- Stefan's Point of View -
Gue membuka mata perlahan saat suara Nakula membangunkan gue. Sekarang Nakula dan Aldo berdiri di depan gue, menatap gue dengan tatapan tidak mengerti. Sementara gue meraih ponsel dari coffee table, memastikan jam berapa sekarang ini.
"Lo tidur di kantor, Bos? Tumben banget." Tanya Nakula sambil duduk di sofa sebelah sofa gue.
"Kemarin nyelesaiin kerjaan sampe malem, terus gue males balik. Jadi yaudah, tidur aja sini."
Aldo kemudian menyodorkan satu tas pada gue.
"Apaan nih?" Gue bertanya bingung.
"Dari bini lo. Dia nitipin ke satpam, terus gue terima dan gue bawa aja ke sini. Kayaknya baju salinan elo."
"Oh, thanks," ucap gue sambil menerima bungkusan itu dan mengeluarkan isinya satu persatu. Ternyata Yuki bukan cuma membawakan gue baju, tapi juga sarapan untuk gue yang gue juga langsung buka karena si dua cumi ini juga kebetulan lagi pada sarapan.
Ditengah sarapan, gue mendadak ingat sesuatu yang dari tadi malam gue sudah pikirkan sampai nggak bisa tidur. Dan kayaknya gue harus mulai melakukan segala persiapannya dari sekarang.
"Lo pada ada yang punya kenalan pengacara yang biasa nanganin perceraian, nggak?" Pertanyaan gue jelas di jawab dengan tatapan bingung dua kunyuk depan gue ini. Mukanya kaget banget sampai mereka stop ngunyah. Sial, pasti bakal banyak pertanyaan dari dua orang ini karena gue ujug-ujug nanyain soal pengacara nikahan.
"Siapa yang mau cerai, Bos? Bu... Bukan lo, kan?" tanya Aldo terbata.
"Bukan. Sepupu gue." Jawab gue praktis. Malas menjawab jujur karna gue juga malas menanggapi dan menceritakan lagi apapun yang terjadi. Sekarang gue masih belum punya energi untuk banyak cerita.
"Oh astaga, sepupu lo. Asli, gue sempet nggak nafas berapa detik tuh barusan. Gue kira buat elo, Stef. Gue kira mau jadi duda muda lu. Kaget gue." Aldo mengelus dadanya sambil memasang tampang lega. Gue cuma mendengus pelan. Iya, gue yang bakal jadi duda muda, guys. Sialan emang.
Sebetulnya semalam ketika gue bilang sama Yuki kalau gue sudah punya pengacara untuk mengurus perceraian kamu itu, gue bohong. Sekalipun gue belum pernah memikirkan soal proses perceraian, secara gue juga belum benar-benar bisa meyakini diri gue kalau semua yang terjadi ini adalah kenyataan. I'm still in the middle of my denial stage and last night she finally made me realized that this fucking things trully happened. She did cheated on me and my marriage was practically over. So I guessed, I really need to put my head straight and starting to put an end to this.
"Gue punya temen pengacara, sih. Nanti coba gue WA ya. Takutnya dia lagi ga di Indo."
"Oke," sahut gue tanpa memperpanjang.
"Tapi Bos, kalo gue boleh kepo, sepupu lo cerai kenapa? Spill dong, Bro." Gue mengerutkan kening pada Nakula dan pertanyaannya.
"Buat apaan lo pengen tau, nyet? Usil banget."
"Ye, bukan gitu. Kali aja bisa buat inspirasi web drama baru kita. Butuh juga lah insight insight kayak begitu sekali-sekali. Namanya juga script writter, gue juga butuh inspirasi dari dunia luar. Jadi, kenapa, sih?"
"Selingkuh," sahut gue singkat.
"Suaminya?"
"Istrinya."
"Istrinya?" Nakula serta merta terkejut. "Kok bisa? Kesian amat. Ada apa sama lakinya sampe bininya bisa selingkuh?"
Kasihan? Ada apa dengan suaminya? Kok omongan si Nakula ini seakan memojokan gue sebagai suami yang nggak becus sampai Yuki bisa selingkuh dari gue, ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandung Hati Melodi Season 2
RomanceWhat if that story has one moment that was different than how it should be. Will it still have that happier ending? Di malam ketika Yuki meminta Stefan menceraikannya, bagaimana kalau ternyata Stefan memilih untuk tidak menceraikan Yuki seperti seb...