7 : Puncak Kehilangan

14 4 1
                                    


    Kau tidak tahu kapan orang yang sangat kau percayai akan menghianatimu. Maka bersiaplah dengan kemungkinan terburuk itu. - Luna

Luna menyingkap tirai jendela. Ia melihat seorang pria yang berdiri di depan rumahnya. Pintu terbuka, dan Luna terpaku. Ia bahkan tak bisa berkata-kata, lidahnya kelu menatap sesosok pria berbadan tegap yang berdiri di hadapannya. Katakan pada Luna, ap aini hanya mimpi?

"Masih mengingatku?" Suara berat pria itu membangunkan kesadaran Luna.

Mata Luna berkaca-kaca melihat sesosok yang sangat dirindukannya selama bertahun-tahun. Zico kini nyata berada di hadapannya, dalam balutan jaket hoodie berwarna hitam. Tidak ada yang berbeda dengan paras tampan itu, hanya saja kini ia terlihat lebih matang.

Dengan satu Gerakan, Luna menubruk tubuh Zico. Memeluk erat, menghirup aroma musk yang sangat ia rindukan. Kesetiannya kini terbayar sudah. Pria ini datang dengan segenggam rindu yang memenuhi rongga dada.

"Aku harap ini bukan mimpi, Zico!" bisik Luna.

Gadis itu merasakan belaian lembut di rambut hitamnya. "Ini bukan mimpi. Aku datang untuk mewujudkan mimpi-mimpi kita," ucap Zico.

Luna melepaskan rengkuhnnya, menatap mata Zico dengan intens. "Tidak mudah untuk mempertahankan cinta dengan ribuan mil jarak yang membentang diantara kita. Tapi aku percaya, kekuatan cinta akan selalu berpihak pada orang-orang yang memercayai adanya cinta sejati."

Zico tersenyum. "Terima kasih atas kesetiaanmu!"

"Aku bahkan masih mempertahankan kegadisanku, aku menjaganya untumu."

Sekali lagi, Zico merengkuh Luna, menyalurkan setiap kerinduan dari pori-pori kulitnya. "Terima kasih, Luna. Saat ini aku bekerja di perusahaan besar di Amerika. Bosku mengirimku ke Jakarta untuk meninjau perusahaan yang akan bekerja sama dengan kami. Lalu aku menyempatkan diri untuk mendatangimu. Maaf, baru kali ini bisa menjengukmu."

Zico mengusap pipi Luna, menatap dengan tatapan memuja. "Ada banyak hal yang ingin aku bicarakan denganmu. Tetapi, aku tidak bisa berlama-lama berada disini karena aku harus menemui orang tuaku."

Gadis itu mengerucutkan bibir dan menampakkan raut wajah kecewa. Ia masih belum puas memeluk kekasihnya. "Berjanjilah, kau pasti akan kembali lagi."

Zico mengangguk, melepaskan pelukannya. Luna melambaikan tangan, mengawasi punggung Zico yang menghilang di balik kegelapan. Lalu, ia kembali masuk ke rumahnya. Ada getaran aneh di dadanya, rasa bahagia hingga membuatnya hampir melayang. Zico, ia tidak menyangka kekasihnya akan memberikan sebuah kejutan.

Pria itu akan menemui orang tuanya. Mungkinkah Zico akan meminta restu? Luna menangkup wajah, menyembunyikan senyum. Ia bahagia, melamunkan tak lama lagi Zico akan menikahinya.

*

Suara ketukan pintu terdengar. Luna segera beranjak dari tempat tidurnya. Kali ini, yang datang adalah Brian. Senyumnya seketika sirna dengan tatapan sinis pada Brian.

"Ada apa kau datang ke sini?" tanya Luna.

"Papah memintaku ke sini untuk memberimu berkas-berkas yang tertinggal di meja dan menyuruhku menjemputmu karena ada iklan lain yang harus kau buat."

Luna pun menuruti kata Brian. Ia segera bersiap-siap menuju ke rumah Tuan Hakim. Ia tak ingin megecewakan Tuan Hakim yang telah memberinya banyak pekerjaan.

"Hai, Luna, senang bertemu denganmu lagi!" seru Tuan Hakim dengan senyum lebar.

Luna membalas senyum pria itu. Beberapa menit yang lalu, ia merasa ragu dengan kalimat Brian. Namun, sekarang Tuan Hakim menyambutnya dengan riang.

Bagaimanapun juga, Luna tidak bisa menolak oermintaan Tuan Hakim. Pria itu selalu bersikap baik dan membuat Luna merasa berhutang budi. Maka saat ini, gadis itu terpaksa harus menurunkan sedikit egonya. Pergi ke rumah Brian, meski itu hal yang seharusnya ia hindari karena ia tak mau lagi menjadi objek permainan Brian.

Sebelum menuju ke ruang kerja, Tuan Hakim ingin menunjukkan cucu kesayangannya yang sangat cantik kepada Luna.

"Brian, tunjukkan kamar Lula, bayi itu masih tertidur di kamar. Perjalanan dari New York ke Jakarta membuatnya kelelahan!"

"Ah, Pah! Kau bisa menunjukkannya sendiri!" Brian memprotes.

"Tuan Hakim mengibaskan tangan di depan wajah. "Aku lelah, ingin bersantai di kursi malasku. Ajaklah Luna sekarang."

Brian mendengus, lantas memberi isyarat pada Luna agar mengikutinya. Di sebuah kamar bernuansa pink, Luna melihat sesosok bayi mungil sedang tertidur pulas di box bayi.

Luna memperlambat Langkah, takut membangunkan si kecil. Sementara Brian sudah terlebih dahulu mengecup lembut kening bayi itu. Luna terpana dibuatnya. Seorang pria yang sering bertingkah kasar padanya, ternyata sikapnya berubah drastis saat berhadapan dengan bayi mungil itu.

Cantik, itu kata pertama yang ada di benak Luna saat menatap Lula. Mata besar berwarna hitam, alis yang tebal, dan hidung yang mancung terlihat sama seperti Brian. Tak lama, ayah dan ibu dari anak tersebut datang ke kamar.

"Sayang, ini Luna. penulis yang kemarin aku ceritakan padamu!" ucap Irene, kakak Brian.

Pria itu menoleh. Dan Luna merasa bumi seperti berputar. Seluruh benda-benda langit jatuh menghancurkan dunia. Luna sesak napas, ingin rasanya ia mati saat itu juga! Pasti ada yang salah dengan penglihatannya!

"Aku harap kau tidak lupa dengan pria yang tadi menemuimu di rumah siang tadi!" Bisikan Brian serasa jarum yang menusuk jauh ke telinga Luna, hingga ia tak mampu mendengar apa pun kecuali rasa sakit teramat sangat.

"Luna, ini Zico, suamiku!"

Zico melambaikan tangan, menyembunyikan wajah terkejutnya. "Hai, Luna!"

Luna tersenyum kecut. Berusaha meredam jantungnya yang hampir berhenti berdetak. "Hai, Zico!"

"Aku rasa perkenalannya cukup sampai di sini. Ada yang ingin aku bicarakan dengan Luna!" Brian menggamit lengan gadis itu.

Brian menyeret Luna ke dalam kamar. Menutup pintu dengan kasar, lalu memutar anak kunci. Kedua tangan pria itu mengepal kuat.

"Sekarang kau tahu siapa kekasih yang selama ini kau puja. Dia sudah menikah dengan kakakku, Luna!" Dengan kejam Brian membantai Luna dengan kalimatnya.

"Kau bohong! Semua yang kau katakana tidaklah benar! Zico tidak mungkin menghianatiku!" jerit Luna.

"Sekarang kau tahu mengapa aku tidak memaafkan mamahku. Dikhianati itu sakit, kau sekarang tahu itu!"

"Zico tidak sama dengan mamahmu!" bantah Luna. "Kau bohong Brian, kau bohong!" Luna mendongak menatap mata Brian seraya mencengkram kerah kemeja pria itu.

"Berhenti mencintainya, Luna. Zico sudah menjadi milik orang lain. Menyingkirlah dari kehidupannya."

"Aku mencintainya, Brian! Aku mencintainya! Dia sudah melamarku, dan akan menikahiku secepatnya!" Air matanya semakin menderas.

Tubuh Luna semakin melemah, cengkraman pada kerah kemeja Zico semakin mengendur. ia merasa lelah. Bolehkah Luna mati detik ini saja, agar ia tidak merasakan sakit yang meremukkan hatinya?

Dadanya terasa sesak akan kenyataan yang menempa takdir cintanya. Sampai kapanpun Luna tidak ingin memercayai ucapan pria ini.  Brian menarik pinggang Luna, melingkarkan lengan kekarnya di sana dan menenangkannya. Brian juga tak ingin menyalahkan Luna sepihak. Luna tidak tahu bahwa Zico sudah menikah dengan kakaknya. 

"Semua ini adalah salah Zico! Ia membuat Luna menjadi seperti ini!" kata Brian dalam hati yang  sangat kesal melihat Luna meneteskan air mata karena pria sialan itu.

LOSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang