Kampus masih ribut siang itu. Bukan karena ada yang berantem sih, tapi lebih tepatnya semua karena keberagaman isi otak para penghuninya. Why? Yup, ada banyak varian isi otak di sini.
Level pertama, kelompok manusia dengan segudang wawasan yang sedang mereka pamerkan di depan sana. Menjadi narasumber presentasi kali ini. Mereka bukan hanya piawai memaparkan tema yang mereka bawa tapi juga mematahkan sejumlah pertanyaan yang datang dengan tujuan menjatuhkan.
Level kedua, kelompok manusia sumber masalah. Ya, mereka menyimak lalu mencari celah agar bisa menjatuhkan kelompok level pertama. Ada aja yang mereka protes. Dari mulai pemikiran yang diusung, tema, bahkan kesalahan penulisan sekalipun. Gila kan? Benar-benar sumber masalah!
Level ketiga, kelompok manusia pengamat. Oke, mereka diam, menyimak, tapi ya gitu. Hanya menyimak saja. Tanpa ingin bertanya apapun.
Level keempat, kelompok manusia tak sabaran. Mereka mendengarkan laju diskusi sambil merapal doa agar presentasi ini segera berakhir. Tujuannya? Kantin! Lapar tentu saja. Mereka menggerutu dan menyumpahi manusia yang malah terus mencari sumber masalah yang akhirnya menjadi perdebatan tanpa ujung.
"Bel, ngapain sih lo?" tepukan di bahu membuat Bella berhenti menjadi pengamat situasi.
Bella membetulkan letak kacamata tebalnya, "Gue lagi mengamati mereka."
"Kebiasaan aneh lo kambuh lagi," ucap Ika lalu menggeleng melihat kelakuan aneh adiknya. Bella bahkan sampai menulis hasil pengamatannya! Gila, gak ada kerjaan amat ya? Kalau Ika sih mending cuci mata. Di kelas mereka ada satu orang pria yang sangat tampan. Ah, bukan! Tapi keren!
"Namanya observasi tipe manusia, Ka. Lo sendiri ngapain?" Bella balik bertanya. Tangannya masih sibuk dengan kertas hasil pengamatannya tadi.
"Menikmati pemandangan alam yang sayang untuk dilewatkan!" jawab Ika dengan kedua tangan menopang dagunya.
"Mana? Emang ada pemandangan apaan, Ka?" Bella bertanya sambil celingukan. Masa iya, di kelas ada pemandangan alam? Yang Bella lihat hanya kumpulan manusia yang asyik dengan dunia mereka. Lalu benda-benda mati yang ada di sekitarnya. Udah, gitu aja.
"Tuh!" Dagu Ika menunjuk pada salah satu kursi yang dihuni oleh sosok pria berkacamata hitam. Pria itu nampak sedang berpose sama dengan yang Ika lakukan. Bedanya, Ika tak berkacamata sedang di hidung pria itu ada kacamata hitam yang bertengger.
"Si Moza? Hanya manusia tukang tidur," jawab Bella cuek. Seketika ia teringat tentang kejadian di bar malam itu. Tukang tidur dan meniduri wanita.
"Ish, ish, ini namanya pemandangan alam yang sangat indah, Bel. Coba lihat, betapa kerennya dia!" Ika masih memandang kagum pada sosok yang terkenal playboy cap kapak itu.
"Indah apanya? Dia lagi ngorok!" Bella memandang Moza dengan tatapan jijik. Membayangkan Moza yang menggoda gadis tanpa busana membuat Bella mual.
"Masa sih? Ah, lo mah gak asyik! Dia tuh lagi menyimak diskusi kelas. Mana ada lagi ngorok?" Ika masih tak terima sang pujaan dikata lagi ngorok oleh Bella.
Bella hanya menggeleng. Emang sih, kalau manusia udah dibutakan rasa suka, kebanyakan jadi lupa segala. Konon katanya taik ayam aja berasa coklat. Dih, menjijikkan. Biasanya Bella akan bersikap cuek dan masa bodoh pada jenis manusia pemuja yang sering dibutakan oleh cinta. Tapi kali ini korban playboy recehan itu adalah kakaknya. Walaupun ini bukan hal baru. Ika bisa dibilang sedikit 'nakal'.
Tiba-tiba sebuah ide mampir di otak Bella. Bibirnya menyeringai. Ia bangkit dari duduknya.
"Bel, mau kemana lo?" tanya Ika saat melihat adiknya beranjak dari kursi.
KAMU SEDANG MEMBACA
kesambet Titisan Alaska
Разное"Njir, demi apa lo, Za? Lo lebih memilih cewek kolot berkacamata tebal itu?" "Kenapa? Masalah buat lo, Met?" "Lo buta ya, Za?" "Kagak." "Lah, terus? Kenapa gak milih si Sindy yang bahenol itu?" "Udah banyak, Nyet! Gue mau tahu, cewek bernama Bella i...