BAB IX

5 2 0
                                    

Nadir pun melenggangkan kaki menuju deretan kursi-kursi di ujung aula, menuruti arahan dari panitia. Rendy pun nampak mengikutinya. 

Beberapa menit kemudian, seorang panitia menghampiri mereka, ia mengatakan bahwa pembicara lain sudah datang dan acara akan segera dimulai. Panitia itu lalu menjelaskan rangkaian acara yang nantinya akan dilaksanakan. Nadir hanya mengangguk-angguk tanda sudah memahami.

 Di sisi lain, Rendy sama sekali tak bersuara. Ia masih terduduk santai di kursi tersebut sambil meliuk-liuk memainkan ponselnya, asyik bermain game kesukaannya. Tangannya lincah mengoper umpan,terlihat seperti seorang gamers sejati.

"Mari Mbak, saya antarkan ke atas panggung, pembicara lain sudah ada di sana juga," kata panitia itu.

"Oke. Ada berapa pembicara nanti?" ucap Nadir sambil mempersiapkan diri. Ia memastikan bahwa dirinya sudah siap baik secara fisik maupun mental. Berbicara di depan banyak orang tidak hanya butuh wajah cantik tapi juga butuh mental yang cantik.

"Nanti ada dua pembicara mbak," sahut panitia itu.

Langkah Nadir kini telah mencapai sisi panggung. Menunggu pembawa acara untuk mempersilahkannya memasuki panggung. 

Astaga. Tiba-tiba tatapan matanya seolah terhenti, ada yang menyekat kerongkongannya hingga ia tak mampu bersuara. Pandangannya seolah dihipnotis kala menatap seorang laki-laki yang sudah terlebih dahulu duduk di kursi pembicara. Dadanya bergejolak hingga detak jantungnya tak beraturan. Ia merasa keringat dingin membasahi telapak tangan mungilnya.

 Ia mengenakan baju kemeja biru. Ah, itu warna kesukannya,  dipadukan dengan celana hitam polos casual dan sepatu sneakers hitamkali ini ia memakai kacamata. Rambutnya masih sedikit acak-acakan tapi nampak berkilau. Meskipun gayanya agak berbeda, ia sangat mengenali laki-laki ini. 

Senyumnya menggelora ketika pembawa acara memperkenalkan dia pada puluhan peserta yang langsung bertepuk tangan begitu riuh menyambutnya.

Arsya? Kenapa dia bisa ada di sini? Bukankah dia bukan pegiat sastra? Bukankah yang disebut tadi bukan namanya? Batin Nadir. Di belakang panggung tadi ia memang tidak terlalu memperhatikan karena suara sang pembawa acara hanya terdengar lirih. Tetapi ia ingat betul, nama yang dipanggil tadi bukanlah nama lelaki itu, tetapi Sanad Sulaiman. Meskipun rada asing, ia memang pernah mendengar nama itu. Kalau tidak salah penulis buku motivasi.  Sejauh ini ia memang jarang sekali membaca buku-buku motivasi. Apakah itu hanya nama samaran?  Batinnya lagi.

"Yakk, selanjutnya mari kita sambut pembicara kita yang kedua, seorang penulis buku yang sudah melanglang buana dalam dunia kepenulisan. Ini dia beri tepuk tangan yang meriah Kak Nadir Allecia Winata .." suara pembawa acara kembali menggema dalam aula yang kemudian disambut dengan tepuk tangan yang begitu meriah.

Langkah Nadir seolah terhenti begitu saja, ada yang menghalangi kakinya untuk menapak tangga-tangga kecil yang ada dihadapannya. Di seberang sana, lelaki itu telah menyadari kehadirannya, lantas menyambutnya dengan seulas senyum yang khas, sama seperti malam itu.

Pikiran Nadir terus berkecamuk, memikirkan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi. Ia merasa konsentrasinya mendadak buyar. Namun, sedetik kemudian ia sadar saat ini ia tengah menjadi pusat perhatian, semua orang menunggunya untuk naik ke atas panggung. Ia harus profesional. Nadir pun menarik napas dalam-dalam. Meskipun dengan langkah yang berat, ia ayun kakinya menaiki tangga. Ia tampakkan seulas senyum manisnya, bukan pada lelaki itu, tapi pada para peserta seminar. 

Tenang Nad, tenang. Batin Nadir.

"Silahkan duduk Mbak Nadir," sahut seorang perempuan yang duduk tak jauh dari lelaki itu. Sepertinya ia adalah moderator yang akan memandu acara ini.

"Baik, terima kasih." sahut Nadir, ia masih berusaha menormalkan detak jantungnya dengan tidak menatap lelaki yang saat ini hanya berjarak kurang lebih satu meter dengannya. Namun, ia bisa merasakan lelaki itu tengah menatapnya lekat-lekat.

Setelah ruangan kembali sepi, baru kemudian pembawa acara  memperkenalkan sang moderator itu, Bella namanya. Acara pun dialihkan kepadanya.

"Kak Arsya dan Kak Nadir sudah siap?" bisik sang moderator

"Siap, Kak," bisik Arsya. Sementara Nadir cukup mengangguk saja.

Acara inti pun resmi dimulai, kali ini ternyata Nadir dulu yang diminta untuk menyampaikan materi selama 30 menit. Ia sama sekali tidak tahu bahwa ini adalah permintaan Arsya.

Dengan perasaan yang masih campur aduk, Nadir berusaha bersikap setenang mungkin. Ia berusaha tampir sempurna, menyampaikan materi sebaik mungkin  dengan kata-kata yang sederhana.

"Menulis dan membaca itu satu paket. Ketika kita ingin menjadi penulis kuncinya adalah  membaca. Kalau kita nggak suka membaca otomatis akan sulit jadi penulis. Ibarat mau masak nih buat teman-teman khususnya yang perempuan, kalau nggak tahu bumbunya ya gimana dong, ya kan? Nah, Menulis itu nggak bisa langsung benar juga teman-teman, kita perlu yang namanya proses, salah dulu, kadang harus revisi ini itu, kadang harus mulai dari awal. Kalau mau buat novel nih contohnya, kadang kita ngrasa tulisan kita jelek, tiba-tiba nggak dapat ide, stuck di tengah jalan, pikiran tiba-tiba buntu, nggak papa itu hal yang wajar, " tuturnya 

"Yang paling penting kita harus konsisten dalam menulis, jangan pernah berhenti menulis. Saya pernah mendengar sebuah quotes dari Tere Liye, salah satu penulis favorit saya, beliau berkata bahwa "Tulis 1000 kata perhari selama 180 hari nonstop. Karena ciri-ciri penulis yang baik adalah penulis yang menulis setiap hari". Misalkan, tiba-tiba ada ide buat nulis ,ya nulis aja, apapun itu. JK Rowling pernah berkata "mulailah dengan menuliskan hal-hal yang kau ketahui. Tulislah tentang pengalaman dan perasaanmu sendiri,"

"Tanpa kita sadari, kita itu bisa melakukan suatu hal karena terbiasa dari hal-hal kecil. Contohya, nulis diary. Itu hal kecil temen-temen,  tapi kalau terbiasa kita bisa loh jadi penulis yang hebat kayak Kak Wirda Mansur. Kebiasaan beliau itu menulis diary tentang kehidupannya, tentang motivasi, tentang agama, yang akhirnya bisa jadi inspirasi buat orang lain, sampai sekarang bahkan buku-bukunya laku di pasaran,"

"Setiap orang punya ciri khasnya sendiri dalam menulis. Ada yang suka nulis novel, motivasi, cerpen, puisi, artikel, tapi nggak masalah yang penting kita nulis," sambungnya

"Jangan pernah takut untuk berkarya, terutama dalam dunia kepenulisan. Menulis itu bagi saya sangat penting dan bisa jadi hal yang sangat menyenangkan. Pramoedya Ananta Toer pernah berkata bahwa "orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dari masyarakat dan sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian,"

"Saya tidak pernah merasa pandai dalam menulis, saya bahkan masih belajar untuk jadi penulis supaya punya tulisan yang bermakna buat diri saya dan orang lain.  Meskipun menulis tidak selamanya mudah, tetaplah menulis temen-temen. Jika kamu tidak bisa menulis untuk orang lain menulislah untuk dirimu sendiri. Karena menulis adalah seni lain dalam berbicara. Terima kasih.

Syukur. Ia tidak blank. Nadir menghela napas dalam-dalam usai menyelesaikan kata-katanya. Tidak banyak yang ia sampaikan, tapi ia berharap itu bisa menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi mereka. Suara tepuk tangan peserta kembali menggema memenuhi aula. 

Nadir pun kembali duduk, sekarang ia menunggu sesuatu, menunggu lelaki yang ada dihadapannya bersuara. Siapakah ia sebenarnya? Apa hubungannya dengan Sanad Sulaiman? Kemampuan berbicaranya memang tidak diragukan lagi, ia pandai berbicara dan beragumentasi dalam setiap organisasi yang ia ikuti.Dulu, ketika Nadir masih menjadi mahasiswa baru, Arsyalah yang menjadi ketua panitia PKKMB tingkat universitas. 

Bukan tentang gaya bicara yang saat ini ia pikirkan. Namun, apa hubungan antara ia dengan sastra? Nadir semakin penasaran dengan sosok lelaki yang kini telah bersiap berorasi di depannya. Apa yang ingin ia sampaikan? Mungkin aku nanti bisa menanyakan tentangnya kepada panitia. 





NADIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang