14%

146 23 1
                                    

Satu hari sebelum tanggal perkiraan melahirkan Anya. Pagi itu di taman belakang rumah milik Suho, wanita hamil itu duduk termenung disana. Rasanya, suara Mark masih saja berdengung di telinga nya. Sejak daritadi tangannya memegangi perut besarnya. Dia pengen cepet-cepet lahiran, tapi ya, takut juga. Jantungnya udah mulai nggak berjalan normal.

Itu hari Sabtu, Dejun dan ayahnya sedang tak ada di rumah. Jadi, dia bebas berjalan kemanapun, karena biasanya dilarang keras oleh Suho. Padahal kan, orang kalo mau lahiran harus rajin jalan, bahkan Anya sempet ngepel rumah pakai tangan-katanya biar nanti keluarnya lancar. Tas berisi perlengkapan untuk nanti setelah persalinan juga sudah disiapkan. Tinggal bawa aja.

Cukup bosan memandangi bunga-bunga disana, Anya ingin kembali ke dalam melihat ibunya yang kayaknya daritadi nggak selesai masaknya. Anya sudah khatam membaca buku panduan melahirkan, mulai dari tanda-tanda kontraksi sampai bagaimana cara menyusui, sudah ia baca berkali-kali.

Sampai di dapur kotor, Anya tak menemukan Irene disana. Tapi acara memasak nya belum selesai. Kemana ibunya itu?

Dia tak terlalu ingin tahu, sekarang ingin pergi ke kamarnya untuk mengingat kembali panduan melahirkan itu. Setibanya di anak tangga paling atas, Anya merasakan ada sesuatu yang mengalir dari bagian tubuh bawahnya. Dia menurunkan pandangan nya sambil menunggu apa yang menetes.

"MAMA!! KETUBAN KU PECAH!!" Teriak Anya sekeras mungkin yang dia bisa. Menurut buku yang ia baca, jika ketuban pecah duluan sebelum terjadi kontraksi, maka persalinan harus segera dilaksanakan.

Irene yang tadinya sedang sibuk di kamar, langsung mendatangi anak sulungnya. Dia bingung juga harus ngapain. Anya mencoba mengatur nafasnya dan menyuruh Irene untuk menelpon suami dan juga ayahnya. Tapi, saat membuka layar hp nya, Irene malah menelepon Wonu. Entah apa yang ada di pikirannya.

"MAS! TOLONG BAWA ANYA KE BIDAN LINA. DIA UDAH PECAH KETUBAN NYA"

Anya melotot tak percaya, ini bukannya nelpon suaminya malah nelpon tetangga.

Iya tante, saya kesana sekarang.

"Eh, kamu ada di kantor ya?"

Nggak, ini saya masih di rumah.

Irene mematikan panggilan sepihak. Lalu pergi ke kamar Anya untuk mengambil tas persalinan dan juga gawai Anya. Pergi ke kamarnya lagi untuk mengambil jaket dan dompet. Kembali lagi menemani Anya yang tetap di posisinya sambil membimbing untuk mengatur nafasnya baik-baik.

Pembantu seisi rumah juga ikut kalang kabut mendengar teriakan Anya. Namun, beberapa dari mereka segera kembali ke kerjaannya masing-masing. Beberapa menit berdiri disana, Wonu datang dengan kecepatan lari yang tak terhingga, bahkan sepatunya saja tak ia lepas.

Berhasil menaiki anak tangga, tak tanggung-tanggung, Wonu menggendong Anya untuk turun menuju mobilnya. Sebelum berangkat, Irene meminta doa kepada semua pembantu disana untuk kelancaran persalinan Anya.

Anya didudukkan di kursi tengah, sedangkan Irene duduk di kursi depan bersama Wonu. Dia sambil membimbing Anya untuk tetap rileks dan berfikiran fresh. Tapi ya, mau mikirin Jaemin rambut oranye juga tetep panik. Di perjalanan, entah sengaja atau tidak, mereka berpapasan dengan mobil Dejun. Semenjak tinggal disana, Suho selalu nebeng di mobil menantunya, lumayan hemat uang bensin.

Hampir mendekati mobil Dejun, Wonu mengklakson dengan keras dan membuka kacanya "ANYA LAHIRAN INI, JUN!!"

Dejun sempet diem sebentar sambil melambatkan laju mobilnya. Lalu tersadar kembali saat Irene ikut berteriak. Dejun langsung memutarkan mobilnya detik itu juga. Untungnya jam segini sepi kendaraan karena udah warga perumahan udah pada berangkat sekolah dan kerja semua. Wonu menambah kecepatan mobilnya kembali, begitu juga Dejun. Di mobilnya, Dejun udah nggak bisa nahan ekspresi mukanya. Kayak nahan ketawa, tapi mau nangis, tapi ya pengen teriak juga. Suho sampai takut sendiri ngeliat menantunya bertingkah aneh.

{2} 𝑫𝒊𝒋𝒐𝒅𝒐𝒉𝒊𝒏 || 𝑿𝒊𝒂𝒐 𝑫𝒆𝒋𝒖𝒏 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang