16. Ketakutan.

12.3K 1.5K 96
                                    

"Menurut lo, kalo nggak jadi Personal Assistent Pak Rega lo bakal jadi apa, Ra?" Waktu itu, hari Sabtu. Selepas nonton satu film di XXI, Mbak May langsung mengajak Dara buat hunting makan malam. Dan, Warung Soto Betawi di sekitaran komplek Taman Ismail Marzuki adalah tempat makan ke sekian yang akhirnya kebagian giliran untuk keduanya sambangi di acara saturday-night out rutin mereka.

Mumpung masih jomlo, dalih Mbak May setiap kali merayu Dara buat ikut menemaninya keluar.

Serta, kendati nggak seperti Mbak May yang selalu kalap untuk memenuhi meja dengan menu-menu pesanannya, kalau boleh jujur, Dara mulai merasa senang sih mengikuti aktivitas jelajah kuliner bersama Mbak May sebab, dia bisa mencicipi dunia yang lebih luas dari sekadar sepetak kamar di indekosnya.

Sambil mengaduk teh manis hangat yang dipesannya, Dara masih sanggup mendengar suara 'tek tek tek' kipas angin yang menguil di dinding, sayup-sayup angin yang dihasilkannya pun sempat hinggap dan menerbangkan selembar tisu di atas meja.

Lalu, di sela bunyi denting sendok yang saling beradu juga samar-samar suara orang mengobrol di belakang punggungnya, Dara akhirnya berani menjawab, "Kalo kata Mbak May, aku cocoknya jadi apa?" Karena, serius. Awalnya, Dara pengen mengatakan kalimat: 'Andai nggak jadi Asisten Pak Rega, aku mungkin bakal luntang-lantung.'

Sayangnya, Dara nggak pernah ingin terlihat se-desperate itu. Atau, ya dia nggak sekali pun dibentuk untuk jadi menyedihkan di mata orang lain. Ayolah! Menyembunyikan perasaan adalah keahlian yang telah ia tempa sedari belia. Ibu dan lingkungannya selalu mengajarinya untuk yang satu itu.

"Hmmm." Mbak May menggumam sambil mengambil satu tusuk sate ayam dari atas piring saji yang lantas ia celupkan ke dalam kuah soto, sebelum digigitnya dengan nikmat. "Kalo lo nggak jadi PA Pak Rega kemungkinan besar lo masih di Semarang ya, Ra?"

Dara mengangguk.

Iya. Dan, sekali pun nggak luntang-lantung, agaknya dia mungkin bakal jadi pegawai fotocopy di tempatnya Cik Erika? Atau? Oh, entahlah. Dara nggak punya banyak relasi. Orang dalam yang dia miliki paling banter ya cuma Cik Erika beserta keluargalah. Di kampungnya, memang apalagi coba yang kiranya sanggup buat ia kerjakan?

"Kata gue lo buka kedai leker sama kopi deh, Ra," Mbak May tiba-tiba seolah memberi ide. Ide yang sebelum ini, realitasnya betul-betul nggak terpikirkan di benak Dara.

"Kok?"

"Kopi bikinan lo enak soalnya," aku Mbak May yang seingat Dara baru minum kopi bikinannya satu kali pas mereka sedang sama-sama nongkrong di pantry. Namun, ya segurat senyum tipis Dara toh tetap terkembang begitu mendengarnya, terlebih ketika Mbak May menyambung penuh semangat, "Gue sih yakin kalo lo sekolah di tempatnya Si Osas. Bakat lo terus diasah, bisalah lo jadi Barista. Atau, kalo nanti semisal nih yah kebetulan lo capek nge-asistenin Pak Rega, mending lo buka deh, Ra. Gue sih yakin laku tauuuk!"

Dara nggak tahu apakah itu gara-gara omongan Mbak May atau bukan, tapi setiap ia mengunjungi Moonbucks dia jadi suka kepikiran.

Sembari berlama-lama mengamati akrilik yang tertempel di dinding berisi informasi mengenai sekolah Barista yang kerap diadakan oleh Moonbucks di sepanjang Sabtu-Minggu, honestly, Dara sempat kepincut sih. Buka kedai kopi dan leker di Sekayu atau Miroto. Tentu lebih baik dari cuma luntang-lantung atau jagain toko fotocopy-an milik Cik Erika kan?

Hanya aja, saat Dara akhirnya tahu bahwa biaya yang harus dia rogoh untuk gabung di paket kelas paling murahnya bahkan bisa sampai di angka 3,5 juta, dia refleks balik kanan dan bubar jalan. Oh, tolonglah! Dara bisa membayar sewa kos-kosannya selama 2 bulan dengan uang segitu!

Semestinya Cinta ( Selesai )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang