Ch. 8 - Self Control

99 8 1
                                    

Layaknya suatu hubungan, ketika sepasang kekasih tidak saling berkomunikasi untuk mencari tahu hal apa yang sesungguhnya terjadi ketika mereka menemui suatu masalah, maka yang ada hanya kemarahan dan emosi yang selanjutnya memperkeruh hubungan mereka dan menyulut pertengkaran yang tidak kalah besarnya dari inti permasalahan yang sebenarnya.

Dan karena tidak adanya komunikasi di antara mereka, Ashely dan Nathan berakhir dengan saling memprotes.

"Ya Tuhan? Kau membeli barang seperti ini? Sungguh?"

Nathan berucap dengan kesal sementara lawan bicaranya tampak tidak peduli dengan kekesalannya.

"Setelah merasa lelah dengan segala pekerjaan yang kulakukan seharian ini, kau memintaku buru-buru datang kemari, bahkan hingga aku tidak sempat mengganti pakaianku hanya untuk membawa batu-batu ini ke sini?"

Batu-batu. Benar, paket yang sejak tadi dikeluhkan beratnya oleh Nathan itu berisi batuan-batuan sungai berukuran sedang dengan jumlah belasan. Dan ia merasa heran dengan temannya itu.

"Demi Tuhan, untuk apa membeli batu-batu seperti itu dan merepotkan orang lain?"

Lagi, Ashley tampak menutup mulutnya, membiarkan teman prianya itu mengeluarkan segala kekesalan yang ingin diluapkannya dan tidak memberi kesempatan untuk 'komunikasi' dua arah terjadi.

"Kau tahu, mungkin saja aku bisa menggunakan tenagaku untuk hal lain yang lebih berguna."

Nathan sepertinya benar-benar kesal dengan apa yang dilakukan teman wanitanya itu.

"Ya Tuhan... Ash, aku benar-benar tidak bisa memahami isi kepalamu."

Setelah Nathan terlihat lebih tenang, Ashley mulai membuka suara untuk menjelaskan alasan di balik tindakannya yang bagi teman prianya itu terlihat konyol.

"Aku membeli ini dan memintamu datang bukan karena aku ingin mengerjaimu atau melakukan sesuatu yang konyol dengan batu-batu ini. Aku sengaja membelinya dan memintamu untuk segera mengantarnya ke sini karena aku memerlukannya untuk sesi kelasku besok. Melukis di atas batu."

Walau sudah mendengar alasan di balik tindakan wanita itu membeli batu-batu ini, akan tetapi tetap saja, Nathan tidak bisa menahan kekesalannya.

Dari semua hal, mengapa harus membeli batu? Bukankah sekarang semua manusia sudah dimudahkan dengan zaman dan teknologi yang berkembang? Apa susahnya melukis di atas kanvas seperti apa yang biasanya di lakukan orang-orang? Mengapa selalu ingin terlihat selalu beda dari yang lain? Inovasi? Kreativitas?

"Aku ingin anak-anak mengalami pengalaman menyenangkan dengan melukis di atas batu, sesuatu yang unik dan tentu belum pernah mereka lakukan sebelumnya 'kan? Bukankah ini akan sangat menarik?"

Nathan melemparkan tatapan yang menyiratkan jika ia benar-benar tidak peduli dengan perkataan wanita itu.

"Terserah padamu saja."

Ashley menggelengkan kepalanya tidak setuju dengan reaksi pria itu pada perkataannya. Ia kemudian menyerang pria itu dengan hal yang Ashley rasa akan menusuknya sedalam-dalamnya.

"Seperti kau datang secara suka rela saja ke sini. Bukankah kau datang untuk uang? Mengapa perlu bersikap sok menderita seperti itu?"

Yah, wanita itu tidak salah berbicara, tetapi seharusnya ia tidak mengungkit hal ini lagi dan membuatnya terlihat kalah telak seperti ini.

"Kau sudah makan?" Tanya Ashley mengubah topik pembicaraan, seakan melupakan perdebebatan kecil mereka mengenai paket isi batu miliknya.

"Belum."

Wanita itu menganggukkan kepalanya, sebelum kemudian berjalan ke arah dapur guna mempersiapkan sesuatu untuk pria itu.

"Apa yang ingin kau makan?" Tanyanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 27, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Are We Still Friends?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang