik di bidang Kesehatan, papanya tidak melarangnya. Justru ia bangga kepada anaknya yang bisa mengobati semua orang yang kesakitan.

Dengan perlahan mobil putih itu memasuki pintu gerbang. Seorang pria berseragam satpam berlari untuk membukakan gerbang.

"Terima kasih, Pak Yatno!"

"Sama-sama, Nak" jawab Pak Yatno dengan tersenyum. Selama sepuluh tahun, ia sudah bekerja di rumah Brian dan sejak kecil, Brian selalu bermain Bersama Pak Yatno karena papanya yang sibuk bekerja. Oleh karena itulah, Pak Yatno sudah menganggap Brian seperti anaknya sendiri. Brian pun juga sangat dekat dengan Pak Yatno. Setiap pulang kerja, ia selalu ingat untuk membelikan Pak Yatno makanan.

Dulu, saat mamanya masih bersama papanya, Brian sering kelaparan. Mamahnya tidak pernah memasakkan Brian makanan. Kegiatan sehari-harinya hanya pergi ke salon dan ke Mall untuk berbelanja dan bertemu teman-temannya. Namun, saat dicarikan asisten rumah tangga oleh papanya, mamahnya malah ngotot untuk menolaknya dengan alasan ia masih mampu mengurus rumah sendiri.

Saat itu, Pak Yatno yang kasihan melihat Brian kecil sedang kelaparan mengajaknya ke warteg dekat rumah. Dengan uang yang terbatas, ia tetap mau membelikan Brian makanan. Walaupun dengan lauk sederhana, Brian sangat lahap makan di warteg itu. Karena ketulusan Pak Yatno, Brian yang sudah menjadi dokter yang sukses tidak lupa untuk membalas kebaikan Pak Yatno. Ia selalu menanyakan makanan apa yang Pak Yatno inginkan dan membelikannya.

Brian turun dari mobilnya usai memarkirkannya di garasi.

"Pak Yatno, ini nasi bakar dan gulai ikan gurami kesukaan bapak. Ayo makan bareng Pak!"

Dengan langkah penuh semangat Pak Yatno mendekati Brian untuk makan bersama di dalam rumah.

*

"Tumben baru pulang, Nak." Tanya pak Yatno sambil memakan gurami.

"Iya, Pak. Tadi mampir ke rumah teman sebentar" jawab Brian dengan ringkas.

Kemudian, keduanya melanjutkan makan malam. Pak Yatno selesai makan terlebih dahulu dibanding Brian. Tiba-tiba ia bertanya kapan Brian akan menikah. Umurnya sudah cukup untuk menikah dan ia juga sudah hidup mapan. Apa lagi hal yang menghalangi? menurut Pak Yatno Brian sudah siap untuk menikah.

Mendengar pertanyaan itu, Brian tersedak. Ia kaget Pak Yatno yang tiba-tiba membahas rencana pernikahannya. Rasanya kepala Brian sangat sakit dan tubuhnya lemas. Ia masih ingat kejadian bagaimana mamahnya berselingkuh dari papahnya saat dulu. Mamahnya juga tega meninggalkannya sendirian demi pergi dengan pria lain. Memori itu masih terekam jelas di kepala Brian.

Ia tak mempercayai lagi ap aitu cinta. Cinta hanya sebuah omong kosong baginya. Perempuan hanya mengincar harta laki-laki. Tidak ada cinta yang tulus dan abadi. Tanpa disadari tangan Brian memecahkan gelang yang dipegangnya. Tangannya meremas gelas itu hingga pecah.

Pak Yatno terlihat ketakutan. Baru kali ini ia melihat Brian sangat emosi dengan perkataannya.

"Apakah cinta itu benar-benar ada? Mengapa orang dewasa harus menikah bila akhirnya akan kehilangan?!" bentak Brian dengan suara keras.

"Tidak, Nak. Tolong tenangkan dirimu..." jawab Pak Yatno ketakutan.

"Apakah hidup ini hanya sekedar lulus sekolah, menikah, kemudian mempunyai anak? Jika menurutmu iya, maka aku katakan pemikiranmu sungguh sempit!" bentak Brian dengan suara yang lebih keras.

Ia sangat marah kepada Pak Yatno mengapa ia seolah-olah memojokkannya untuk segera menikah. Menurutnya, Pak Yatno tidak berhak untuk ikut campur dengan urusan pribadinya. Ia sangat kesal, kecewa, dan juga sedih atas apa yang dikatakan Pak Yatno. Apakah Pak Yatno tidak memahaminya akan trauma yang belum bisa ia hapus dari memorinya.

Seorang pria bertubuh tinggi mendatangi meja makan. Pria itu adalah papa Brian, Hakim Al-Asad. Tampaknya, ia baru pulang dari kantor.

"Papa mendengar ada suara ribut dari ruang makan. Ada apa ini Brian?"

"Tidak ada apa-apa, Tuan. Tadi hanya suara kucing yang bertengkar" jawab Pak Yatno yang berusaha mencairkan suasana.

"Hahaha baiklah, Pak." Pak Hakim kemudian pergi meninggalkan ruang makan dan berjalan menuju ke kamarnya.

Suara lenguhan napas terdengar keluar dari hidung Pak Yatno. Ia bersyukur Pak Hakim tidak mengetahui kejadian tadi. Tanpa ia sadari Brian sudah pergi meninggalkan meja makan. "Sepertinya anak itu masih marah padaku" katanya dalam hati.

LOSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang