- Stefan's Point of View -
"Jadi Ma, Melodi diminta sama Miss Jena buat nyanyi barusan di depan kelas. Terus Melodi nyanyi Ambilkan Bulan Bu. Terus waktu Melodi selesai nyanyi, semuanya tepuk tangan. Kata Miss, suara Melodi bagus banget!" cerita Melodi dengan semangat pada Ibunya lewat video call dari ponsel gue Ketika gue baru saja menjemput putri gue itu dari sekolahnya. Terdengar suara tawa Yuki dan tepuk tangan di sana saat Melodi selesai bercerita.
"Wow, good job, Baby. Mama is very proud of you. Mama juga sudah lihat foto Melodi nyanyi dari group WA, barusan banget dikirimin sama Miss Jena. Melodi pinter banget, Sayang," puji Yuki pada Melodi yang langsung tertawa riang. Gue melirik Melodi yang duduk di kursi tengah mobil dari rear mirror dan ikut tersenyum. Sepanjang perjalanan dari sekolah sampai akhirnya mobil sudah sampai di rumah, Melodi terus mengoceh pada Mamanya. Gue bahkan rasanya tidak tega untuk menyudahi percakapan mereka ketika kami sampai di rumah.
"Sayang, we're arrived. Sudah dulu telepon Mama, Melodi masuk dulu dan ganti baju sana," ucap gue pada Melodi yang langsung mengangkat kepala dari layar ponsel. Wajahnya berubah murung saat dia tau kalau kami betul-betul sudah sampai rumah. Gue nggak tau apa Melodi sebenarnya sudah cukup mengerti atau tidak, tapi sekarang, setiap dia bertelepon dengan Yuki, Melodi seakan sulit berpisah. Anak itu seakan tau kalau waktunya dengan Mamanya sekarang sangat terbatas, dan perpisahan selalu membuatnya murung seperti ini.
"Nanti kan bisa telepon Mama lagi sama Adek. Sekarang jemput Adek dulu di rumah Oma."
"Iya, Sayang. Kakak masuk dulu gih, mandi dan ganti baju, ya. Nanti Mama telepon Kaka lagi. Oke? Anak Mama pinter, kan?" Dan dengan bujukan itu, Melodi pun akhirnya menurut. Dia mengucapkan selamat tinggal pada Mamanya kemudian menyodorkan ponsel kembali pada gue untuk kemudian turun dari mobil saat dijemput Susi.
Sepeninggal Melodi, gue kembali menatap layar ponsel, menatap Yuki yang masih ada di sana, balik menatap gue juga dengan senyuman. Sebuah senyuman yang selalu membuat hati gue mendesir akan betapa cantiknya wajah itu setiap kali gue menatapnya.
"Hei," sapa gue sambil melebarkan senyuman. "Masih makan siang?"
"Iya. Tapi udah selesai, sih. Sebentar lagi balik kantor. Kamu udah makan?"
"Belum. Nanti aja di rumah Mama sambil jemput Miko, barusan Mama bilang Mama masak asam padeh kesukaanku," jawab gue lagi, dan Yuki cuma mengangguk. Kemudian, gue terdiam beberapa saat, meneliti wajahnya beberapa detik sebelum akhirnya bertanya, "Keadaan kamu gimana sekarang? Masih suka sakit perutnya?"
Yuki menggeleng. "Nope. Aku oke, kok, getting better actually. Seharusnya aku yang tanya, kamu gimana? You seem tired." Wajahnya menatap gue dengan tatapan sarat kekhawatiran.
"Yeah. A little. Miko belakangan ini tidurnya agak susah, sering bangun tengah malam. Jadi aku mau nggak mau nemenin dia sampai tidur lagi. But it's okay, though. Don't worry about me."
"Tapi serius, Stef, kalau kamu bener-bener capek, aku bisa urus anak-anak beberapa hari supaya kamu bisa istirahat, kok. Supaya kamu juga bisa ngerjain kerjaan yang kamu tunda belakangan ini. Kalau emang kamu nggak mau aku bawa anak-anak ke rumah Mama, aku bisa nginep di rumah sana. Nanti aku tidur sama Kakak juga nggak pa-pa."
Ucapan Yuki seakan mencubit hati gue. Kenyataan kalau saat ini Yuki sudah benar-benar tinggal lagi di rumah orang tuanya semenjak dia keluar dari rumah sakit dua minggu yang lalu membuat gue seakan tertampar kenyataan. Kenyataan kalau everything's starting to get real. That she and I will finally over, the divorce is truly happening, dan tidak ada lagi kemungkinan untuk menunda mimpi buruk ini menjadi kenyataan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandung Hati Melodi Season 2
Roman d'amourWhat if that story has one moment that was different than how it should be. Will it still have that happier ending? Di malam ketika Yuki meminta Stefan menceraikannya, bagaimana kalau ternyata Stefan memilih untuk tidak menceraikan Yuki seperti seb...