BAB VIII

11 4 0
                                    

Tanpa disadari kebanyakan orang sukses merasa perlu mendapat pengakuan dan persetujuan dari orang lain. Entah berupa pujian atas prestasinya, pujian atas gajinya yang besar, ketenaran profesinya, atau gaya hidupnya. Lantas apakah ketika orang-orang tidak memuji keberhasilan seseorang  artinya seseorang itu gagal? Apakah ketika pekerjaannya tidak seterkenal pekerjaan lain, kemudian ia puas hanya dijadikan bulan-bulanan dengan argumen "yang penting nggak jadi pengangguran"? Apakah ketika gaya hidupnya biasa-biasa saja ia bukan orang suskes? 

Banyak orang sering membanding-bandingkan kehidupannya, kesuksesannya, bahkan pendapatannya dengan orang lain. Iri dengan pencapaian orang lain seringkali menjadi hal yang dialami manusia. Merasa insecure, merasa tidak punya harapan, tidak punya prestasi hingga akhirnya seseorang itu hanya menikmati takdir Tuhan tanpa mau sedikit mengembangkan kehidupan. Ah, Nadir bingung dengan pemikirannya sendiri. Ia saja masih bingung dengan kehidupannya sendiri.

Masih banyak teka-teki yang berkelebatan dalam pikiran Nadir. 

"Jangan merendah gitu lah, Nad. Hahaha .. "cetus Ilham 

"Eh, Nad, kayaknya kita harus balik duluan deh. Soalnya masih ada urusan nih," sahut Alea tiba-tiba

"Iya nih, aku juga," tambah Citra

"Gue juga deh Nad, kasihan mereka berdua kalo nggak ada lakinya," cetus Ilham setengah bergurau

"ISHH GAK DEHH, Males banget," sahut Alea sambil menonjok ringan lengan Ilham.

"Okedeh, kalian hati-hati di jalan ya," ucap Nadir sambil menyalami mereka bertiga.

"Okee, byee ..," 

Setelah mereka bertiga pergi, Nadir pun melanjutkan kegiatannya, tenggelam dalam bacaan dan tulisan sambil menunggu kedatangan Nala. 

Beberapa saat kemudian, Nala pun datang. Hari ini mereka berdua menghabiskan waktu untuk nongkrong di kedai Tulip dan sesekali berkunjung ke perpustakaanuntuk  mencari buku referensi.

***

Waktu berjalan bergitu cepat, hari ini adalah jadwal Nadir untuk menghadiri seminar kepenulisan di HMP Sastra Indonesia sebagai pembicara. Jika dihitung, sejauh ini Nadir sudah lima kali dipercaya untuk membawakan materi kepenulisan di berbagai kegiatan seminar, entah itu di luar maupun di dalam kampus. Padahal ia masih merasa belum menjadi apa-apa, meski dalam hati ia merasa senang juga. Walaupun sebenarnya ia juga tidak jago public speaking, paling tidak ia bisa menampilkan sisi terbaik dalam dirinya. 

Tiba-tiba ponselnya berdering.

Siapa nih pagi-pagi telepon, pikirnya.

Sebuah nama terpampang jelas di benda tipis itu, Rendy.

"Halo, Nad," sapa Rendy dari seberang telepon.

"Halo, Ren. Ada apa? Gue lagi mau berangkat nih, udah telat ya?" ucap Nadir.

"Ehmm .. Belum kok. Lo berangkat sama siapa?" 

"Sendiri," 

"Gue jemput ya?" sahut Rendy tiba-tiba.

Aneh banget. Tumben Rendy mau jemput gue. Kesambet apaan dia, batin Nadir kemudian.

"Gue berangkat sendiri aja Ren," sahut Nadir. Ia tidak enak menerima tawaran Rendy, apalagi setaunya Rendy sudah punya pacar. Namanya Clara, mahasiswa semester 5 jurusan Seni Rupa. Bisa-bisa perang dunia ketiga kalau dia mengiyakan ajakan tersebut.

NADIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang