Aku terbaring di atas tempat tidur berlapis beledu di dalam bilik lamaku, di Tanah Musim Semi. Pagi tadi aku terbangun dengan memori sedikit kacau di dalam sebuah kereta bernuansa biru tua dan seorang lelaki di samping kiriku. Tengah duduk dengan satu kaki yang menumpu di lutut lainnya.
Galadriel menata dirinya dengan penuh kewibawaan, mahal, dan begitu tenang di dalam kereta. Duduk bersama satu rangkaian lengkap cangkir mengepulkan asap beraroma beri musim dingin. Dan aku telah tertidur selama satu hari penuh setelah dia menancapkan taringnya.
Kebaikannya saat mengantarku, tetap tidak mengubah pandanganku terhadap dirinya. Galadriel adalah lelaki dingin yang tempramental, dan sekarang ini dengan penuh rasa tanggung jawab mengembalikan tawanannya untuk ditawan kembali di penjara lain. Aku sempat berharap jika akan dibebaskan begitu saja, tanpa harus melihat kembali rumah lama yang telah sengaja kutinggalkan demi nyawaku sendiri. Demi keselamatanku, karena aku sama sekali belum siap untuk meregang nyawa begitu saja. Sebelum semua teka-teki hidupku terkuak dengan gamblang. Setidaknya aku tidak mati dengan konyol.
Beberapa kali aku mendengar ketukan pintu dari orang yang sama, tiga pelayan yang biasa melayaniku, tapi semua ketukan tersebut kuabaikan hingga mereka memilih untuk benar-benar membiarkanku sendiri di dalam bilik. Membiarkanku bersama kesunyian yang kurasa akan menenangkan barang sesaat. Namun, kenyataan-kenyataan sebelumnya telah meluluh lantahkan diriku, menggali bagian terdalam dan hanya meninggalkan lubang kosong menganga. Selayaknya kepompong kosong yang telah ditinggal pergi sang pemiliki.
Berada di dalam bilik ini bukan pilihanku, melainkan perintah Tuan Penguasa Tanah Musim Semi saat menyambut kereta Galadriel di depan manor. Perintah langsung kepada beberapa pelayan dan pengawal untuk menuntunku kembali ke dalam bilik lamaku, sedangkan Galadriel telah menghilang bersama dengan Ayah entah ke mana. Ayah tentu tidak akan memberitahukan kebenarannya, ataukah nyatanya Ayah sedang menceritakan kesungguhan akan diriku, sekaligus mempersiapkan cara terbaik untuk melenyapkan satu-satunya keturunan dari kaum pengkhianat yang tersisa.
Pikiran-pikiran tersebut berkelindan bagaikan suar kecil yang perlahan membesar. Aku menarik tubuh ketakutanku untuk bangkit dari permukaan ranjang, melempar lembut selimut yang menutupi setengah kakiku. Tertidur bukanlah niat awal saat sampai di sini, tetapi entah mengapa bilik ini seolah membelaiku dengan lembut untuk berkelana ke dalam mimpi damai sejenak.
Kakiku bergerak dengan lunglai menuju kearah jendela besar yang masih tertutupi tirai tipis. Tanganku tidak berani menyibak lapisannya, belum berani, aku tidak ingin kembali melihat kilasan masa lalu yang hingga sekarang masih kuanggap sebagai bagian paling bahagia dalam sepertiga hidupku.
"Apa kau akan tetap berdiam seperti itu?"
Tubuhku berbalik dengan cepat, kakiku tersandung bagian bawah gaun yang kukenakan dan menyebabkan tubuhku sedikit limbung, hanya sesaat, dan aku kembali berdiri dengan benar. Melemparkan pandangan kebingungan saat mendapati Galadriel berada di ruangan yang sama denganku.
Tubuhnya bersandar di permukaan pintu yang masih tertutup. Ataukah baru saja ditutup olehnya. Entah, tidak ada suara apapun bahkan pergerakannya beberapa saat lalu tidak dapat kurasakan. Baunya pun baru menguar saat aku membalikkan tubuh. Sungguh aneh.
"Bagimana?"
"Apa?"
Galadriel melepas jalinan tangannya di depan dada, beralih memasukkan kedua tangan tersebut ke dalam saku celana. "Kau masuk ke bilikku."
Kedua bahunya terangkat tidak acuh dengan pandangan yang menguarkan semburat dingin dari balik mata birunya. Pandangannya lurus tanpa berkedip. "Bukankah ada pintu di sini," ucapnya dingin, sambil membenturkan dengan sengaja bagian tumit dari lars besar yang dia kenakan ke permukaan pintu di belakangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Rose And Betrayal
FantasyTera harus menutup sebuah rahasia besar yang di beritahukan oleh Ayahnya. Rahasia yang sekaligus menjadi peringatan kematian yang akan datang kapan pun, jika Tera lengah. Bersama dengan sang Ayah, Tera membangun kekuatan dalam dirinya. Melatih kemam...