"Zhi, masa gitu aja gak bisa sih?" Moza mendelik kesal pada adiknya itu. Ya, ya, sesuai yang dijanjikan Clara, hari ini Moza benar-benar akan melaksanakan ritual yang dulu hanya ia lihat di film horor. Mana banyak yang nonton lagi. Walaupun mereka masih kategori keluarga besarnya, tapi tetap saja kan rasanya malu.
Dan satu-satunya cara untuk keluar dari sini adalah membujuk Zhiya agar mau meminjamkan ponsel untuknya. Iya, Clara merampas ponselnya, katanya sih biar khusyuk dan gak terganggu. Alhasil, Moza berpisah dengan benda pipih itu sejak bangun tidur. Tahu-tahu ponselnya sudah lenyap disita Sang Mommy.
"No, Abang sayang! Apalagi Mom bilang hari ini Abang akan melaksanakan upacara mandi kembang pengusir sial, mana boleh melanggar tata caranya?"
"Kan cuma pinjem bentar! Pelit amat sih?"
"Ck, halah! Dipikir aku gak tahu apa? Abang pasti mau minta tolong ke teman Abang yang mirip tukang ketoprak itu kan?"
"Namanya si Memet!"
"Iya, siapapun itu pokoknya, aku gak akan kasih pinjem!"
Ambyar deh ambyar! Moza kehabisan cara untuk lepas dari sini. Beberapa tetangga mulai ikut nonton di balik pagar rumahnya. Dalam hati seketika menyesal waktu bangun rumah ini, ia dan Clara sepakat untuk membuat pagar yang gak tinggi. Alasannya biar bisa menyapa tetangga. Lha, kalau kasusnya begini sih ide Daddy paling bagus. Bikin pagar setinggi mungkin.
"Wah, Bu Clara anaknya kenapa? Mau kawin besok ya?" tanya salah satu ibu-ibu berdaster dengan seikat sayur kangkung di tangannya.
"Kawin sih pasti Bu Odah, waktunya aja yang belum tahu," jawab Clara sambil mengacak rambut Moza.
"Mandi kembang ya?" tanya ibu yang lain dengan lilitan handuk di kepalanya, mirip gayanya Imam Bonjol sih ini.
"Ho'oh, Bu. Biar anaknya makin mujur, bapaknya gampang cari rezeki." Clara menanggapi sambil tertawa.
"Ah, Bu Clara ini. Masa udah kaya gitu masih aja kurang?"
"Eh, jangan salah, Bu! Duit itu makin banyak datangnya makin banyak juga pengeluarannya."
"Nov, mau mulai sekarang?" Suara Riaz menginterupsi. Seketika obrolan para emak-emak itu jadi terhenti.
Kadang Moza juga heran, biasanya sekelas mommy yang notabene istri dosen sekaligus pengusaha hotel jarang banget mau deketan sama tetangga menengah ke bawah. Ini malah pagar rumah juga sengaja gak tinggi biar bisa menyapa tetangga katanya. Malah, di sekitar rumahnya, orang akan lebih mengenal mommy ketimbang daddy.
"Mbahnya udah datang?" Clara melirik jam tangannya.
"Udah, kata Bu Diah tadi si Mbahnya minta makan dulu."
"Lah, kok belum makan? Lo kata si Mbahnya hebat?"
"Ck, lo tenang aja, gue jamin kok, si Moza nasibnya mujur deh habis ini."
"Bener ya? Awas aja kalo bohong!"
"Bener, tenang aja! Udah ah, tuh si Mbah udah keluar!"
Benar apa kata Riaz, dari dalam rumah keluar sosok pria berpakaian serba hitam. Kayak orang mau pencak silat. Di belakangnya nampak pula Diah, oma eyangnya Moza yang masih berdandan modis tapi gak norak.
"Sayang, ini gak apa-apa daddy-nya gak datang?" Diah alias neneknya Moza menghampiri Moza yang sudah duduk dengan baju adat khas Sunda.
"Gak apa, Eyang. Kalau nungguin Daddy pasti makin ribet," jawab Moza. Sebenarnya ia sudah sedikit risih. Ah, bukan sedikit, tapi banyak. Apalagi di seberang pagar sana, ada beberapa anak gadis yang menatapnya malu-malu. Ya iyalah, mereka menikmati perut roti sobeknya yang hanya terhalang kain tipis. Ya, ya, jangan lupakan pula lengan kekar Moza hasil nge-gym yang rutin ia lakukan. Risih banget anjay! Bukan apa-apa, selama ini Moza paling jaga image depan mereka berlaga so cool dan berkharisma. Lah sekarang malah ketahuan disuruh mandi kembang buat buang sial, kan gak banget!
KAMU SEDANG MEMBACA
kesambet Titisan Alaska
Aléatoire"Njir, demi apa lo, Za? Lo lebih memilih cewek kolot berkacamata tebal itu?" "Kenapa? Masalah buat lo, Met?" "Lo buta ya, Za?" "Kagak." "Lah, terus? Kenapa gak milih si Sindy yang bahenol itu?" "Udah banyak, Nyet! Gue mau tahu, cewek bernama Bella i...