BAB VII

12 4 0
                                    

"Nggak usah. Makasih," sahut Nadir kemudian.

Di seberang sana, Arsya hanya manggut-manggut. Entah apa yang sedang dipikirkan.

"Udah malem, aku mau pulang dulu," cetus Nadir. 

"Katanya sama temen kamu, mana dia?"

"Udah pulang duluan paling,"

"Mau dianterin?"

"Nggak usah, aku bisa pulang sendiri,"

"Oke, hati-hati,"

"Thanks,"

Sebelum berpisah, mata mereka kembali bertemu. Ada percikan rasa yang kembali membuat Nadir salah tingkah. Segera saja, Nadir membalikkan badan lalu pergi meninggalkan Arsya yang masih menatap kepergiannya dengan sorot penuh harapan.

Nadir seolah tak peduli dengan Nala, kini ia hanya ingin cepat-cepat sampai apartemen, membantingkan diri ke atas kasur dan memejamkan mata, melupakan apapun yang telah terjadi malam ini, melupakan perasaan yang mulai bersemi kembali setelah sekian lama terpendam oleh peradaban.

Sesampainya di apartemen .. Klekk .. Klekk ..

Astaga, pintunya nggak dikunci? Ada malingkah? Ia merasa sudah mengunci pintu sebelum pergi. Nadir merasa ada yang janggal dengan apartemennya. Ia pun menyaut sapu yang tergeletak di dekatnya, antisipasi jika ada orang yang hendak berbuat macam-macam kepadanya.

Braakk .. Ia membuka pintu dengan keras.

Dannn .. Astaga .. Seorang gadis tengil tengah menikmati semangkok bakso sambil tertawa cekikikan dihadapannya.

"Nalaaaaaaaaaa!!!!!!!" 

"Haii Queen, gimana ngedatenya.. hahahaha ..." cetus Nala diselingi tawa yang membuncah.

"Ngeselin banget deh ahh," Nadir segera menghampiri gadis itu, ia mengambil sebuah bantal lantas menggebuki gadis itu berulang-ulang.

"Heh ngawurr, baksoku tumpahh, Nad,"

"Bodo amat. Nih rasainn!!"

"Stopp, stoppp!!!

Nadir pun berhenti mengayunkan bantal yang bermotif Cinderella itu.

"Kemana aje lu? Gue tungguin nggak ada? Tau-tau udah dirumah aja," cerocos Nadir kesal.

"Ya, tadi gue lihat elu lagi "bertukar inspirasi" saya tuh cowok, yaudah gue pulang duluan," ucap Nala dengan ekspresi yang sungguh sangat membuat Nadir ingin menelannya mentah-mentah. Mulutnya bahkan tak berhenti mengunyah bakso-bakso yang baunya telah memenuhi kamar Nadir.

"Bertukar informasi pala luu!!!"

"Gitu kok katanya nggak suka," sindir Nala.

"Nggak, gue nggak suka!" 

"Ihh, awas lo lama-lama klepek-klepek,"

"Auk ah mau tidur gue ngantuk. Lu awas ya kalo abis makan ngga cuci mangkok. Gue patahin leher lu," ancam Nadir.  

"Iye, yadah sono. Mimpi indah Queen, wkwk," timpal Nala.

Nadir pun merebahkan tubuhnya ke kasur. Namun, entah kenapa tib-tiba wajah Arsya mengganggu pikirannya. Ia kembali terngiang-ngiang dengan apapun yang tadinya sempat diucapkan lelaki itu. Juga senyum manisnya yang mampu merontokkan hati siapa saja yang melihatnya, tak pernah ia menemukan senyum semanis itu. Senyum paling manis yang ia dapatkan dari seseorang. Pikirannya kembali berkecamuk. Logika dan perasaan seakan tengah memperdebatkan segala kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.

Lama-kelamaan, ia merasa tengah berjalan di antara padang ilalang yang lebat, dengan bunga-bunga yang mekar sempurna. Sendiri. Ia melihat sekelebat bayangan. Ia pun menoleh. Nampak seorang lelaki berbaju putih yang jauh disana tengah tersenyum kepadanya. Ada sebuah pesan yang ingin disampaikan.

NADIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang