Sial, berani dikutuk jadi orang kaya tujuh turunan, baru kali ini Moza merasa harga dirinya jatuh ke dalam jurang. Gila aja, gadis modelan si Bella berani menolaknya sekejam ini?
Ckck, ini ada yang salah. Pasti, kalau tidak, mana mungkin pria sekeren dirinya ditolak? Pertama mungkin si Bella cuma pura-pura judes, tahunya hati mah ngebet banget. Kedua, mata si Bella beneran rabun gak bisa lihat orang cakep. Dan dugaannya yang paling kuat adalah opsi kedua. Matanya aja udah empat. Wajarlah kalau agak sulit kepincut. Kayaknya si Bella lihat wajah tampan dirinya agak remang-remang.
"Wah, ada siapa ini? Bukannya kamu Moza ya?"
Moza yang sedang merutuki pintu kost yang tertutup berbalik. Nampaklah sosok gadis berkuncir dua dengan membawa tumpukan buku di tangannya.
"Lo siapa?" tanya Moza. Tangannya sibuk merapikan baju yang ia rasa sedikit berantakan.
"Aku Irish, masa gak tahu? Aku satu prodi sama kamu lho!" Irish menjawab malu-malu.
Noh kan, si Irish aja kelihatan malu-malu meong sama dia. Kepincut deh anak itu.
"Ah, begitu ya?"
"Iya. Tapi ngomong-ngomong ngapain kamu bengong di depan kostnya Bella?" Kening Irish berkerut.
Moza sebenarnya ingin sekali mengumpat melihat pintu kost yang tertutup rapat. Tapi gengsinya terlalu tinggi buat ngaku kalau si Bella udah bikin dia malu.
"Oh ini. Aku habis dari Bella. Biasalah, ngajarin dia ngerjain makalah." Moza sedikit berbohong. Hoho, jangan salah, berbohong adalah bakatnya yang paling jempolan.
Mata Irish memandang kagum, "Ya ampun, udah cakep, pinter, baik pula. Za, mau ajarin aku juga dong!"
Halah, kok jadi gitu sih? Moza tersenyum garing, "Wah, sebenarnya aku mau, Rish. Tapi aku harus segera pergi. Papi udah nungguin aku. Maaf ya?"
Bibir Irish manyun. "Semoga ada waktu lain ya, Za."
"Ah, ya. Tentu saja."
Irish digituin doang juga udah tersenyum lebar. Senang bukan kepalang. Sepertinya Irish ini termasuk para gadis yang memujanya. Terbukti, gampang aja dikibulin.
Sementara di dalam kost, bibir Bella tersenyum kecil. Dasar playboy recehan tukang tidur! Sepertinya bohong adalah senjata utama pria itu. Lebih baik ia kembali ke novel tebal yang membuatnya hanyut dalam syahdu.
Ponsel Bella berdering. Segera ia angkat. Dari mama ternyata.
"Ya, Ma?"
"Kamu di mana, Sayang?"
"Di kostan. Kenapa?"
"Mama sama papa lagi di Tasik nih. Kebetulan gak akan lama. Kamu bisa kan datang ke rumah makan Saung Ranggon?"
"Oh, oke. Bisa, Ma."
Klik. Bella menutup sambungan telepon. Sebelum ia keluar, Bella mengintip dari balik jendela. Memastikan pria menyebalkan itu sudah pergi. Terlihat si Moza masih menggerutu sambil menjauh dari area kost.
Baguslah, kalau pria itu sudah pergi, Bella bisa keluar dengan damai. Bukan apa-apa, Bella malas bertemu dengan perusak kedamaian itu. Dunia tenangnya bisa terkena tsunami mendadak saat Moza ada di depannya.
***
"Tumben masih pagi muka lo asem begitu? Kayak bapak-bapak gak dapat jatah dari bininya!" Celotehan Memet makin nambah runyam kepala Moza saat ini.
Ia mendelik kesal pada sahabatnya itu, "Bangke lo! Gue curiga, lo kawin lari ya sama si Leha?"
Si Memet bergidik, "Hih, amit-amit! Bisa digorok bapak gue kalo berani kawin lari."
KAMU SEDANG MEMBACA
kesambet Titisan Alaska
Nezařaditelné"Njir, demi apa lo, Za? Lo lebih memilih cewek kolot berkacamata tebal itu?" "Kenapa? Masalah buat lo, Met?" "Lo buta ya, Za?" "Kagak." "Lah, terus? Kenapa gak milih si Sindy yang bahenol itu?" "Udah banyak, Nyet! Gue mau tahu, cewek bernama Bella i...