18. Keputusan Dahnia

25 12 0
                                    

Seusai menangis di taman belakang, Dahnia memasuki wc sebelah kelasnya sebelum masuk ke dalam kelas. Ia ingin mencuci wajahnya yang sembap karena menangis tadi.

"Setelah kejadian tadi, gak mungkin gue lanjutin buat ngakuin kekalahan gue ke Jevan. Setelah gue tau kalau Jevan masih gamon ke Nadya, kesannya kayak gak tau diri banget kalau gue nyatain perasaan gue ke dia," gumam Dahnia seusai membasuh wajah sembapnya.

"Kayaknya lebih baik gue gak usah bilang aja ke dia. Masa bodoh mau gue dikatain pengecut atau apa. Lagi pula gue udah tau kalau dia gak punya perasaan yang sama, jadi tetap aja percuma kan kalau gue bilang?"

Dahnia menyandarkan tubuhnya ke dinding, mengusap kasar wajahnya dengan frustrasi.

Sudah ia putuskan. Ia tidak akan menyatakan soal perasaannya itu kepada Jevan. Meskipun itu berarti Dahnia melanggar peraturan yang bahkan ia buat sendiri, namun lebih baik seperti ini. Walau terlihat egois, tetapi Dahnia lebih tidak mau Jevan mengasihaninya karena Dahnia menyukainya sedangkan dirinya sendiri tidak memiliki perasaan yang sama seperti yang Dahnia punya. Lagipun, Dahnia memang paling benci mengakui bahwa dirinya kalah dari Jevan.

Mungkin untuk saat ini lebih baik Dahnia tidak perlu menyatakannya, lalu langsung berusaha melupakannya seolah-olah dirinya tidak pernah kalah. Atau bahkan Dahnia lupakan saja soal pertaruhan itu.

Setelah cukup lega, Dahnia memilih keluar dari sana. Berjalan menuju kelasnya. Namun ketika hendak masuk kelas, tak sengaja ia berpapasan dengan Jevan yang berjalan dari arah yang berlawanan.

Dahnia baru saja ingin mengabaikannya, namun Jevan sudah lebih dulu memanggilnya. Yang membuat Dahnia mau tidak mau jadi menoleh ke arahnya.

"Dahnia," panggil Jevan.

"Apa?" jawab Dahnia.

Bukannya menjawab, Jevan malah berjalan mendekat, membuat Dahnia seketika jadi merasa tidak nyaman di tempatnya.

"Lo habis nangis?" tanya Jevan saat ia memperhatikan wajah sembap Dahnia dengan lebih dekat.

Dahnia gelagapan. Ia benar-benar tidak ingin Jevan tahu kalau dirinya habis menangis hebat karena lelaki itu. Dahnia benar-benar tidak ingin terlihat lemah di depan Jevan. Dan akhirnya Dahnia menggeleng untuk membantah ucapan Jevan barusan.

"G-gak kok! Sok tau!"

Mata Jevan menajam. "Gak usah bohong! Lo nangis kenapa? Karena lihat wallpaper gue?"

Mengapa masih perlu ditanya? Apa Jevan setidak peka itu kalau Dahnia sakit hati? Ah iya, Dahnia tidak ingat kalau Jevan tidak tahu perasaannya. Tentu saja Jevan tidak akan mengira kalau dirinya akan cemburu dan sakit hati dengan hal itu.

"Kenapa juga gue harus nangis karena itu? Btw, lo tau dari mana kalau gue lihat wallpaper lo?"

"Ragil. Dia juga lihat."

Dahnia hanya menangguk pelan. Meski sebenarnya ia cukup terkejut. Ia kira, hanya dirinya saja yang melihat wallpaper Jevan. Tapi, rupanya Ragil juga melihatnya.

"Gue minta maaf Ni, tapi, gue udah gak punya foto Nadya di ponsel gue. Gue juga gak tau kenapa tiba-tiba wallpaper gue berubah jadi foto dia," jelas Jevan yang merasa bersalah.

Padahal seharusnya, Jevan tidak perlu merasa bersalah kan? Jevan saja tidak tahu bahwa Dahnia sakit hati karena itu, lalu mengapa ia merasa bersalah?

Dahnia tersenyum kecil di tempatnya, ia menepuk pundak Jevan pelan.

"Gak papa kali Je. Lagian lo gak perlu merasa bersalah gitu, gue gak papa kok. Cuma, lo jangan begitu lagi. Ya, kalau memang lo masih gamon sama dia fotonya jangan dibuat wallpaper. Ntar ada yang lihat lagi gawat kan? Untung tadi yang lihat cuma gue sama Agil," ujar Dahnia sambil berusaha tersenyum sekuat mungkin. Meski sebenarnya, ucapannya itu sangat tidak selaras dengan keadaan hatinya yang sedang tidak baik-baik saja seperti ucapannya tadi.

RIVAL Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang