Disha POV
Rumah sakit kota LA ini terlihat penuh oleh manusia-manusia yang sedang mengunjungi pasien. Beberapa juga terlihat mobil ambulans silih berganti datang—menambah padatnya tempat ini.
Hilir-mudik beberapa perawat yang berlarian dengan tempat tidur pasien yang mereka dorong—serta sirene ambulans-ambulans tadi—menambah sesak dadaku dan membuatku semakin tidak sabar menemui sosok yang paling ku sayangi di dalam sana.
Diikuti Daniel di belakang, aku terus berlari menyisir setiap sudut ruangan rumah sakit demi mengunjungi ruangan yang tengah ditempati Harry saat ini.
Iya, sosok yang Irene bicarakan di ponsel tadi adalah Harry.
Irene tidak mengatakan apa pun secara gamblang. Wanita berusia hampir tiga puluh tahun itu hanya mengatakan bahwa Harry tengah terluka parah.
Aku, sebagai sosok manusia yang memiliki rasa kepanikan di atas rata-rata—pasti akan merasa gelisah dan bertindak secepat mungkin jika ada hal semacam ini terjadi. Terutama pada Harry, saudara kandungku, kakak laki-laki ku—yang mungkin hubungannya denganku terlihat sedikit tak baik-baik saja saat ini.
Aku sudah tak peduli dengan Daniel. Kubiarkan saja cowok itu mengekor di belakangku dengan segudang tanya yang memenuhi isi kepalanya.
Aku tahu, cowok itu sedari tadi tengah kebingungan dengan apa yang terjadi dan siapa yang telah terluka parah, seperti kata Irene.
Setelah beberapa saat berlari dan mencari kamar rawat Harry, aku akhirnya sampai. Kulihat Irene yang tengah berdiri gelisah di ambang pintu, lalu tanpa pikir panjang aku langsung melayangkan tanya pada wanita itu.
"Gimana keadaan Harry? Apa lukanya parah? Dia pingsan?"
Begitu kira-kira pertanyaan ku. Terdengar tak sabaran dan penuh kepanikan. Namun, itulah yang terjadi. Aku begitu khawatir dengan saudaraku, meski kadang ia membuatku kecewa.
"Harry sudah sadar, Disha. Syukur beberapa penyelenggara acara langsung bertindak cepat dengan membawa Harry ke rumah sakit. Jika tidak, aku yakin dia pasti akan kehilangan banyak darah." Wajah Irene terlihat kusut saat menuturkan kalimat itu padaku.
"Sebenernya dia kenapa?" Aku bertanya lagi. Irene memang tak pernah berbicara secara intens. Wanita itu harus ditanya satu-persatu agar aku bisa mendapatkan jawaban.
"Dia terpeleset di atas panggung. Air mineral yang ia tumpahkan membuat ia terjatuh dan kepalanya terluka."
Napas ku tercekat sejenak mendengar penjelasan Irene. Bahkan Irene tak menjelaskan secara gamblang jika bagian tubuh harry yang terluka adalah kepala.
Tanpa mau berlama-lama, aku langsung berjalan maju hendak mendorong pintu ruang rawat Harry. Namun, sebelumnya aku menyempatkan diri untuk menoleh ke arah Daniel, di belakangku.
Ada sedikit rasa tak yakin jika aku membiarkan Daniel untuk ikut masuk ke dalam. Namun, mana mungkin aku bisa melarang cowok itu untuk ikut masuk?
Ah, nggak enak, dong, ngomongnya.
Maka dari itu, aku tak lagi mau berpikir terlalu lama. Akhirnya aku memberikan isyarat berupa anggukan kepada Daniel—isyarat agar cowok itu mau mengikuti ku ke dalam.
Di sana, aku melihat Harry yang sudah berganti menggunakan baju pasien. Dengan tubuh lemah yang terbaring di atas ranjang, mataku mulai salah fokus pada bagian kepala kakakku yang tengah diperban.
Ku lihat lelaki itu mulai memindah posisi kepalanya dari arah kiri ke kanan, dimana tempatku mendarat.
Rupanya, Harry tak sedang tidur atau pingsan seperti yang aku duga tadi. Ia hanya terlihat lemas dengan netra sayu yang tengah memandangku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Why Don't One Direction?
FanfictionTentang seorang Daniel Seavey, bukan seorang fuckboy atau badboy. Hanya cowok manis dan murah senyum dengan bakat randomnya. "Boro-boro jadi fuckboy, pacar aja ga punya." Daniel Seavey. Dan Disha Olivia Styles, cewek cantik serta lugu yang notabene...