Pagi yang tenang. Matahari mulai menghangat saat Bella duduk di depan kost yang ia tempati bersama Ika. Secangkir kopi hangat menemaninya kali ini. Mengusir kantuk yang kadang datang saat novel yang ia baca belum selesai. Dan itu menjengkelkan. Kopi jadi solusi.
Lain Bella, lain Ika. Kakaknya itu lebih suka menghabiskan waktu libur mereka dengan nongkrong di kafe sekedar melihat pria genit yang tebar pesona. Sering sekali Ika mengajaknya, namun tak jarang pula Bella menolak. Berada dalam keramaian membuat Bella tidak nyaman. Kursi di depan kost jauh lebih nyaman menurutnya.
"Bel, jalan yuk?" Ika sudah siap dengan baju kurang bahannya.
"Gue di sini aja," Bella menatap tak suka pada baju Ika, "Gak ada baju lain?"
"Ini model terbaru, Bel. Bahannya adem," Ika mengelus lembut bajunya.
"Tapi bahu lo kelihatan," Bella tak suka itu. Nanti badan Ika dieksploitasi oleh mata keranjang yang bertebaran di pusat kota.
"Gak apa, cuma bahu kok. Eh, lo ikut ya?" Ika sedikit memaksa.
Lagi-lagi Bella menggeleng, "Enggak. Ada dua novel baru yang belum selesai gue baca."
"Ah lo mah, ayolah! Hari ini aja, oke?"
Bella masih kukuh. Ia memang tidak bohong. Kemarin ia membeli novel baru. Rasanya tak rela jika tidak dibaca hari ini. Sebab besok, ia harus kuliah lagi. Dan bacaannya akan bertambah dengan mata kuliah yang harus ia pelajari.
"Bentar!" Ika bangkit lalu masuk lagi. Kalau tidak salah, kakaknya nampak menghubungi seseorang. Sebenarnya Bella penasaran, bukan sama isi obrolan mereka. Tapi Bella khawatir jika Ika benar-benar jadi korban pria hidung belang. Apalagi kakaknya itu sangat senang berpacaran.
Beda sekali dengan dirinya, jangankan pacaran, bersenda gurau dengan pria saja rasanya tidak biasa.
Ika keluar lagi. "Bel, lo jangan marah ya?"
"Apaan?" Bella menjawab dengan agak malas. Palingan juga kakaknya maksa ngajak nongkrong lagi.
"Nanti siang bakal ada cowok ke sini."
Bella yang fokus pada novelnya langsung mengangkat wajah, "Buat apa?"
"Umm ... mau PDKT sama lo," cicit Ika.
"Tidak perlu." Bella tidak suka. Bukan berarti Bella tidak normal. Hanya saja, kalau dijodohkan begini, rasany tidak nyaman. Bella selalu percaya kalau jodoh Tuhan yang mengatur.
"Ayolah, Bel. Lo harus terbuka sedikit. Sayang banget lho, kita masih muda. Sedikit bersenang-senang kan gak ada salahnya." Ika mulai membujuk. Mengeluarkan seabrek dalil tentang bersenang-senang. Sayangnya, Bella sama sekali tidak terpengaruh.
"Lo aja, gue di rumah lebih nyaman."
Ika menghela nafas panjang, melobi Bella memang susah. Apalagi urusan pria. Katanya sih Bella lebih memilih langsung menikah tanpa pacaran. Adiknya itu bilang, pacaran setelah menikah lebih aman. Bah, hubungan macam apa itu? Ika tak setuju dengan pemikiran Bella.
"Ya udah, gue berangkat dulu ya? Lo baik-baik di rumah!"
Bella mengangguk lalu membaca lagi. Melihat tingkah Bella, Ika hanya menggeleng pelan, dasar kutu buku!
Bella tersenyum lega saat Ika berhenti membujuknya. Ia kembali asyik dengan novelnya. Kali ini karyanya Habiburrahman El shirazy yang terkenal itu. Bella selalu suka dengan diksi yang digunakan penulisnya. Banyak pula inspirasi dan pelajaran yang bisa diambil.
Tin-tin!
Klakson mobil membuat Bella mengangkat wajah, lalu fokus lagi dengan novel di tangannya.
Eh, sebentar, kok rasanya ia kenal dengan pria yang tersenyum lebar ke arahnya?
Bella mengangkat bahu dan tidak peduli.
"Hallo, Bella?" Suara itu!
Ternyata benar. Bella memang kenal. Pria yang sekarang berdiri di depannya adalah Moza. Playboy recehan tukang tidur itu.
Melihat Bella yang diam saja, Moza mendekat. Mulai mengatur strategi. Senyuman mautnya sudah terbukti ampuh meluluhkan para gadis. Tak ada salahnya ia coba pada si kutu buku ini kan?
"Sibuk ya, Bel?"
"Hm," Bella menggumam pelan tanpa melihat ke arah Moza.
Yah, kutu buku akut! Moza menggaruk kepalanya yang tak gatal. Tapi ini baru langkah pertama. Yakin deh, ia pasti bisa menaklukkan wanita ini. Dosen aja terpesona padanya, masa iya, makhluk berkacamata tebal ini gak luluh?
Moza melirik kearah novel yang dipegang Bella.
Bruk!
"Aduh!" Bella memekik kaget. Moza jatuh di depannya dan entah sengaja atau tidak, novel yang ia pegang sekarang jatuh ke lantai.
"Maaf, Bel. Gak sengaja, ini ..." Moza membuat tindakan layaknya di sinetron-sinetron. Memegang novel Bella lebih lama agar bisa memikat gadis itu lewat tatapan matanya.
Duk!
"Aduh!" Giliran Moza yang mengaduh. Hasil tatapan yang diharapkan memikat Bella malah zonk. Bella dengan sengaja menjedukkan kepala mereka berdua dengan cukup keras. Suasana romantis yang ia harapkan malah berakhir konyol.
Moza mengusap kepalanya, "Kenapa lo jedotin kepala kita?"
"Biar otak lo bersih lagi," Bella mengambil novelnya dengan cuek.
Aish, begini banget ya mau ngalahin si geng koplak? Ck, iya sih, salahnya sendiri nantang si Dida buat naklukin Bella. Tapi gimana lagi, daripada dirinya disidang oleh kakek dan papinya.
Sabar, Gusti! Moza mengelus dada. Oke, ia tak mau putus asa! Orang bilang kalau mau mengambil hati seseorang itu salah satunya ajak ngobrol dengan topik yang disukai orang itu.
"Bel, novelnya seru ya?" Moza sekarang sudah duduk di kursi yang ada di samping Bella.
"Hm," Lagi-lagi hanya gumaman yang didapat Moza.
"Gue juga suka baca novel," ucap Moza dengan modal nekad. Iya, dirinya berbohong mengenai suka baca. Aslinya? Hoho, jangankan baca, melihat tulisan kecil-kecil tanpa gambar itu rasanya mata Moza langsung pening.
"O ya?" Bella menatap Moza sekilas.
Melihat reaksi Bella, Moza bersorak. Yes! Berhasil!
"Iya, suka banget. Hehe. Termasuk yang sedang lo baca itu!" Moza menunjuk novel di tangan Bella.
Mata Moza memicing, mencoba membaca penulis novel yang di tangan Bella. Sial, kurang jelas!
"Ini? Masa sih?" Bella mengerutkan keningnya. Aneh, masa iya pria slengean itu suka novel beginian?
Moza mengangguk dengan semangat, "Tentu saja. Ah, pasti lo juga suka kan? Semua novel bikinan penulis itu gue suka."
Bella mulai tertarik. "Benarkah? Novel mana yang udah lo baca?"
Aish, bodoh! Moza memutar otak. Jangan sampai ketahuan kalau ia sedang berbohong!
"Ya banyak. Penulisnya kan keren banget. Ada ratusan novel kan?"
Moza tertawa, ia yakin, Bella pasti kagum padanya. Huh, lihat! Langkah pertama sudah sejauh ini. Keren kan?
Reaksi Bella ternyata jauh dari dugaan Moza. Gadis itu memasang muka datar.
"Siapa nama penulisnya? Emang lo tahu?" Bella bertanya masih dengan wajah datar.
"Oh, tentu saja, namanya adalah ..." Moza berusaha menajamkan matanya. Membaca tulisan kecil yang ada di sampul novel yang Bella pegang. "Rohman. Ya kan? Haha, tahulah. Karyanya hebat-hebat semua! Mantap pokoknya!" seru Moza. Moga aja ia gak salah baca.
Moza tersenyum bangga. Lihat, Bella sudah bicara banyak dengannya! Tapi baru saja ia merasa bangga, tiba-tiba Bella berdiri.
"Lo pria yang mau PDKT sama gue kan? Jangan mimpi!"
Brug!
Bella masuk dan langsung menutup pintu kostnya.
Moza bengong. Lha, kok jadi marah? Apa ia salah ngomong ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
kesambet Titisan Alaska
Rastgele"Njir, demi apa lo, Za? Lo lebih memilih cewek kolot berkacamata tebal itu?" "Kenapa? Masalah buat lo, Met?" "Lo buta ya, Za?" "Kagak." "Lah, terus? Kenapa gak milih si Sindy yang bahenol itu?" "Udah banyak, Nyet! Gue mau tahu, cewek bernama Bella i...